Abu Hanifah dan Malik berpendapat bahwa orang yang menyewakan itu tidaklah berhak menerima sewa dengan semata-mata akad (perjanjian), tetapi ia baru berhak setelah habisnya waktu sewa. Oleh sebab itu barangsiapa menyewakan rumah ia tidak wajib mengeluarkan zakat dari hasil sewanya sebelum diterima (hak sepenuhnya) dan berlangsung masa satu tahun (haul) dan mencapai nishab.
Menurut madzhab Hanbali yang menyewakan itu memiliki hak sewa sejak terjadinya akad. Berdasarkan itu maka barangsiapa yang menyewakan rumahnya, wajiblah ia mengeluarkan zakat dari hasil sewanya itu apabila mencapai nishab dan terlah berlangsung selama satu tahun (haul).
Orang yang menyewakan itu leluasa menggunakan uang (hasil sewa) itu untuk berbagai macam keperluan.
Kemungkinan perjanjian sewa-menyewa itu bisa dibatalkan, tidaklah menjadi rintangan diwajibkannya zakat, sebagaimana halnya mahar sebelum campur (jima'). Kemudian apabila uang sewa itu telah diterima, hendaklah dikeluarkan zakatnya. Sebaliknya apabila sewanya berupa utang maka hukumnya seperti zakat piutang, baik pembayarannya cepat atau lambat.
Disebutkan dalam kitab al-Majmu' karangan Imam Nawawi bahwa jika seseorang menyewakan rumah atau lainnya dengan sewa tunai dan uangnya diterima, maka tidak ada perselisihan bahwa ia wajib mengeluarkan zakatnya.
Sumber: Fiqhus Sunnah juz I karya Sayid Sabiq
Tidak ada komentar:
Posting Komentar