Tampilkan postingan dengan label Fiqih Zakat. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Fiqih Zakat. Tampilkan semua postingan

Selasa, 08 Juni 2010

Mengeluarkan yang Baik bila Berzakat

Allah SWT memerintahkan kepada orang yang berzakat agar mengeluarkan yang baik dari hartanya dan melarang berzakat dengan yang jelek. Firman Allah SWT: "Hai orang-orang yang beriman, infaqkanlah (zakatlah) yang baik dari sebagian hasil usahamu, begitupun dari hasil bumi yang Kami keluarkan untukmu, dan janganlah kamu sengaja memilih yang jelek untuk  diinfakkan (dizakatkan) padahal kamu (sendiri) tidak mau menerimanya jika diberi, kecuali dengan memejamkan mata, dan ketahuilah bahwa Allah Maha Kuasa dan Maha Terpuji". (QS. al-Baqarah: 267)

Abu Daud, Nasa'i dan lain-lain meriwayatkan dari Sahl bin Hanif dari bapaknya, katanya: "Rasulullah SAW telah melarang mengeluarkan zakat kurma apabila kondisinya telah jelek dan warnanya kusam".

Orang umumnya memilih yang jelek diantara buah-buahan, lalu mereka keluarkan untuk membayar zakat, maka datanglah larangan kepada mereka dan turunlah ayat: "Dan janganlah kamu sengaja memilih yang jelek untuk zakat!"

"Ayat ini diturunkan kepada kami, kaum Anshar. Kami adalah pemilik pohon-pohon kurma, maka masing-masing kami membawa buah kurmanya, sedikit atau banyak menurut kemauan masing-masing. Caranya ialah setiap orang membawa setandan atau dua tandan yang digantungkan di masjid. Mereka yang tinggal di emper (dari kalangan muhajirin yang tidak mampu) biasanya tidak mempunyai makanan, maka apabila salah seorang merasa lapar, ia datang mendekati tandan kurma itu lalu menebasnya dengan tongkat hingga berjatuhanlah putik dan buah kurmanya, lalu dimakannya. Orang-orang yang tidak beradab membawa tandan berisi buah yang buruk dan sudah busuk, tandannya pun sudah pecah, lalu mereka menggantungkannya, maka Allah pun menurunkan ayat tersebut diatas".

Penjelasannya: "maksudnya, apabila salah seorang diantara kaliuan memberi sesuatu (pemberian) sebagai zakat, tidaklah akan diterima pemberian tersebut kecuali dengan rasa malu dan memicingkan mata". (Diriwayatkan oleh Tirmidzi dan mengatakannya hasan, shahih dan gharib).

Imam Syaukani berkata, "Keterangan itu menyatakan bahwa pemilik harta tidak boleh memilih yang jelek dari yang baik untuk zakat. Hal itu adalah secara tegas pada kurma dan dengan jalan qiyas pada jenis-jenis lain yang wajib dikeluarkan zakatnya. Begitu pula yang diberi zakat, tidak boleh menerima zakat tersebut (dari yang jelek)".

Sumber: Fiqhus Sunnah juz I oleh syaikh Sayid Sabiq.

Senin, 07 Juni 2010

Saat Wajibnya Zakat Buah-Buahan dan Tanaman

Wajib zakat pada tanaman bila bijinya telah keras dan dapat dimakan. Adapun jenis buah-buahan apabila telah nampak baiknya (matang). Hal itu dapat diketahui dengan dagingnya yang kemerah-merahan dan pada anggur terasa manisnya. (Ini adalah pendapat jumhur ulama, sedangkan menurut Abu Hanifah menjadi wajib manakala tanaman telah tumbuh dan putiknya muncul).

Zakat dikeluarkan hanyalah setelah dibersihkannya biji dan keringnya buah. Seandainya petani menjual hasil tanamannya setelah kerasnya biji dan baik dimakannya buah, maka zakat biji dan buah itu adalah kewajibannya, bukan kewajiban pembeli, karena sebab wajibnya telah ditetapkan sewaktu hasil tersebut masih berada dalam tangannya.

Sumber: Fiqhus Sunnah juz I oleh syaikh Sayid Sabiq.

Minggu, 06 Juni 2010

Mencampurkan Tanaman dan Buah-Buahan

Para ulama sependapat, bahwa hendaknya berbagai macam hasil buah-buahan itu digabungkan satu dengan yang lainnya, sekalipun berbeda kualitas (baik atau buruk) dan warnanya. Demikian pula hendaklah mencampurkan berbagai macam kualitas anggur, gandum dan semua jenis biji-bijian.

Para ulama pun sepakat bahwa barang-barang dagangan hendaknya digabungkan dengan uangnya, dan uang bersama barang-barang dagangan. Tetapi Syafi'i berpendapat, tidak boleh digabung kecuali kepada jenis yang dibeli dengannya karena nisab hanya diperhitungkan dengan itu.

Juga mereka setuju mengenai hasil-hasil diluar buah dan biji-bijian, tidak boleh digabung suatu jenis kepada jenis yang lain. Misalnya ternak, tidak boleh digabung suatu jenis kepada jenis yang lainnya. Seperti unta tidak digabung kepada sapi untuk mencukupkan nishabnya, begitu pun jenis buah-buahan tidak boleh dicampurkan apabila berlainan jenis, misalnya kurma dengan anggur.

Mengenai penggabungan jenis biji-bijian yang berbeda satu sama lain, terdapat perbedaan pendapat diantara para ulama, tetapi pendapat yang lebih benar dan utama, ialah dalam menghitung nishab tidaklah digabung suatu jenis dengan jenis yang lainnya, dan setiap jenis itu berdiri sendiri dalam mencukupi nishabnya masing-masing.

Hal tersebut dikarenakan jenisnya berbeda dan berlainan menurut namanya masing-masing. Jadi, padi tidaklah digabung dengan gandum, begitu pula sebaliknya, dan lain-lain. Ini merupakan pendapat Abu Hanifah, Syafi'i dan salah satu riwayat Ahmad, serta menjadi madzhab dari sebagian besar ulama-ulama salaf.

Berkata Ibnul Mundzir, "Telah menjadi ijma' dan ulama bahwa unta tidaklah digabungkan kepada sapi atau kambing, tidak pula sapi kepada kambing atau kurma dengan anggur. Demikian juga pada jenis-jenis lainnya. Dan orang-orang yang mengatakan agar jenis yang berlainan itu digabung, tidak mempunyai alasan yang sah dan kuat".

Sumber: Fiqhus Sunnah juz I oleh syaikh Sayid Sabiq.

Sabtu, 05 Juni 2010

Memakan Hasil Tanaman

Pemilik tanaman, boleh memakan sebagian hasil tanamannya dan tidak diperhitungkan (dalam penaksiran zakat) makanan yang dimakannya. Alasannya karena demikianlah adat kebiasaan yang berlaku dan yang dimakan itu jumlahnya pun sedikit. Hal ini tidak ada bedanya dengan pemilik buah-buahan yang menikmati hasil buah-buahan mereka. Maka apabila selesai memanen dan bijinya telah dibersihkan, barulah dikeluarkan zakatnya dari yang ada.

Ahmad ditanya mengenai buah-buahan yang pecah (rusak) dan dimakan oleh para pemiliknya, ujarnya: "Tidaklah apa-apa bagi pemiliknya memakan apa yang dibutuhkannya". Demikian juga pendapat dari Syafi'i, Laits dan Ibnu Hazm. (Sedangkan menurut Malik dan Abu Hanifah, hendaklah diperhitungkan sebagai nishab apa yang dimakan oleh pemilik sebelum waktu mengetam).

Sumber: Fiqhus Sunnah juz I oleh syaikh Sayid Sabiq.

Jumat, 04 Juni 2010

Mengukur Nishab Kurma dan Anggur

Jika kurma atau anggur telah berputik dan kelihatan akan menjadi baik, maka mengukur nishabnya adalah dengan menaksir bukan dengan ditakar. Caranya ialah salah seorang ahli taksir yang jujur memperkirakan buah kurma dan anggur yang ada di pohonnya, lalu menaksir berapa banyaknya nanti apabila telah menjadi kering, sehingga dapat diketahui berapa kadar zakat yang wajib dikeluarkan. Apabila buah-buahan itu telah kering, diambillah zakat sesuai dengan perkiraan sebelumnya.

Diterima dari Abu Humaid as-Sa'idi ra katanya, "Kami berperang bersama Rasulullah saw di perang Tabuk, tatkala sampai di Wadil Qura, kelihatan seorang wanita sedang bertada dalam kebunnya, maka bersabdalah Nabi SAW, "Taksirlah!" dan Rasulullah SAW sendiri menaksirnya 10 wusuq, lalu sabdanya kepada wanita itu, "Saya taksir hasilnya". (HR al-Bukhari).

Ini merupakan Sunnah Rasulullah SAW dan perbuatan para shahabat dibelakangnya dan menjadi pendirian kebanyakan para ulama. Sebaliknya, Ahnaf menentangnya karena taksiran ini dasarnya dugaan semata sehingga tidak dapat menjadi ukuran. Tetapi mengikuti sunnah Rasulullah SAW lebih utama karena menaksir itu bukanlah dugaan semata tetapi merupakan hasil ijtihad dalam mengetahui banyaknya buah-buahan, tidak ubahnya dengan menaksir harga barang-barang yang ditimpa kerusakan.

Adapun sebab dianjurkannya menaksir ialah menurut kebiasaan, buah-buahan itu dimakan selagi masih segar, maka perlu hasil tanaman itu diperkirakan terlebih dahulu sebelum dipanen dan dikonsumsi.

Selain itu, agar para pemiliknya dapat membelanjakan hartanya dengan leluasa, dimana harta yang akan dizakatkan telah terjamin. Saat menaksir, juru taksir hendaknya tidak menghitung yang sepertiga atau seperempat untuk memberi kelapangan bagi si pemilik harta, karena mereka pun butuh dan ingin mengkonsumsinya, sebagaimana halnya untuk para tamu maupun tetangga mereka. Selain itu, buah-buahan tidak pula luput dari kerusakan, seperti dimakan burung atau orang yang lewat (kebun), atau jatuh diterpa angin dan sebab lainnya. Maka sekiranya zakat dihitung dari semua buah tanpa mengecualikan sepertiga atau seperempatnya, tentulah akan menyulitkan para pemiliknya.

Diterima dari Sahl bin Abi Hatsmah bahwa Nabi SAW bersabda, "Jika kamu melakukan penaksiran, maka ambil dan tinggalkanlah yang sepertiga, dan jika kamu tak mau menyisakan sepertiga, maka tinggalkan seperempat". (Diriwayatkan oleh Ahmad dan ash-Habus Sunan kecuali Ibnu Majah. Juga diriwayatkan oleh Hkim dan Ibnu Hibban, dan keduanya menyatakan sahnya).

Menurut Imam Tirmidzi, dalam prakteknya kebanyakan ulama mengikuti hadits Sahl diatas.

Dari Basyir bin Yasar, katanya, "Umar bin Khattab ra mengutus Abu Hatsmah al-Anshari untuk menaksir harta kekayaan kaum muslimin, maka pesannya, "Jika kamu melihat orang-orang itu telah tinggal di kebun-kebun kurma mereka di musim gugur, maka biarkanlah yang mereka makan, tidak usah dimasukkan dalam penaksiran".

Dan dari Makhul katanya, "Bila Rasulullah SAW mengirim juru taksir, maka beliau akan berpesan, "Berilah keringanan kepada manusia, karena antara harta itu ada yang disuguhkan, yang dimakan oleh orang-orang yang lewat dan oleh pemiliknya". (Riwayat Abu Ubaid, katanya, "Wathiah maksudnya ialah orang yang lewat". Dikatakan demikian ialah karena mereka menginjak dan melewati tanah tempat tumbuhnya buah-buahan tersebut).

Sedangkan akilah ialah para pemiliknya dan keluarga mereka serta orang-orang yang erat hubungannya dengan mereka.

Sumber: Fiqhus Sunnah juz I oleh syaikh Sayid Sabiq.

Kamis, 03 Juni 2010

Zakat dari Hasil Tanah Sewa

Jumhur ulama berpendapat bahwa orang yang menyewa tanah dan menggarapnya, berkewajiban mengeluarkan zakat, jadi bukan pemilik tanahnya. Namun menurut Abu Hanifah, zakat menjadi kewajiban pemilik tanah.

Ibnu Rusyid berkata, "Sebab perselisihan pendapat para ulama ialah apakah zakat itu kewajiban tanah ataukah kewajiban tanaman, dan karena menurut pandangan mereka, zakat merupakan kewajiban salah satu diantara keduanya, maka muncullah perbedaan pendapat manakah diantara kedua itu lebih layak menjadi sumber zakat, yakni bila tanaman dan tanah yang dimiliki oleh perorangan, berada dalam satu tangan. Jumhur berpendapat, ialah apa yang wajib padanya zakat ialah benih, sementara menurut Abu Hanifah, apa yang menjadi sumber hukum wajibnya adalah tanah".

Ibnu Qudamah memandang pendapat jumhur lebih kuat, katanya, "Zakat itu wajib pada tanaman, maka terpikullah atas si pemilik tanaman itu, seperti menzakatkan uang sebagai harga dari barang dagangan dan mengeluarkan zakat tanaman hasil tanah kepunyaan sendiri".

"Perkataan mereka (madzhab Abu Hanifah) bahwa zakat menjadi tanggungan tanah adalah tidak benar, karena jika demikian tentulah zakat wajib dikeluarkan walau tanah itu tidak digarap seperti halnya (tanah) kharaj, juga tentulah akan diwajibkan atas orang-orang dzimmi (penduduk kafir dibawah kekuasaan Islam), seperti halnya kharaj dan tentunya pula zakat itu dihitung menurut luasnya tanah, bukan menurut bnyaknya hasil panen, tentu juga didistribusikannya kepada golongan-golongan yang berhak menerima pembagian rampasan, bukan yang berhak menerima zakat".

Sumber: Fiqhus Sunnah juz I oleh syaikh Sayid Sabiq.

Rabu, 02 Juni 2010

Kelemahan Pendapat Abu Hanifah atas Tidak Wajib Zakat pada Tanah Kharaj

Madzhab Abu Hanifah mengambil pendapat tidak wajibnya zakat atas tanah kharaj berdasar dalil-dalil berikut ini:

1. Apa yang diriwayatkan oleh Ibnu Mas'ud bahwa Nabi SAW bersabda, "Tidak mungkin berhimpun zakat dan pajak pada tanah orang Islam".

Hadits ini disepakati kelemahannya (dhaif) secara ijma'. Ia diriwayatkan oleh Yahya bin Anbasah seorang diri dari Abu Hanifah, dari Hamad dari Ibrahim an-Nakha'i dari Alqamah dari Ibnu Mas'ud dari Nabi SAW.

Berkata Baihaqi dalam "Mengenal Sunnah-Sunnah dan Atsar", "Riwayat yang disebutkan itu disampaikan oleh Abu Hanifah dari Hamad lalu dari Ibrahim hanyalah ucapannya pribadi, kemudian diriwayatkan oleh Yahya secara marfu, dan Yahya bin Anbasah ini telah dikenal kelemahannya karena biasa meriwayatkan hadits-hadits palsu dari kalangan orang-orang dipercaya. Keterangan yang disampaikan pada kami oleh Abu Sa'id al-Malini tentang pribadinya ini, diucapkan sendiri oleh Abu Ahmad bin Adi al-Hafidz.

Ia juga dinyatakan dha'if (lemah) oleh Kamal ibnul Hamam salah seorang imam dari madzhab Hanafi yang menguatkan madzhab jumhur (mayoritas) dan mengkritik pendapat Abu Hanifah.

2. Diriwayatkan oleh Ahmad, Muslim dan Abu Daud dari Abu Hurairah bahwa Nabi SAW bersabda, "Orang-orang Irak tidak mau mengeluarkan hasil tanah dan peraknya, orang-orang Sirian tidak mau mengeluarkan barang sukatan dan uang emasnya, begitupun orang-orang Mesir (tidak mau mengeluarkan) hasil pertanian dan emas peraknya, sementara kalian akan kembali seperti pada awalnya". Kalimat ini diucapkan Nabi sampai tiga kali, disaksikan langsung oleh Abu Hurairah.

Cara mengambil dasar alasan dari hadits ini ialah bahwa hadits tersebut menyatakan beberapa kewajiban dan keengganan memenuhi kewajiban tersebut, yakni kewajiban terkait dengan pajak. Menurut mereka, seandainya kewajiban yang dimaksud adalah zakat, tentulah Nabi SAW akan menyebutkannya.

Sebenarnya, dalam hadits diatas tidak ada petunjuk yang menyatakan tidak diambilnya zakat dari tanah kharaj. Para ulama telah menjelaskan maksud hadits tersebut bahwa orang-orang itu (di Irak, Siria dan Mesir) akan menganut Islam hingga jizyah (pajak jiwa) akan gugur dari mereka. Atau, hadits diatas adalah ramalan akan terjadinya fitnah di akhir zaman yang akan mengakibatkan tidak dipenuhinya kewajiban yang semestinya dilaksanakan, seperti zakat, jizyah dan lainnya.

Diakhir penakwilan tersebut, Nawawi berkata, "Seandainya maksud hadits tersebut benar seperti yang mereka (madzhab Hanafi) katakan, tentulah zakat emas, perak, dan perniagaan pun tidak wajib lagi, padahal tidak seorang pun yang berpendapat demikian".

3. Diriwayatkan bahwa setelah raja Dahqan Bahz memeluk Islam, Umar bin Khattab ra memerintahkan agar menyerahkan tanah kepadanya lalu memungut pajaknya. Riwayat ini secara tegas memerintahkan untuk memungut pajak, tanpa adanya perintah untuk memungut zakat.

Melalui riwayat ini hendak menyatakan bahwa kharaj tidaklah gugur dengan masuk memeluk Islam, dan hal itu tidak berarti menggugurkan kewajiban zakatnya. Disebutkannya kharaj karena mungkin memunculkan dugaan bahwa ia bisa gugur dengan memeluk Islam sebagaimana halnya jizyah.

Adapun zakat, telah dimaklumi sebagai kewajiban atas setiap muslim yang merdeka, sehingga tidak perlu disebutkan lagi. Hal ini sebagaimana tidak dicantumkannya pemungutan zakat ternak, begitupula zakat emas dan perak. Atau bisa jadi sebabnya karena para penguasa itu tidak memiliki tanaman yang mewajibkannya mengeluarkan zakat.

4. Pernyataan bahwa gubernur dan penguasa saat itu tidak memungut pajak dan zakat secara bersamaan, adalah tidak benar, karena sebagaimana diriwayatkan oleh Ibnul Mundzir, bahwasanya Umar bin Abdul Aziz memungut keduanya (zakat dan pajak) secara serentak.

5. Kharaj berbeda dari zakat, karena kharaj wajibnya berakibat pidana sementara wajibnya zakat dari segi ibadah, maka tidak mungkin keduanya akan berkumpul pada orang yang satu hingga dipikulnya dua kewajiban tersebut sekaligus.

Ini memang benar, tetapi untuk waktu permulaan saja, tidak mungkin selamanya. Tidak semua bentuk kharaj itu berdasarkan paksaan dan penaklukan, tetapi adapula yang bebas dari unsur kekerasaan, seperti halnya pada tanah yang dekat letaknya dengan tanah kharaj atau yang diusahakan dan diairi dengan air selokan.

6. Bahwa yang menjadi sebab dari masing-masing kharaj dan zakat itu hanya satu, yaitu tanah yang berkembang, baik menurut hakikat kenyataan maupun dari segi hukum. Alasannya ialah seandainya tanah itu tidak digarap dan tidak ada manfaatnya, maka tidaklah wajib padanya zakat maupun kharaj.

Jadi jika sebabnya itu satu, maka tidak mungkin kharaj dan zakat itu berhimpun serentak pada tanah yang sama, karena pada satu sebab tidak dapat dibebankan dua kewajiban yang sejenis, seperti halnya apabila seseorang memiliki ternak yang mencapai nishab untuk diperdagangkan selama satu tahun, maka tidaklah wajib ia mengeluarkan dua macama zakat (yakni zakat ternak dan zakat perdagangan).

Tidaklah benar seperti demikian karena zakat tanaman ialah pada tanaman yang tumbuh dari dalam tanah, sedangkan kharaj wajib karena tanah itu sendiri, baik ditanami atau dibiarkan. Misalkan kesatuan sebab itu diterima maka sebagaimana dikatakan oleh Kamal bin Hammam, tidak ada halangan bila sebab yang satu (tanah) timbul dua kewajiban.

Sumber: Fiqhus Sunnah juz I oleh syaikh Sayid Sabiq.

Selasa, 01 Juni 2010

Zakat Tanah Kharaj

Secara umum tanah dibagi ke dalam dua kategori, yaitu:

  1. Tanah umum atau biasa ('asyariyah), yaitu tanah yang dimiliki oleh penduduknya yang beragama Islam secara sukarela, atau direbut kaum muslimin sewaktu penaklukan yang kemudian dibagikan diantara mereka, atau tanah yang diusahakan oleh kaum muslimin sendiri.
  2. Tanah Kharaj (kharijiyah) yaitu tanah yang direbut dan ditaklukkan kaum muslimin tetapi diserahkan kepada penduduk yang mengusahakannya dengan imbalan membayar pajak (kharaj) tertentu.

Sebagaimana halnya pada tanah asyariyah, zakat juga diwajibkan pada tanah kharijiyah ini, yaitu apabila penduduknya menganut Islam atau dibeli oleh orang Islam hingga berhimpunlah didalamnya dua kewajiban, yaitu membayar zakat dan kharaj, dimana salah satunya tidak menutupi yang lain. Menurut Ibnul Mundzir, itu merupakan pendapat kebanyakan ulama. Diantara yang berpendapat seperti itu ialah Umar bin Abdul Aziz, Rabi'ah, Zuhri, Yahya al-Anshari, Malik, Auza'i, Tsauri, Hasan bin Shalih, Ibnu Abi Laila, Laits, Ibnul Mubarak, Ahmad, Ishak, Abu Ubaid, dan Daud.

Pendapat tersebut berdasarkan dalil Kitab, Sunnah dan qiyas. Mengenai kitab ialah firman Allah SWT: "Hai orang-orang beriman nafkahkanlah sebagian hasil usahamu yang baik-baik, begitupun sebagian dari hasil bumi yang Kami keluarkan untukmu!" (QS. al-Baqarah: 267)

Dalam ayat ini Allah mewajibkan nafkah (zakat) dari bumi secara mutlak, baik  berupa tanah biasa ataupun tanah kharaj.

Adapun dalil sunnah adalah sabda Nabi SAW: "Pada apa yang diairi dengan hujan zakatnya sepersepuluh".

Ini mencakup tanah biasa maupun kharaj.

Adapun alasan menurut qiyas, ialah karena zakat dan pajak (kharaj) itu merupakan dua kewajiban yang timbul oleh dua sebab yang berbeda, untuk kepentingan dua golongan yang berbeda pula. Maka salah satu diantaranya tidaklah menutupi yang lain seperti halnya seseorang yang sedang ihram membunuh hewan buruan milik orang lain. Juga karena zakat itu diwajibkan dengan keterangan yang tegas sehingga tidak bisa dibatalkan begitu saja oleh pajak yang hukum wajibnya ditetapkan atas hasil ijtihad. Namun Abu Hanifah berpendapat tidak wajib zakat pada tanah kharaj, yang wajib dikeluarkan hanyalah pajak saja. Menurutnya diantara syarat-syarat wajib zakat ialah tanah itu bukan tanah kharaj.

Sumber: Fiqhus Sunnah juz I oleh syaikh Sayid Sabiq.

Senin, 31 Mei 2010

Kadar Zakat Pertanian

Kadar atau jumlah yang wajib dikeluarkan zakatnya itu berbeda-beda tergantung pada cara pengairannya. Pertanian yang diari tanpa menggunakan alat -misalnya diairi dengan mudah- maka kadarnya ialah sepersepuluh (10%) dari hasil panennya. Namun apabila pengairannya menggunakan alat atau dengan air yang dibeli, maka kadarnya adalah seperdua puluh (5%).

Diterima dari Mu'adz ra bahwasanya Nabi SAW bersabda:

"Pada tanaman yang diairi oleh hujan, dari mata air dan aliran sungai, zakatnya sepersepuluh, dan yang diairi dengan alat penyiram seperduapuluh". (Diriwayatkan oleh Baihaqi dan juga Hakim yang menyatakan sahnya).

Kebanyakan para ahli berpendapat bahwa tidak ada zakat sama sekali pada tanaman dan buah-buahan sebelum banyaknya mencapai 5 wasaq, yakni setelah dibersihkan dari kulit dan dedaknya. Jika belum dibersihkan artinya belum ditumbuk, maka disyaratkan agar banyaknya mencapai 10 wasaq.

Diterima dari Abu Hurairah bahwa Nabi SAW bersabda: "Tidak wajib zakat jika banyaknya kurang dari 5 wasaq". (Diriwayatkan oleh Ahmad dan Baihaqi dengan sanad yang baik).

Dari Ibnu Umar ra bahwasanya Nabi SAW bersabda: "Tanaman yang diairi oleh hujan dan mata air atau air yang datang sendiri zakatnya sepersepuluh dan yang diairi dengan alat penyiram sepeduapuluh". (HR Bukhari dan lain-lain).

Jika pada suatu ketika diairi dengan menggunakan alat dan kali yang lain tanpa menggunakannya, maka zakatnya 3/40 atau 7,5% jika perbandingannya sama. Ibnu Qudamah berkata, "Setahu kami dalam hal ini tidak ada pertikaian".

Jika salah satu lebih banyak dari yang lain, maka yang sedikit mengikut kepada yang banyak, demikian menurut Abu Hanifah, Ahmad, Tsauri dan salah satu pendapat Syafi'i.

Adapun mengenai biaya operasional seperti biaya untuk memootong (memanen), memikul, mengolah, menyimpan di gudang dan lainnya, hendaklah diambil dari harta pemiliknya tanpa sedikitpun diperhitungkan dari harta zakatnya.

Namun madzhab Ibnu Abbas dan Ibnu Umar ra memperhitungkan biaya operasional yang dipinjamnya untuk menanam dan memanen, sebagaimana diterima dari Jabir bin Zaid pendapat Ibnu Abbas dan Ibnu Umar ra mengenai seorang laki-laki yang meminjam uang untuk keperluan memanen dan belanja keluarganya, menurut Ibnu Umar hendaklah dibayarkan hutangnya terlebih dahulu kemudian baru dikeluarkan zakat dari sisanya. Dan menurut Ibnu Abbas ra hendaknya hutangnya dibayar terlebih dahulu yang digunakan untuk mengetam, baru dikeluarkan zakatnya dari apa yang tersisa. (Diriwayatkan oleh Yahya bin Adam dalam al-Kharaj). Dalam hal ini, Ibnu Abbas dan Ibnu Umar sepakat untuk membayar hutang yang digunakan untuk keperluan mengetam, tetapi mereka berbeda pendapat mengenai hutang yang diperuntukkan untuk nafkah keluarga.

Ibnu Hazmin menyebutkan pula keterangan dari Atha' bahwa yang digunakan untuk nafkah, gugur kewajiban zakatnya. Jika masih tersisa satu nishab banyaknya, barulah dikeluarkan zakatnya, apabila tidak mencapai nishab maka tidak wajib dikeluarkan zakat.

Sumber: Fiqhus Sunnah juz I karya syaikh Sayyid Sabiq.

Minggu, 30 Mei 2010

Nishab Zakat Tanaman dan Buah-Buahan

Kebanyakan para ahli berpendapat bahwa tidak ada zakat sama sekali pada tanaman dan buah-buahan sebelum banyaknya mencapai 5 wasaq, yakni setelah dibersihkan dari kulit dan dedaknya. Jika belum dibersihkan artinya belum ditumbuk, maka disyaratkan agar banyaknya mencapai 10 wasaq.

Diterima dari Abu Hurairah bahwa Nabi SAW bersabda: "Tidak wajib zakat jika banyaknya kurang dari 5 wasaq". (Diriwayatkan oleh Ahmad dan Baihaqi dengan sanad yang baik).

Dan dari Abu Sa'id al-Khudri ra bahwasanya Nabi SAW bersabda: "Tidak wajib zakat pada kurma dan biji-bijian, jika kurang dari 5 wasaq".

Satu wasaq ialah 60 sha' (sukat) menurut ijma'. Hal ini ada dijelaskan dalam hadits riwayat Abu Sa'id, tetapi merupakan hadits munqati' (terputus). Abu Hanifah dan Mujahid berpendapat bahwa wajib zakat bagi jumlah yang banyak maupun sedikit, alasannya adalah keumuman sabda Nabi SAW "Pada setiap yang disiram oleh hujan zakatnya sepersepuluh". Juga karena dalam zakat tanaman ini tidaklah diperhitungkan haul (masa satu tahun), maka demikianlah pula halnya dengan nishab.

Ibnul Qaiyim berkata membahas pendapat diatas, "Sungguh mengenai keterangan yang masih belum jelas maksudnya "pada setiap apa yang disiram oleh hujan zakatnya sepersepuluh, dan tanaman yang disiram dengan alat penyiram seperduapuluh", telah datang sunnah yang sah dan tegas mengenai ketentuan nishab zakat tanaman yaitu sebesar 5 wasaq.

Adapun pendapat mereka yang menyatakan bahwa hadiots diatas itu umum, mencakup jumlah yang sedikit maupun banyak, dan ini bertentangan dengan yang khusus. Oleh sebab itu jika terjadi pertentangan hendaklah diutamakan menempuh jalan yang lebih aman yaitu meratakan hukum wajibnya.

Atas pendapat tersebut, kami jawab: Kita wajib melaksanakan makna kedua hadits tersebut diatas dan tidak boleh mempertentangkan yang satu dengan yang lain, dan membatalkan sama sekali salah satu diantara keduanya. Mentaati Rasul dalam hadits yang satu, wajib hukumnya seperti hadits yang lain. Dan alhmadulillah, memang tidak ada pertentangan diantara kedua hadits tersebut dalam segi apapun, karena sabda Nabi SAW, "Pada setiap yang disiram air hujan sepersepuluh", tujuannya ialah untuk memisah mana tanaman yang zakatnya sepersepuluh dan mana yang seperduapuluh, maka disebutkan oleh Nabi kedua golongan dengan membedakan jumlah yang wajib dikeluarkan. Adapun banyak nishab dalam hadits ini, Nabi SAW berdiam diri dan menerangkan dengan tegas pada hadits yang lain.

Jadi bagaimana kita boleh mengabaikan keterangan yang sah lagi tegas dan sama sekali tidak mengandung arti yang lain, dan berpaling pada keterangan yang umum (mujmal) dan masih diragukan sedangkan maksudnya hanya untuk dibatasi dengan maknanya yang umum, sama sekali tidak dimaksudkan untuk membatasi dengan makna yang khusus dan tegas serta nyata tadi, seperti halnya kata-kata umum lainnya bila ditafsirkan oleh kata-kata khusus".

Ibnu Qudamah berkata, "sabda Nabi bahwa tidak wajib zakat pada jumlah tanaman yang kurang dari 5 wasaq yang disepakati oleh ahli hadits merupakan kata-kata khusus yang mesti diutamakan dan ia mentakhsiskan (membatasi) kata-kata yang umum yang diriwayatkan dari Nabi, seperti halnya dengan kita mentakhsiskan sabda Nabi "Setiap unta yang digembalakan wajib padanya zakat" dengan sabdanya "tidak wajib zakat unta jika kurang dari 5 ekor".

Begitupun sabdanya, "pada tepung dikeluarkan seperempat puluh" dengan sabdanya, "tidak wajib zakat jika kurang dari 5 uqiyah".  Dan karena dia merupakan harta yang wajib dikeluarkan zakatnya tetapi tidak wajib jika hanya sedikit sebagaimana juga harta-harta lain yang dizakatkan.

Mengenai tahunnya, memang tidak diperhitungkan, karena pertumbuhannya telah sempurna diwaktu memotong dan bukan dengan membiarkannya lebih lama.

Sebaliknya diperhitungkan tahun itu pada yang lain karena ada kemungkinan sempurnanya perkembangan suatu  harta. Adapun nishab ia diperhitungkan agar tercapai batas minimal, dimana seseorang memiliki keleluasan dalam bersedekah (zakat). Oleh karena itulah diperlukan adanya nishab. Tegasnya, zakat itu hanya wajib atas orang-orang yang mampu dan kemampuan itu tidak akan ada (diketahui) tanpa adanya batas nishab, seperti juga halnya pada harta-harta yang lain yang wajib dikeluarkan zakatnya.

Satu sha'  itu sama dengan 1 ,3 qadah, sehingga nishabnya ialah setara dengan 50 bakul besar. Jika hasil tanaman yang akan dikeluarkan zakatnya itu bukan termasuk barang yang ditakar, maka kata Ibnu Qudamah, "Mengenai nishab kunyit dan kapas dan barang-barang yang ditimbang lainnya, ialah 1600 kati Irak, atau yang timbangannya sama berat dengan itu. (5 wasaw sama dengan 1600 kati atau setara dengan 930 liter, dimana 1 kati Irak lebih kurang setara dengan 130 dirham atau 0,406 kilogram).

Abu Yusuf berkata, "Jika yang akan dizakatkan bukan barang takaran, tidaklah wajib zakat kecuali jika harganya sama dengan satu nishab dari barang-barang takaran yang termurah, seperti zakat kapas, maka tidak wajib jika harganya kurang dari 5 wusuq barang takaran yang terendah misalnya padi dan lain-lain. Karena tidak dapat diukur dengan dirinya, maka dinilai dengan yang lainnya, seperti misalnya barang-barang dagangan harganya ditaksir dengan salah satu mata uang yang lebih rendah nishabnya".

Muhammad berkata, "Hendaklah mencapai 5 kali lipat dari harga taksiran jenisnya yang tertinggi, maka tidak wajib zakat pada kapas jika banyaknya baru 5 bal, karena menetapkan ukuran dengan wasaq pada barang-barang yang ditakar, adalah mengingat bahwa ukuran itulah yang paling tinggi diantara jenis-jenisnya yang lain".

Sumber: Fiqhus Sunnah juz I karya syaikh Sayyid Sabiq.

Sabtu, 29 Mei 2010

Sebab Munculnya Perbedaan Pendapat dalam Masalah Zakat Tanaman

Ibnu Rusyid berkata, "Sebab-sebab munculnya perselisihan (pendapat) diantara ulama yang membatasi wajibnya zakat pada jenis-jenis yang telah disepakati bersama dan pihak yang meluaskannya pada segala yang dapat disimpan dan menjadi makanan, ialah bersumber dari dikaitkannya zakat kepada jenis yang empat adalah apakah karena dzatnya ataukah karena illat (alasan)nya sebagai bahan pahan.

Golongan yang mengatakan karena dzatnya, membatasi wajib zakat hanya kepada jenis yang empat saja, sedangkan pihak yang berpendapat disebabkan fungsinya sebagai bahan pangan, meluaskan hukum wajibnya kepada semua bahan pangan.

Mengenai sebab-sebab perselisihan diantara golongan yang membatasi wajibnya zakat pada bahan pangan dengan golongan yang meluaskannya kepada semua yang dihasilkan bumi -kecuali atas apa yang telah disepakati bersama seperti kayu bakar, rumput dan sebangsa pimping- adalah disebabkan perbedaan qiyas dengan keumuman lafadz.

Adapun lafadz yang menyatakan umum itu ialah sabda Nabi SAW yang artinya: 'Pada apa yang disiram oleh air hujan, wajib zakat sepersepuluhnya dan pada tanaman yang diairi dengan alat penyiram seperdua puluh".

Kata "Apa pun" adalah kata yang umum. Demikian pula firman Allah Ta'ala yang artinya, "Dan Dialah yang telah menumbuhkan kebun-kebun yang berdaun rimbun", sampai kepada ayat "Dan hendaklah kamu keluarkan zakatnya waktu memanen".

Adapun qiyas adalah karena tujuan zakat untuk menutup kebutuhan perut dan hal ini tidak mungkin -umumnya- kecuali dengan bahan pangan. Maka orang yang membatasi kata-kata yang umum tadi dengan qiyas ini menggugurkan zakat pada tanaman yang tidak termasuk bahan pangan.

Sebaliknya golongan yang mempertahankan makna kata-kata umum, mewajibkan pada tanaman-tanaman lain, kecuali yang telah disepakati bersama (ijma').

Kemudian golongan yang sepakat tentang bahan pangan, masih berbeda pendapat mengenai beberapa tanaman, hal ini dikarenakan perselisihan meraka apakah itu merupakan bahan pangan atau tidak dan apakah diqiyaskan kepada tanaman yang telah disepakati atau tidak diqiyaskan. Misalnya perselisihan Syafi'i dengan Malik tentang zaitun. Malik mengatakan wajib dizakati, sedangkan Syafi'i dalam pendapatnya yang mutakhir di Mesir menentangnya. Hal ini disebabkan tidak lain karena perselisihan pendapat mereka apakah zaitun itu merupakan tanaman untuk bahan pangan atau bukan.

Sumber: Fiqhus Sunnah juz I oleh syaikh Sayyid Sabiq.

Jumat, 28 Mei 2010

Perihal Zakat Buah Zaitun

Nawawi berkata, "Mengenai zaitun, yang sah menurut kita, tidaklah wajib padanya zakat". Ini juga pendapat Hasan bin Shalih, Ibnu Abi Laila dan Abu Ubeid.

Tetapi Zauhri, Auza'i, Laits, Malik, Tsauri, Abu Hanifah dan Abu Tsaur mengatakan wajib zakat padanya. Berkata Zuhri, Laits dan Auzai, "Hendaklah ditaksir lalu dikeluarkan zakatnya berupa minyak. Dan menurut Malik, bukan ditaksir tetapi dikeluarkan sepersepuluhnya setelah dikempa dan banyaknya mencapai lima wusuq".

Sumber: Fiqhus Sunnah juz I oleh syaikh Sayyid Sabiq.

Kamis, 27 Mei 2010

Pendapat Fuqaha Seputar Zakat Tanaman dan Buah-Buahan

Tidak seorang pun dari ulama yang menyangkal wajibnya zakat pada tanaman dan buah-buahan hingga perbedaan pendapat mereka ialah pada jenis-jenis yang diwajibkan dikeluarkan zakatnya. Mengenai hal ini ada beberapa pendapat ulama ahli fiqih (fuqaha), yang dapat disimpulkan sebagai berikut:

  1. Hasan Bashri, Tsauri dan Sya'bi berpendapat bahwa tidak wajib zakat kecuali pada jenis-jenis yang mempunyai keterangan yang tegas, yaitu gandum, padi, kurma dan anggur. Sedangkan yang lainnya tidak wajib, karena tidak ada keterangannya. Syaukani berpendapat bahwa pendapat madzhab ini yang benar.
  2. Pendapat Abu Hanifah. Wajib zakat pada setiap yang ditumbuhkan bumi, tidak da bedanya sayur-sayuran dan lain-lain. Hanya disyariatkannya hendaklah dengan menananya dimaksudkan bertumbuh dan mengambil hasil bumi. Dikecualikannya kayu bakar, pimping, rumput dan pohon yang tidak berbuah. Alasannya ialah keumuman sabda Nabi SAW, "Pada setiap yang disiram oleh air hujan -zakatnya- sepersepuluh". Ini merupakan kata-kata umum dan mencapai seluruh bagiannya. Juga dengan menanamnya dimaksudkan bertumbuhnya bumi, maka samalah dengan biji.
  3. Madzhab Abu Yusuf bin Muhammad. Zakat wajib pada setiap apa yang keluar dari tanah dengan syarat dapat bertahan dalam satu tahun tanpa banyak pengawetan, baik ia ditakar seperti biji-bijian, maupun ditimbang seperti kapas dan gula. Jika tidak dapat bertahan dalam setahun seperti mentimun, petula, semangka, krambaja, dan buah-buahan serta sayur-sayuran lainnya maka tidak wajib zakat.
  4. Madzhab Malik mengenai zakat hasil bumi itu disyaratkan yang bisa tahan dan kering serta ditaman orang, baik yang diambil sebagai makanan pokok seperti gandum dan padi, maupun yang tidak seperti kunyit dan bijen. Dan menurut pendapatnya tidak wajib zakat pada sayur-sayuran dan buah-buahan seperti buah tinm delima dan jambu.
  5. Syafi'i berpendapat wajib zakat pada apa yang dihasilkan bumi dengan syarat merupakan makanan pokok dan dapat disimpan, serta ditanam oleh manusia seperti gandum dan padi. Nawawi berkata, "Madzhab kami, tidak wajib zakat pada pohon-pohonan kecuali pada kurma dan anggur. Begitupun tidak pada biji-bijian kecuali yang menjadi makanan pokok dan tahan disimpan. Juga tidak wajib zakat pada sayur-sayuran".
  6. Dan Ahmad berpendapat, wajib zakat pada setiap yang dikeluarkan Allah dari bumi, baik berupa biji-bijian dan buah-buahan, yakni yang dapat kering dan tahan lama, ditakar dan ditanam manusia di tanah mereka, baik ia berupa makanan pokok seperti gandum, atau biji-bijian seperti kacang, atau sejenis ketimun dan petula atau bangsa umbi seperti kunyit dan bijen. Menurut pendapatnya juga wajib zakat pada buah-buahan kering yang memiliki semua ciri-ciri diatas, seperti kurma, anggur, buah tin, buah kenari dan lain-lain. Dan menurutnya pula tidak wajib pada semua macam buah-buahan seperti semangka, krambaja, pepaya, jambu, buah tin yang tidak dikeringkan, begitu pula tidak wajib zakat pada sayur-sayuran seperti mentimun, petula, daun pepaya dan ketela dan lain-lain.

Sumber: Fiqhus Sunnah juz I oleh syaikh Sayyid Sabiq.

Rabu, 26 Mei 2010

Jenis Tanaman yang Tidak Dipungut Zakat

Zakat tidaklah dipungut dari sayur-sayuran dan dari buah-buahan kecuali anggur dan kurma. Diterima dari Atha' bin Sa'ib, bahwa Abdullah bin Mughirah bermaksud hendak memungut zakat dari hasil tanah Musa bin Thalhah berupa sayur-sayuran, maka kata Musa bin Thalhah, "Tak dapat anda memungutnya, karena Rasulullah SAW pernah mengatakan bahwa tidak wajib zakat pada sayur-sayuran". (Diriwayatkan oleh Daruquthni, Hakim dan hadits ini mursal dan kuat).

Berkata Musa bin Thalhah, "Ada keterangan dari Rasulullah SAW mengenai lima macam: padi, gandum, sult, anggur kering dan kurma, tapi hasil bumi lainnya tidak wajib dikeluarkan zakatnya. Dan katanya lagi, "Mu'adz tidaklah memungut zakat dari sayuran".

Berkata Baihaqi, "Semua hadits ini mursal, tetapi diriwayatkan dari berbagai jalan, hingga saling menguatkan. Disamping itu ada keterangan dari para shahabat, diantaranya Umar, Ali dan Aisyah.

Dan diriwayatkan oleh Atsram bahwa seorang pejabat pada masa Umar mengirim surat kepadanya tentang kurma, dimana dinyatakannya bahwa buah persik dan delima lebih banyak dan lebih berlipat ganda hasilnya daripada kurma. Umar membalas surat iu bahwa tidak dipungut zakat darinya, karena itu termasuk tanaman berduri.

Tirmidzi berkata, "Pada pelaksanaannya mengenai zakat tanaman ini bagi para ahli (sebagian besar ulama), ialah tidak ada zakat pada sayur-sayuran".

Qurthubi berkata, "Zakat itu hanyalah pada makanan-makanan yang mengenyangkan, bukan pada sayur-sayuran. Di Thaif banyak terdapat delima, persik dan lain-lain, tetapi tidak ada keterngan bahwa Nabi SAW maupun salah seorang khalifahnya memungut zakat dari buah-buahan tersebut".

Ibnul Qayyim berkata, "Tidak ada tuntunan dari Nabi SAW untuk memungut zakat dari kuda, budak, bagal, keledai, tidak pula dari sayur-sayuran, semangka, buah-buahan yang tidak ditakar dan disimpan kecuali anggur dan kurma, maka Nabi memungutnya sekaligus tanpa memisahkan yang basah dari yang kering".

Sumber: Fiqhus Sunnah juz I oleh syaikh Sayyid Sabiq.

Selasa, 25 Mei 2010

Jenis Tanaman yang Dipungut Zakatnya pada Masa Rasulullah SAW

Pada masa Rasulullah SAW zakat dipungut dari gandum, padi, kurma dan anggur kering. Dari Abu Burdah yang diterimanya dari Abu Musa dan Muadz ra, bahwa Rasulullah SAW mengutus mereka ke Yaman untuk mengajarkan kepada manusia masalah agama, maka mereka diperintahkan untuk tidak memungut zakat kecuali dari empat kenis ini, yaitu gandum, padi, kurma dan anggur kering. (Diriwayatkan oleh Daruquthni, Hakim, Thabrani dan Baihaqi yang mengatakan: para perawinya dapat dipercaya dan hadits ini muttashil (hubungan antara perawinya tidak terputus).

Berkata Ibnul Mundzir dan Ibnu Abdil Bar, "Para ulama sama sepakat bahwa zakat itu wajib pada gandum, padi, kurma dan anggur kering".

Dan pada riwayat Ibnu Majah terdapat keterangan bahwa Rasulullah SAW hanya mengatur pemungutan zakat itu pada gandum, padi, kurma dan anggur kering dan biji-bijian". Dalam isnad riwayat ini terdapat Muhammad bin Ubaidillah al-Arzami dan orang ini tak dapat diterima.

Senin, 24 Mei 2010

Zakat Tanaman dan Buah-Buahan

Hukum wajibnya zakat tanaman dan buah-buahan berdasarkan firman Allah Ta'ala:

"Hai orang-orang beriman, infakkanlah sebagian dari hasil tanaman usahamu yang baik-baik, begitupun sebagian dari apa yang Kami keluarkan untukmu dari perut bumi". (QS. al-Baqarah: 267)

Dalam ayat diatas yang dimaksud infak (nafkah) adalah zakat.

Allah Ta'ala pun berfirman:

"Dialah yang telah menciptakan kebun-kebun yang mempunyai naungan maupun tidak, menumbuhkan pohon kurma dan tanaman yang aneka warna rasanya, pohon zaitun dan delima, baik yang serupa maupun yang berbeda. Makanlah buahnya jika ia berbuah dan berikanlah haknya di waktu panennya". (QS. al-An'am: 141)

Ibnu Abbas ra mengatakan bahwa yang dimaksud "haknya" pada ayat diatas ialah zakat yang diwajibkan. Katanya lagi, "(besarnya) Sepersepuluh atau seperduapuluh".

Sumber: Fiqhus Sunnah Juz I oleh syaikh Sayyid Sabiq

Jenis Tanaman yang Diambil Zakatnya pada Masa Rasulullah SAW

Pada masa Rasulullah SAW zakat diambil dari gandum, padi, kurma dan anggur kering. Dari Abu Burdah yang diterimanya dari Abu Musa dan Muadz ra, "bahwasanya Rasulullah SAW mengutus mereka ke Yaman untuk mengajari manusia masalah agama, maka mereka diperintahkan agar tidak memungut zakat kecuali dari yang empat jenis ini, yaitu gandum, padi, kurma dan anggur kering". (Diriwayatkan oleh Daruquthni, Hakim, Thabrani, dan Baihaqi yang mengatakan para perawinya bisa dipercaya, dan hadits ini muttashil -hubungan antara perawi tidak terputus).

Ibnul Mundzir dan Ibnu Abdil Bar berkata, "Para ulama sepakat bahwa zakat itu wajib pada gandum, padi, kurma dan anggur kering".

Sedangkan pada riwayat Ibnu Majah terdapat keterangan bahwa Rasulullah SAW hanya mengatur pemungutan zakat itu pada gandum, padi, kurma, anggur kering, dan biji-bijian". Namun dalam isnad riwayat ini terdapat Muhammad bin Ubaidillah al-Arzami dan orang ini tidak dapat diterima.

Sumber: Fiqhus sunnah juz I karya syaikh Sayyid Sabiq

Kamis, 20 Mei 2010

Zakat Hasil Sewa Rumah

Abu Hanifah dan Malik berpendapat bahwa orang yang menyewakan  itu tidaklah berhak menerima sewa dengan semata-mata akad (perjanjian), tetapi ia baru berhak setelah habisnya waktu sewa. Oleh sebab itu barangsiapa menyewakan rumah ia tidak wajib mengeluarkan zakat dari hasil sewanya sebelum diterima (hak sepenuhnya) dan berlangsung masa satu tahun (haul) dan mencapai nishab.

Menurut madzhab Hanbali yang menyewakan itu memiliki hak sewa sejak terjadinya akad. Berdasarkan itu maka barangsiapa yang menyewakan rumahnya, wajiblah ia mengeluarkan zakat dari hasil sewanya itu apabila mencapai nishab dan terlah berlangsung selama satu tahun (haul).

Orang yang menyewakan itu leluasa menggunakan uang (hasil sewa) itu untuk berbagai macam keperluan.

Kemungkinan perjanjian sewa-menyewa itu bisa dibatalkan, tidaklah menjadi rintangan diwajibkannya zakat, sebagaimana halnya mahar sebelum campur (jima'). Kemudian apabila uang sewa itu telah diterima, hendaklah dikeluarkan zakatnya. Sebaliknya apabila sewanya berupa utang maka hukumnya seperti zakat piutang, baik pembayarannya cepat atau lambat.

Disebutkan dalam kitab al-Majmu' karangan Imam Nawawi bahwa jika seseorang menyewakan rumah atau lainnya dengan sewa tunai dan uangnya diterima, maka tidak ada perselisihan bahwa ia wajib mengeluarkan zakatnya.

Sumber: Fiqhus Sunnah juz I karya Sayid Sabiq

Rabu, 19 Mei 2010

Zakat Mahar (Maskawin)

Abu Hanifah berpendapat bahwa mahar bagi wanita itu tidak wajib dikeluarkan zakatnya, kecuali jika telah diterima karena ia merupakan ganti dari sesuatu yang bukan berbentuk harta, sehingga tidak wajib zakat sebelum diterima sama halnya seperti piutang atau tebusan dari budak yang hendak membebaskan diri.

Setelah mahar diterima, disyaratkan pula mencapai nishab dan haul (berlalu satu tahun), kecuali jika selain mahar itu ada harta lain yang satu nishab, maka mahar yang jumlahnya sedikit (tidak mencapai nishab) hendaklah digabungkan dengan harta yang tadi dan dikeluarkan zakatnya menurut perhitungan tahunnya.

Sedangkan menurut Syafi'i, wanita itu wajib mengeluarkan zakat mahar jika telah cukup haul (satu tahun). Ia harus mengeluarkan zakat dari keseluruhannya pada akhir tahun, sekalipun ia belum dicampuri (jima') oleh suaminya. Tidak ada pengaruh atau bedanya, apakah mahar itu mungkin gugur seluruhnya dikarenakan fasakh, murtad atau lainnya, atau separuhnya karena sebab perceraian.

Bagi golongan Hanbali mahar itu menurut pengakuan, merupakan piutang kepada wanita, maka hukumnya menurut mereka adalah seperti piutang. Jika terhadap orang yang mampu, wajib dikeluarkan zakatnya dan bila telah diterimanya hendaklah dikeluarkan zakatnya untuk masa yang telah lalu. Apabila terhadap orang miskin dan yang tidak mengakui maka pendapat yang lebih kuat menurut Khiraqi ialah wajib dikeluarkan zakatnya dan tidak ada bedanya apakah sebelum atau sesudah campur (jima').

Apabila separuh mahar jadi gugur disebabkan cerainya perempuan sebelum campur (jima') dan diterima mahar separuhnya lagi, maka wajib mengeluarkan zakat yang diterimanya dan tidak wajib mengeluarkan zakat dari mahar yang tidak diterimanya.

Begitu pula apabila seluruh mahar itu gugur sebelum diterima, disebabkan fasakhnya nikah karena kesalahan dari pihak dirinya.

Zakat Perhiasan

Para ulama telah sepakat bahwa tidak wajib zakat pada intan, berlian, yakut, mutiara, marjan dan batu-batu permata lainnya kecuali apabila diperjualbelikan. Apabila semua perhiasan tersebut diperdagangkan maka wajiblah zakat dikeluarkan.

Adapun mengenai perhiasan wanita berupa emas dan perak, terdapat perbedaan pendapat. Abu Hanifah dan Abu Hazmin mengatakan wajib zakat apabila telah mencapai nishab. Hal ini berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh Amar bin Syu'aib yang diterima dari bapaknya dari kakeknya, katanya: "Telah datang dua orang wanita yang memakai gelang emas di tangannya kepada Rasulullah SAW, lalu Rasulullah SAW berkata kepada mereka: "Apakah kamu ingin dibelitkan Allah pada tangan kalian pada hari kiamat nanti gelang-gelang dari api neraka?" Tidak, jawab mereka. Nabi pun berkata, "Jika demikian, keluarkanlah zakat barang yang ada ditangan kalian ini!"

Diterima dari Asma binti Yazid, katanya aku masuk bersama bibiku ke rumah Rasulullah SAW, saat itu kami memakai gelang emas, maka Rasulullah SAW berkata, "Apakah anda telah mengeluarkan zakatnya?" Kami menjawab, "Tidak",  lalu Rasulullah SAW berkata, Tidakkah kalian takut nanti akan diberi Allah gelang dari api neraka? Bayarlah zakatnya!"

Menurut Haitsami, hadits ini diriwayatkan oleh Ahmad dan isnadnya hasan.

Diterima dari Aisyah katanya, "Suatu ketika Rasulullah SAW datang dan dilihatnya ditanganku cincin-cincin perak, "Apa itu hai Aisyah?" tanyanya. Aku jawab, "Saya lakukan untuk berhias diri untukmu ya Rasulullah", Nabi bertanya lagi, "Apakah kamu keluarkan zakatnya?" Kujawab, "Tidak". "Masya Allah...", sampai Nabi SAW berkata, "Itu sudah cukup untuk memasukkanmu ke dalam neraka!" (Riwayat Abu Daud, Daruquthni dan Baihaqi)

Adapun ketiga Imam lainnya, mereka berpendapat bahwa tidak wajib zakat pada perhiasan-perhiasan wanita, berapapun banyaknya.

Baihaqi telah meriwayatkan bahwa Jabir bin Abdillah ditanya tentang perhiasan, apakah wajib padanya zakat, Jabir menjawab, "Tidak". Ditanyakan lagi kepadanya, "Bagaimana kalau (nilai perhiasannya) sampai seribu dinar?" Jawab Jabir, "Walaupun lebih dari itu!"

Baihaqi meriwayatkan bahwa Asma binti Abi Bakar menghiasi puteri-puterinya dengan perhiasan-perhiasan emas seharga lebih kurang 50 ribu dan tidak mengeluarkan zakatnya.

Dalam kitab al-Muwaththa' ada riwayat yang diterima dari Abdurrahman bin Qasim dari bapaknya bahwa Aisyah bertindak sebagai wali dari puteri-puteri saudaranya yang telah yatim. Mereka memakai barang-barang perhiasan dan Aisyah tidak mengeluarkan zakat dari perhiasan-perhiasan tersebut. Juga ada terdapat disana bahwa Abdullah bin Umar biasa memberi puteri-puteri dan sahaya-sahayanya perhiasan-perhiasan dari emas, dan tidak mengeluarkan zakatnya.

Khathabi berkata, "Lahir dari kitab suci -makdusnya firman Allah "Dan orang-orang yang menyimpan emas dan perak- menjadi alasan bagi orang yang mewajibkan, sementara atsar menguatkannya. Pihak yang menyatakan tidak wajib berpegang kepada dalil yang bersumber pada akal pikiran dan sebagian kecil atsar. Dan ikhtiyath (sikap yang lebih hati-hati) ialah mengeluarkan zakatnya".

Perselisihan ini ialah mengenai perhiasan-perhiasan yang halal, adapun jika wanita memakai perhiasan yang terlarang dipakainya -seperti mengambil hiasan laki-laki seperti pedang- maka hukumnya haram, demikian pula halnya apabila ia memakai bejana-bejana emas dan perak.

Sumber: Fiqhus Sunnah juz I oleh syaikh Sayyid Sabiq.