Abu Hanifah berpendapat bahwa mahar bagi wanita itu tidak wajib dikeluarkan zakatnya, kecuali jika telah diterima karena ia merupakan ganti dari sesuatu yang bukan berbentuk harta, sehingga tidak wajib zakat sebelum diterima sama halnya seperti piutang atau tebusan dari budak yang hendak membebaskan diri.
Setelah mahar diterima, disyaratkan pula mencapai nishab dan haul (berlalu satu tahun), kecuali jika selain mahar itu ada harta lain yang satu nishab, maka mahar yang jumlahnya sedikit (tidak mencapai nishab) hendaklah digabungkan dengan harta yang tadi dan dikeluarkan zakatnya menurut perhitungan tahunnya.
Sedangkan menurut Syafi'i, wanita itu wajib mengeluarkan zakat mahar jika telah cukup haul (satu tahun). Ia harus mengeluarkan zakat dari keseluruhannya pada akhir tahun, sekalipun ia belum dicampuri (jima') oleh suaminya. Tidak ada pengaruh atau bedanya, apakah mahar itu mungkin gugur seluruhnya dikarenakan fasakh, murtad atau lainnya, atau separuhnya karena sebab perceraian.
Bagi golongan Hanbali mahar itu menurut pengakuan, merupakan piutang kepada wanita, maka hukumnya menurut mereka adalah seperti piutang. Jika terhadap orang yang mampu, wajib dikeluarkan zakatnya dan bila telah diterimanya hendaklah dikeluarkan zakatnya untuk masa yang telah lalu. Apabila terhadap orang miskin dan yang tidak mengakui maka pendapat yang lebih kuat menurut Khiraqi ialah wajib dikeluarkan zakatnya dan tidak ada bedanya apakah sebelum atau sesudah campur (jima').
Apabila separuh mahar jadi gugur disebabkan cerainya perempuan sebelum campur (jima') dan diterima mahar separuhnya lagi, maka wajib mengeluarkan zakat yang diterimanya dan tidak wajib mengeluarkan zakat dari mahar yang tidak diterimanya.
Begitu pula apabila seluruh mahar itu gugur sebelum diterima, disebabkan fasakhnya nikah karena kesalahan dari pihak dirinya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar