Kamis, 24 Juni 2010

Pengelolaan Zakat UPZ Instansi Pemerintah di Jabar Belum Maksimal

REPUBLIKA.CO.ID, BANDUNG – Ketua Badan Amil Zakat (BAZ) Provinsi Jabar, H M Suryani Ichsan, mengatakan, pengelolaan zakat oleh unit pengelola zakat (UPZ) instansi pemerintah, BUMN, dan BUMD, di Jawa Barat belum maksimal. Padahal potensi pengelolalan zakat di lingkungan tersebut sangat besar. Untuk meningkatkan kinerja pengelolaan zakat di instansi pemerintah, BAZ Provinsi Jabar membentuk dan meresmikan 25 UPZ di instansi pemerintah, baik pemerintah daerah, TNI/Polri, BUMD, dan BUMN.
Selama ini, kata Ichsan, pengelolaan zakat di lembaga tersebut masih dilakukan secara parsial. Ia berharap dengan diresmikannya UPZ tersebut pengelolaan zakat bisa terintegrasi secara baik. Sehingga, imbuh dia, pengumpulan dan penyaluran zakat dari lembaga tersebut sesuai dengan yang diharapkan. ’’Selama ini penyaluran zakat tersebut masih tumpang-tindih. Dengan adanya UPZ kondisi tersebut bisa diperbaiki,’’ ujar Ichsan yang juga menjabat Ketua Forum Zakat (FOZ) Provinsi Jabar, belum lama ini di Bandung.
Pembentukan UPZ tersebut, kata Ichsan, akan dilakukan secara bertahap. Ia berharap nantinya di setiap intansi pemerintah, TNI/Polri, BUMD, dan BUMD memiliki pengurus resmi dalam pengelolaan zakat anggotanya. ’’kami targetkan tiap bulan akan ada pengurus-pengurus UPZ yang dilantik. Saat ini baru sekitar 30 persen UPZ yang berada dalam naungan BAZ Provinsi Jabar,’’tutur dia.
Ichsan menuturkan, pembentukan UPZ-UPZ merupakan salah satu program prioritas BAZ Provinsi Jabar. Dengan pembentukan UPZ tersebut, imbuh dia, pengelolaan zakat di lembaga pemerintah bisa lebih maksimal. Jika hal tersebut terealisasi, maka target Pempov Jabar sebagai provinsi zakat pada 2011 bisa terealisasi. ’’Ini bagian dari program kami dalam mendukung Pemprov Jabar sebagai provinsi zakat tahun depan,’’tutur dia.
Dikatakan Ichsan, BAZ Provinsi Jabar memiliki empat bisa dalam programnya. Keempat visi tersebut antara lain menjadikan Jabar sebagai provinsi zakat, membangun ekonomi zakat, dakwah zakat, dan lembaga zakat yang berbasis teknologi informasi. Masalah teknologi informasi ini menjadi prioritas kami. ’’Kami ingin kaum Muslim yang ingin mengetahui tentang program zakat kita cukup mengakses di internet,’’ imbuhnya.

Red: Siwi Tri Puji.B
Rep: Joko Suceno

Sumber: www.republika.co.id/berita/dunia-islam/islam-nusantara/10/06/24/121412-pengelolaan-zakat-upz-instansi-pemerintah-di-jabar-belum-maksimal

Negara Perlu Campur Tangan Dalam Pengelolaan Zakat

JAKARTA--Dirjen Bimas Islam Kementerian Agama, Nasaruddin Umar menyatakan, negara perlu campur tangan dalam pengelolaan zakat. Dengan demikian penanggulangan kemiskinan dan peningkatan kesejahteraan masyarakat melalui pendayagunaan zakat akan bisa terwujud.
"Pemungutan zakat dapat dipaksakan berdasarkan firman Allah dalam surat at Taubah ayat 103. salah satunya lembaga yang mempunyai otoritas untuk melakukan pemaksaan dalam sistem demokrasi adalah negara lewat perangkat perundangan-undangan," paparnya.
Nasaruddin menjelaskan, zakat bukanlah bentuk charity biasa atau bentuk kedermawanan sebagaimana infak, wakaf dan hibah. Zakat hukumnya wajib (imperatif) sementara charity atau donasi hukumnya mandub (sunah). "Perlu ada otoritas seperti masa khalifah Abu Bakar, kalau tidak punya otoritas, masyarakat semaunya saja sekalipun kewajiban," ujarnya.
Ia menambahkan, potensi zakat di Indonesia sangat besar. "Seandainya zakat bisa berjalan lancar, saya yakin kemiskinan di Indonesia bisa teratasi," imbuhnya.
Dalam kaitan ini lanjutnya, pemerintah sangat mendukung pengembangan zakat melalui berbagai regulasi. Pemerintah mengajak para pengelola lembaga zakat yang tersebar di Indonesia untuk saling sinergi dan bersatu dalam pengelolaan zakat.
Menurut Nasaruddin, jika seluruh masyarakat yang ber KTP Islam membayar zakat bisa terkumpul dana Rp 30 trilyun. Namun pada tahun 2009 lalu, dana zakat yang diberbagai lembaga zakat baru terkumpul Rp 800 milyar. "Banyak sekali yang tidak keluarkan zakat karena tidak tahu cara menghitung zakat," katanya.

Red: Siwi Tri Puji.B
Sumber: Kemenag

Sumber: www.republika.co.id/berita/dunia-islam/islam-nusantara/10/06/24/121413-negara-perlu-campur-tangan-dalam-pengelolaan-zakat

Minggu, 20 Juni 2010

Masjid Belum Maksimal Kelola Zakat

REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA--Pengelolaan zakat oleh masjid-masjid di Indonesia belum maksimal. Padahal masjid memiliki potensi besar menghimpun dana zakat dari umat. Demikian disampaikan Didin Hafiduddin, Ketua BAZNAS saat memberikan sambutan membuka acara bedah buku yang bertajuk “Jurus Menghimpun Fulus Manejemen Zakat Berbasis Masjid” di Masjid Al Azhar, Jakarta, Jumat (18/6)
Oleh karena itu, Didin mengemukakan, ada beberapa langkah yang bisa ditempuh masjid guna mengoptimalkan peran sebagai Lembaga Amil Zakat (LAZ) yang terdekat dengan masyarakat. Menurut dia, pihak masjid perlu melakukan sosialisasi rutin tentang hakekat dan kegunaan zakat karena selama ini pengertian zakat masih dipahami secara konvensional dan tidak komprehensif.
Menurut Didin, pihak masjid bisa menekankan pemahaman kepada khalayak bahwa zakat adalah media penting dalam upaya meningkatkan kesejahteraan. Zakat dapat diberdayakan sebagai pilar mengatasi keterpurukan umat termasuk masalah kemiskinan. “Potensi zakat luar biasa untuk mengatasi persoalan umat,”jelasnya.
Selain itu, tambah dia, pihak masjid perlu mencanangkan program-program pemberdayaan zakat yang hasilnya bisa langsung dirasakan oleh masyarakat. Didin menegaskan, lembaga amil zakat harus bertindak profesional berlandaskan prinsip amanah dan akuntabilitas. Didin mencotohkan, zakat bisa diberdayakan untuk membiayai pelayanan gratis antara lain pendidikan, kesehatan dan layanan publik lainnya.
Namun Didin mengimbau, lembaga-lembaga amil zakat terutama yang berada di lingkungan masjid untuk bekerjasama dan bersinergi dengan baik. Hal itu penting dilakukan agar potensi zakat bisa lebih diberdayakan secara maksimal. “Jika dilakukan bersama-sama maka kekuatan zakat akan lebih dirasakan,” ungkapnya.
Sementara itu, M Anwar Sani, Direktur LAZ Masjid Al Azhar, mengatakan, pihak masjid perlu mengubah cara pandang tentang pengelolaan zakat. Menurut dia, pihak masjid hanya melakukan pengumpulan dana zakat sebatas di bulan Ramadan. Akibatnya muncul kesan masjid tidak peduli dengan lingkungan masyarakat sekitar yang membutuhkan solusi setiap waktu.”Gerakan pengelolaan zakat di masjid-masjid masih pasif,” katanya.
Oleh karena itu, tandas Anwar yang juga penulis buku “Jurus Menghimpun Fulus Manejemen Zakat Berbasis Masjid”, pihak masjid dituntut aktif mengelola dan memberdayakan zakat karena masjid sangat potensial menghimpuan zakat dari umat. Sebagai contoh, imbuh dia, LAZ masjid Al Azhar selama Ramadan 2009 lalu mampu mengumpulkan dana zakat sebesar Rp 11,6 miliar. “Saya yakin jika dikelola dengan baik zakat akan lebih bermanfaat,” pungkasnya.

Red: Krisman Purwoko
Rep: Nashih Nashrullah

Sumber: http://m.republika.co.id/berita/dunia-islam/islam-nusantara/10/06/18/120579-masjid-belum-maksimal-kelola-zakat

Kamis, 10 Juni 2010

Zakat Pengurang Pajak Mendesak Diberlakukan

Dalam urusan Zakat, Singapura ternyata lebih maju. Setidaknya dalam konsep zakat pengurang pajak yang saat ini sedang diperjuangkan lembaga amil zakat di Indonesia, rupanya telah diterapkan cukup lama di negara tersebut. Bahkan sistem pembayaran pajak dan zakat sudah terhubung secara terpadu sehingga memudahkan bagi warga muslim disana untuk melakukan transaksi di satu tempat saja.
''Indonesia belum sampai ke sana tapi akan menerapkan pola itu apabila amandemen undang-undang No 38 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat dapat terwujud tahun ini,'' kata KH Diddin Hafiduddin, ketua umum Badan Amil Zakat Nasional (Baznas) kepadaRepublika di sela-sela pertemuan dewan zakat Mabims ke II di Solo, Kamis (10/6). Acara yang dihadiri para delegasi dari empat negara muslim di Asia Tenggara itu dibuka oleh Dirjen Bimas Islam Kemenag, Prof Nazaruddin Umar.
Direktur Dompet Dhuafa, Mohammad Arifin Purwakananta juga menambahkan, di Singapura seorang wajib pajak yang kelebihan membayar pajaknya langsung mendapat restitusi apabila ternyata pembayaran zakatnya belum dihitung. ''Kalau di kita kan tidak. Restitusi harus diurus sendiri. Kalau kita lihat, kantor Pajak mengeluarkan nomor pokok wajib pajak (NPWP) dan lembaga zakat mengeluarkan nomor pokok wajib zakat (NPWZ). Mestinya cukup satu saja,'' jelas Arifin yang dihubungi terpisah.
Keduanya berpendapat sudah saatnya antara pajak dan zakat bisa disinergikan. Namun untuk menuju ke sana, kendalanya pada regulasi tentang pengelolaan zakat yang belum mengatur zakat sebagai pengurang pajak (zakat kredit pajak). Mabims merupakan organisasi lembaga zakat di negara-negara muslim di Asia Tenggara yakni Malaysia, Brunei Darusssalam, Indonesia dan Singapura. Mabims menjadi wadah untuk berbagi pengalaman tentang pengelolaan zakat di negara-negara muslim.
Berkaca dari permasalahan tersebut diatas, Didin mengaku lembaga amil zakat sedang memperjuangkan amademen UU No 38 Tahun 1999. Komisi VIII sebagai mitra kerja lembaga zakat sudah menjanjikan penyelesaian amandemen pada tahun 2010. Dalam kerangka itu, ada tiga hal yang akan diusulkan agar masuk dalam perubahan undang-undang tersebut. Pertama menyangkut pembenahan kelembagaan zakat agar lebih terkoordinasi dengan baik.
Masalah berikutnya, menyangkut zakat sebagai pengurang pajak. Hal ini sangat penting sekali karena berkaitan dengan percepatan penggalian zakat. Karena jika ini terwujud maka potensi zakat dapat bertambah. Ia mengatakan, saat ini potensi zakat tiap tahun Rp 20 triliun. Bila zakat pengurang pajak diterapkan maka potensi ini akan bertambah sekitar 50 persennya atau menjadi Rp 30 triliun.
Keuntungan lainnya dari zakat kredit pajak adalah memudahkan dalam penghitungan kekayaan seseorang. ''Nilai zakat 2,5 persen dari kekayaan yang dimiliki. Jadi kalau zakatnya terus meningkat berarti kekayaan juga naik,'' tegasnya.
Masalah ketiga menyangkut sanksi bagi wajib zakat tapi tidak mengeluarkan zakat. Guna terus meningkatkan potensi zakat, baik Didin maupun Arifin sepakat agar sosialisasi antar amil zakat maupun antar negara terus ditingkatkan. DD lanjut Arifin menghendaki agar ke depan, Mabims menjadi gerakan yang mendunia (world zakat forum) hingga Amerika dan Eropa.

Sumber: http://www.republika.co.id/berita/dunia-islam/islam-nusantara/10/06/10/119327-zakat-pengurang-pajak-mendesak-diberlakukan

Selasa, 08 Juni 2010

Mengeluarkan yang Baik bila Berzakat

Allah SWT memerintahkan kepada orang yang berzakat agar mengeluarkan yang baik dari hartanya dan melarang berzakat dengan yang jelek. Firman Allah SWT: "Hai orang-orang yang beriman, infaqkanlah (zakatlah) yang baik dari sebagian hasil usahamu, begitupun dari hasil bumi yang Kami keluarkan untukmu, dan janganlah kamu sengaja memilih yang jelek untuk  diinfakkan (dizakatkan) padahal kamu (sendiri) tidak mau menerimanya jika diberi, kecuali dengan memejamkan mata, dan ketahuilah bahwa Allah Maha Kuasa dan Maha Terpuji". (QS. al-Baqarah: 267)

Abu Daud, Nasa'i dan lain-lain meriwayatkan dari Sahl bin Hanif dari bapaknya, katanya: "Rasulullah SAW telah melarang mengeluarkan zakat kurma apabila kondisinya telah jelek dan warnanya kusam".

Orang umumnya memilih yang jelek diantara buah-buahan, lalu mereka keluarkan untuk membayar zakat, maka datanglah larangan kepada mereka dan turunlah ayat: "Dan janganlah kamu sengaja memilih yang jelek untuk zakat!"

"Ayat ini diturunkan kepada kami, kaum Anshar. Kami adalah pemilik pohon-pohon kurma, maka masing-masing kami membawa buah kurmanya, sedikit atau banyak menurut kemauan masing-masing. Caranya ialah setiap orang membawa setandan atau dua tandan yang digantungkan di masjid. Mereka yang tinggal di emper (dari kalangan muhajirin yang tidak mampu) biasanya tidak mempunyai makanan, maka apabila salah seorang merasa lapar, ia datang mendekati tandan kurma itu lalu menebasnya dengan tongkat hingga berjatuhanlah putik dan buah kurmanya, lalu dimakannya. Orang-orang yang tidak beradab membawa tandan berisi buah yang buruk dan sudah busuk, tandannya pun sudah pecah, lalu mereka menggantungkannya, maka Allah pun menurunkan ayat tersebut diatas".

Penjelasannya: "maksudnya, apabila salah seorang diantara kaliuan memberi sesuatu (pemberian) sebagai zakat, tidaklah akan diterima pemberian tersebut kecuali dengan rasa malu dan memicingkan mata". (Diriwayatkan oleh Tirmidzi dan mengatakannya hasan, shahih dan gharib).

Imam Syaukani berkata, "Keterangan itu menyatakan bahwa pemilik harta tidak boleh memilih yang jelek dari yang baik untuk zakat. Hal itu adalah secara tegas pada kurma dan dengan jalan qiyas pada jenis-jenis lain yang wajib dikeluarkan zakatnya. Begitu pula yang diberi zakat, tidak boleh menerima zakat tersebut (dari yang jelek)".

Sumber: Fiqhus Sunnah juz I oleh syaikh Sayid Sabiq.

Senin, 07 Juni 2010

Saat Wajibnya Zakat Buah-Buahan dan Tanaman

Wajib zakat pada tanaman bila bijinya telah keras dan dapat dimakan. Adapun jenis buah-buahan apabila telah nampak baiknya (matang). Hal itu dapat diketahui dengan dagingnya yang kemerah-merahan dan pada anggur terasa manisnya. (Ini adalah pendapat jumhur ulama, sedangkan menurut Abu Hanifah menjadi wajib manakala tanaman telah tumbuh dan putiknya muncul).

Zakat dikeluarkan hanyalah setelah dibersihkannya biji dan keringnya buah. Seandainya petani menjual hasil tanamannya setelah kerasnya biji dan baik dimakannya buah, maka zakat biji dan buah itu adalah kewajibannya, bukan kewajiban pembeli, karena sebab wajibnya telah ditetapkan sewaktu hasil tersebut masih berada dalam tangannya.

Sumber: Fiqhus Sunnah juz I oleh syaikh Sayid Sabiq.

Minggu, 06 Juni 2010

Mencampurkan Tanaman dan Buah-Buahan

Para ulama sependapat, bahwa hendaknya berbagai macam hasil buah-buahan itu digabungkan satu dengan yang lainnya, sekalipun berbeda kualitas (baik atau buruk) dan warnanya. Demikian pula hendaklah mencampurkan berbagai macam kualitas anggur, gandum dan semua jenis biji-bijian.

Para ulama pun sepakat bahwa barang-barang dagangan hendaknya digabungkan dengan uangnya, dan uang bersama barang-barang dagangan. Tetapi Syafi'i berpendapat, tidak boleh digabung kecuali kepada jenis yang dibeli dengannya karena nisab hanya diperhitungkan dengan itu.

Juga mereka setuju mengenai hasil-hasil diluar buah dan biji-bijian, tidak boleh digabung suatu jenis kepada jenis yang lain. Misalnya ternak, tidak boleh digabung suatu jenis kepada jenis yang lainnya. Seperti unta tidak digabung kepada sapi untuk mencukupkan nishabnya, begitu pun jenis buah-buahan tidak boleh dicampurkan apabila berlainan jenis, misalnya kurma dengan anggur.

Mengenai penggabungan jenis biji-bijian yang berbeda satu sama lain, terdapat perbedaan pendapat diantara para ulama, tetapi pendapat yang lebih benar dan utama, ialah dalam menghitung nishab tidaklah digabung suatu jenis dengan jenis yang lainnya, dan setiap jenis itu berdiri sendiri dalam mencukupi nishabnya masing-masing.

Hal tersebut dikarenakan jenisnya berbeda dan berlainan menurut namanya masing-masing. Jadi, padi tidaklah digabung dengan gandum, begitu pula sebaliknya, dan lain-lain. Ini merupakan pendapat Abu Hanifah, Syafi'i dan salah satu riwayat Ahmad, serta menjadi madzhab dari sebagian besar ulama-ulama salaf.

Berkata Ibnul Mundzir, "Telah menjadi ijma' dan ulama bahwa unta tidaklah digabungkan kepada sapi atau kambing, tidak pula sapi kepada kambing atau kurma dengan anggur. Demikian juga pada jenis-jenis lainnya. Dan orang-orang yang mengatakan agar jenis yang berlainan itu digabung, tidak mempunyai alasan yang sah dan kuat".

Sumber: Fiqhus Sunnah juz I oleh syaikh Sayid Sabiq.

Sabtu, 05 Juni 2010

Memakan Hasil Tanaman

Pemilik tanaman, boleh memakan sebagian hasil tanamannya dan tidak diperhitungkan (dalam penaksiran zakat) makanan yang dimakannya. Alasannya karena demikianlah adat kebiasaan yang berlaku dan yang dimakan itu jumlahnya pun sedikit. Hal ini tidak ada bedanya dengan pemilik buah-buahan yang menikmati hasil buah-buahan mereka. Maka apabila selesai memanen dan bijinya telah dibersihkan, barulah dikeluarkan zakatnya dari yang ada.

Ahmad ditanya mengenai buah-buahan yang pecah (rusak) dan dimakan oleh para pemiliknya, ujarnya: "Tidaklah apa-apa bagi pemiliknya memakan apa yang dibutuhkannya". Demikian juga pendapat dari Syafi'i, Laits dan Ibnu Hazm. (Sedangkan menurut Malik dan Abu Hanifah, hendaklah diperhitungkan sebagai nishab apa yang dimakan oleh pemilik sebelum waktu mengetam).

Sumber: Fiqhus Sunnah juz I oleh syaikh Sayid Sabiq.

Jumat, 04 Juni 2010

Mengukur Nishab Kurma dan Anggur

Jika kurma atau anggur telah berputik dan kelihatan akan menjadi baik, maka mengukur nishabnya adalah dengan menaksir bukan dengan ditakar. Caranya ialah salah seorang ahli taksir yang jujur memperkirakan buah kurma dan anggur yang ada di pohonnya, lalu menaksir berapa banyaknya nanti apabila telah menjadi kering, sehingga dapat diketahui berapa kadar zakat yang wajib dikeluarkan. Apabila buah-buahan itu telah kering, diambillah zakat sesuai dengan perkiraan sebelumnya.

Diterima dari Abu Humaid as-Sa'idi ra katanya, "Kami berperang bersama Rasulullah saw di perang Tabuk, tatkala sampai di Wadil Qura, kelihatan seorang wanita sedang bertada dalam kebunnya, maka bersabdalah Nabi SAW, "Taksirlah!" dan Rasulullah SAW sendiri menaksirnya 10 wusuq, lalu sabdanya kepada wanita itu, "Saya taksir hasilnya". (HR al-Bukhari).

Ini merupakan Sunnah Rasulullah SAW dan perbuatan para shahabat dibelakangnya dan menjadi pendirian kebanyakan para ulama. Sebaliknya, Ahnaf menentangnya karena taksiran ini dasarnya dugaan semata sehingga tidak dapat menjadi ukuran. Tetapi mengikuti sunnah Rasulullah SAW lebih utama karena menaksir itu bukanlah dugaan semata tetapi merupakan hasil ijtihad dalam mengetahui banyaknya buah-buahan, tidak ubahnya dengan menaksir harga barang-barang yang ditimpa kerusakan.

Adapun sebab dianjurkannya menaksir ialah menurut kebiasaan, buah-buahan itu dimakan selagi masih segar, maka perlu hasil tanaman itu diperkirakan terlebih dahulu sebelum dipanen dan dikonsumsi.

Selain itu, agar para pemiliknya dapat membelanjakan hartanya dengan leluasa, dimana harta yang akan dizakatkan telah terjamin. Saat menaksir, juru taksir hendaknya tidak menghitung yang sepertiga atau seperempat untuk memberi kelapangan bagi si pemilik harta, karena mereka pun butuh dan ingin mengkonsumsinya, sebagaimana halnya untuk para tamu maupun tetangga mereka. Selain itu, buah-buahan tidak pula luput dari kerusakan, seperti dimakan burung atau orang yang lewat (kebun), atau jatuh diterpa angin dan sebab lainnya. Maka sekiranya zakat dihitung dari semua buah tanpa mengecualikan sepertiga atau seperempatnya, tentulah akan menyulitkan para pemiliknya.

Diterima dari Sahl bin Abi Hatsmah bahwa Nabi SAW bersabda, "Jika kamu melakukan penaksiran, maka ambil dan tinggalkanlah yang sepertiga, dan jika kamu tak mau menyisakan sepertiga, maka tinggalkan seperempat". (Diriwayatkan oleh Ahmad dan ash-Habus Sunan kecuali Ibnu Majah. Juga diriwayatkan oleh Hkim dan Ibnu Hibban, dan keduanya menyatakan sahnya).

Menurut Imam Tirmidzi, dalam prakteknya kebanyakan ulama mengikuti hadits Sahl diatas.

Dari Basyir bin Yasar, katanya, "Umar bin Khattab ra mengutus Abu Hatsmah al-Anshari untuk menaksir harta kekayaan kaum muslimin, maka pesannya, "Jika kamu melihat orang-orang itu telah tinggal di kebun-kebun kurma mereka di musim gugur, maka biarkanlah yang mereka makan, tidak usah dimasukkan dalam penaksiran".

Dan dari Makhul katanya, "Bila Rasulullah SAW mengirim juru taksir, maka beliau akan berpesan, "Berilah keringanan kepada manusia, karena antara harta itu ada yang disuguhkan, yang dimakan oleh orang-orang yang lewat dan oleh pemiliknya". (Riwayat Abu Ubaid, katanya, "Wathiah maksudnya ialah orang yang lewat". Dikatakan demikian ialah karena mereka menginjak dan melewati tanah tempat tumbuhnya buah-buahan tersebut).

Sedangkan akilah ialah para pemiliknya dan keluarga mereka serta orang-orang yang erat hubungannya dengan mereka.

Sumber: Fiqhus Sunnah juz I oleh syaikh Sayid Sabiq.

Kamis, 03 Juni 2010

Zakat dari Hasil Tanah Sewa

Jumhur ulama berpendapat bahwa orang yang menyewa tanah dan menggarapnya, berkewajiban mengeluarkan zakat, jadi bukan pemilik tanahnya. Namun menurut Abu Hanifah, zakat menjadi kewajiban pemilik tanah.

Ibnu Rusyid berkata, "Sebab perselisihan pendapat para ulama ialah apakah zakat itu kewajiban tanah ataukah kewajiban tanaman, dan karena menurut pandangan mereka, zakat merupakan kewajiban salah satu diantara keduanya, maka muncullah perbedaan pendapat manakah diantara kedua itu lebih layak menjadi sumber zakat, yakni bila tanaman dan tanah yang dimiliki oleh perorangan, berada dalam satu tangan. Jumhur berpendapat, ialah apa yang wajib padanya zakat ialah benih, sementara menurut Abu Hanifah, apa yang menjadi sumber hukum wajibnya adalah tanah".

Ibnu Qudamah memandang pendapat jumhur lebih kuat, katanya, "Zakat itu wajib pada tanaman, maka terpikullah atas si pemilik tanaman itu, seperti menzakatkan uang sebagai harga dari barang dagangan dan mengeluarkan zakat tanaman hasil tanah kepunyaan sendiri".

"Perkataan mereka (madzhab Abu Hanifah) bahwa zakat menjadi tanggungan tanah adalah tidak benar, karena jika demikian tentulah zakat wajib dikeluarkan walau tanah itu tidak digarap seperti halnya (tanah) kharaj, juga tentulah akan diwajibkan atas orang-orang dzimmi (penduduk kafir dibawah kekuasaan Islam), seperti halnya kharaj dan tentunya pula zakat itu dihitung menurut luasnya tanah, bukan menurut bnyaknya hasil panen, tentu juga didistribusikannya kepada golongan-golongan yang berhak menerima pembagian rampasan, bukan yang berhak menerima zakat".

Sumber: Fiqhus Sunnah juz I oleh syaikh Sayid Sabiq.

Rabu, 02 Juni 2010

Kelemahan Pendapat Abu Hanifah atas Tidak Wajib Zakat pada Tanah Kharaj

Madzhab Abu Hanifah mengambil pendapat tidak wajibnya zakat atas tanah kharaj berdasar dalil-dalil berikut ini:

1. Apa yang diriwayatkan oleh Ibnu Mas'ud bahwa Nabi SAW bersabda, "Tidak mungkin berhimpun zakat dan pajak pada tanah orang Islam".

Hadits ini disepakati kelemahannya (dhaif) secara ijma'. Ia diriwayatkan oleh Yahya bin Anbasah seorang diri dari Abu Hanifah, dari Hamad dari Ibrahim an-Nakha'i dari Alqamah dari Ibnu Mas'ud dari Nabi SAW.

Berkata Baihaqi dalam "Mengenal Sunnah-Sunnah dan Atsar", "Riwayat yang disebutkan itu disampaikan oleh Abu Hanifah dari Hamad lalu dari Ibrahim hanyalah ucapannya pribadi, kemudian diriwayatkan oleh Yahya secara marfu, dan Yahya bin Anbasah ini telah dikenal kelemahannya karena biasa meriwayatkan hadits-hadits palsu dari kalangan orang-orang dipercaya. Keterangan yang disampaikan pada kami oleh Abu Sa'id al-Malini tentang pribadinya ini, diucapkan sendiri oleh Abu Ahmad bin Adi al-Hafidz.

Ia juga dinyatakan dha'if (lemah) oleh Kamal ibnul Hamam salah seorang imam dari madzhab Hanafi yang menguatkan madzhab jumhur (mayoritas) dan mengkritik pendapat Abu Hanifah.

2. Diriwayatkan oleh Ahmad, Muslim dan Abu Daud dari Abu Hurairah bahwa Nabi SAW bersabda, "Orang-orang Irak tidak mau mengeluarkan hasil tanah dan peraknya, orang-orang Sirian tidak mau mengeluarkan barang sukatan dan uang emasnya, begitupun orang-orang Mesir (tidak mau mengeluarkan) hasil pertanian dan emas peraknya, sementara kalian akan kembali seperti pada awalnya". Kalimat ini diucapkan Nabi sampai tiga kali, disaksikan langsung oleh Abu Hurairah.

Cara mengambil dasar alasan dari hadits ini ialah bahwa hadits tersebut menyatakan beberapa kewajiban dan keengganan memenuhi kewajiban tersebut, yakni kewajiban terkait dengan pajak. Menurut mereka, seandainya kewajiban yang dimaksud adalah zakat, tentulah Nabi SAW akan menyebutkannya.

Sebenarnya, dalam hadits diatas tidak ada petunjuk yang menyatakan tidak diambilnya zakat dari tanah kharaj. Para ulama telah menjelaskan maksud hadits tersebut bahwa orang-orang itu (di Irak, Siria dan Mesir) akan menganut Islam hingga jizyah (pajak jiwa) akan gugur dari mereka. Atau, hadits diatas adalah ramalan akan terjadinya fitnah di akhir zaman yang akan mengakibatkan tidak dipenuhinya kewajiban yang semestinya dilaksanakan, seperti zakat, jizyah dan lainnya.

Diakhir penakwilan tersebut, Nawawi berkata, "Seandainya maksud hadits tersebut benar seperti yang mereka (madzhab Hanafi) katakan, tentulah zakat emas, perak, dan perniagaan pun tidak wajib lagi, padahal tidak seorang pun yang berpendapat demikian".

3. Diriwayatkan bahwa setelah raja Dahqan Bahz memeluk Islam, Umar bin Khattab ra memerintahkan agar menyerahkan tanah kepadanya lalu memungut pajaknya. Riwayat ini secara tegas memerintahkan untuk memungut pajak, tanpa adanya perintah untuk memungut zakat.

Melalui riwayat ini hendak menyatakan bahwa kharaj tidaklah gugur dengan masuk memeluk Islam, dan hal itu tidak berarti menggugurkan kewajiban zakatnya. Disebutkannya kharaj karena mungkin memunculkan dugaan bahwa ia bisa gugur dengan memeluk Islam sebagaimana halnya jizyah.

Adapun zakat, telah dimaklumi sebagai kewajiban atas setiap muslim yang merdeka, sehingga tidak perlu disebutkan lagi. Hal ini sebagaimana tidak dicantumkannya pemungutan zakat ternak, begitupula zakat emas dan perak. Atau bisa jadi sebabnya karena para penguasa itu tidak memiliki tanaman yang mewajibkannya mengeluarkan zakat.

4. Pernyataan bahwa gubernur dan penguasa saat itu tidak memungut pajak dan zakat secara bersamaan, adalah tidak benar, karena sebagaimana diriwayatkan oleh Ibnul Mundzir, bahwasanya Umar bin Abdul Aziz memungut keduanya (zakat dan pajak) secara serentak.

5. Kharaj berbeda dari zakat, karena kharaj wajibnya berakibat pidana sementara wajibnya zakat dari segi ibadah, maka tidak mungkin keduanya akan berkumpul pada orang yang satu hingga dipikulnya dua kewajiban tersebut sekaligus.

Ini memang benar, tetapi untuk waktu permulaan saja, tidak mungkin selamanya. Tidak semua bentuk kharaj itu berdasarkan paksaan dan penaklukan, tetapi adapula yang bebas dari unsur kekerasaan, seperti halnya pada tanah yang dekat letaknya dengan tanah kharaj atau yang diusahakan dan diairi dengan air selokan.

6. Bahwa yang menjadi sebab dari masing-masing kharaj dan zakat itu hanya satu, yaitu tanah yang berkembang, baik menurut hakikat kenyataan maupun dari segi hukum. Alasannya ialah seandainya tanah itu tidak digarap dan tidak ada manfaatnya, maka tidaklah wajib padanya zakat maupun kharaj.

Jadi jika sebabnya itu satu, maka tidak mungkin kharaj dan zakat itu berhimpun serentak pada tanah yang sama, karena pada satu sebab tidak dapat dibebankan dua kewajiban yang sejenis, seperti halnya apabila seseorang memiliki ternak yang mencapai nishab untuk diperdagangkan selama satu tahun, maka tidaklah wajib ia mengeluarkan dua macama zakat (yakni zakat ternak dan zakat perdagangan).

Tidaklah benar seperti demikian karena zakat tanaman ialah pada tanaman yang tumbuh dari dalam tanah, sedangkan kharaj wajib karena tanah itu sendiri, baik ditanami atau dibiarkan. Misalkan kesatuan sebab itu diterima maka sebagaimana dikatakan oleh Kamal bin Hammam, tidak ada halangan bila sebab yang satu (tanah) timbul dua kewajiban.

Sumber: Fiqhus Sunnah juz I oleh syaikh Sayid Sabiq.

Kinerja Pengelola Zakat Plat Merah yang Tidak Merah

Tidak selamanya lembaga pengelola zakat yang dibentuk pemerintah memiliki kinerja yang buruk. Beberapa diantaranya malah bisa disejajarkan dengan lembaga pengelola zakat (LAZ) yang telah mapan dan dikenal kredibilitasnya, seperti Dompet Dhuafa, PKPU, DPU-DT, ataupun Rumah Zakat, dalam hal profesionalitas mereka mengelola zakat. Jumlah lembaga pengelola zakat berplat merah yang berkinerja baik, memang masih relatif sedikit. Menurut Ahmad Juwaini, Direktur Eksekutif Dompet Dhuafa Republika (DDR), dari 400 BAZ yang ada di seluruh Indonesia, baru sekitar 50 BAZ saja yang telah dikelola secara profesional, atau hanya sekitar 8% nya saja. (Republika : Selasa, 01 Juni 2010 pukul 08:22:00).

Demikian halnya dengan kinerja Badan Amil Zakat (BAZ) di Jawa Barat, ada diantaranya yang memiliki kinerja yang baik, atau setidaknya berada dalam right track menuju pengelolaan zakat yang profesional. Di Jawa Barat, Zakat Watch melihat setidaknya ada 4 Badan Amil Zakat (BAZ) kota dan Kabupaten yang dikelola secara profesional. Ke-4 BAZ tersebut ialah BAZ Kota Bogor, BAZ Kota Depok, BAZ Kabupaten Sukabumi dan BAZ Kabupaten Cianjur. Dalam beberapa hal, ke-4 BAZ Kota dan Kabupaten tersebut memiliki beberapa kesamaan dimana hal ini bisa jadi merupakan kunci bagi terlaksananya pengelolaan zakat yang amanah dan profesional. Beberapa kesamaan tersebut antara lain adalah sebagai berikut:

1. Dukungan penuh dari penguasa/pemda setempat, khususnya dari para walikota atau bupati. Tidak bisa tidak, faktor dukungan penguasa menjadi hal yang cukup signifikan bagi keberhasilan BAZ di suatu daerah, dimana hal ini tidak hanya memberikan akses yang luas bagi BAZ untuk mengelola dana zis di daerah tersebut, tetapi dukungan berupa keteladanan penguasa akan dengan mudah diikuti oleh para bawahan di jajaran pemda serta masyarakat. Bahkan diceritakan ada seorang walikota yang tidak sungkan-sungkan me"motong" sendiri penghasilannya dan menyerahkan ke BAZ.

2. Dikelola anak muda. Sebagian besar pelaksana pengelola di BAZ tersebut banyak didominasi oleh anak-anak muda, selain energik dan memiliki semangat tinggi, juga umumnya memiliki idealisme dalam masalah pengelolaan zakat, khususnya dalam pemberdayaan masyarakat. Namun demikian, tidak berarti peran dari generasi yang lebih senior tidak ada, di suatu kabupaten misalnya, beberapa pengurusnya adalah tokoh yang cukup senior namun kehadiran beliau justru untuk membimbing dan memberikan nasehat bagi "anak-anak muda", tanpa ikut campur terlalu jauh dalam masalah pelaksanaan pengelolaan zakat.

3. Sadar akan peran strategis media informasi, ke-4 BAZ tersebut umumnya memberikan perhatian yang serius. Selain membangun media internal untuk sosialisasi lembaga dan fungsinya, seperti melalui buletin dan majalah yang diterbitkan berkala, mereka pun cukup serius membangun website. Keseriusan ini bisa dilihat tidak hanya dari desain situsnya yang menarik, tetapi juga pengelolaan konten yang senantiasa diperbaharui. Lebih jauh, beberapa BAZ bahkan telah menjalin kerjasama dengan media (koran, radio) lokal untuk mensosialisasikan zakat dan lembaganya.

4. Transparansi. Inilah hal yang membedakan dengan BAZ dan bahkan sebagian LAZ, dimana ke-4 BAZ ini berupaya mempublikasikan aktifitasnya kepada masyarakat, bukan sekedar laporan kegiatannya tetapi juga laporan keuangannya. Dengan mudah kita bisa mengetahui keuangan mereka secara berkala. BAZ Kota Bogor dan BAZ Kabupaten Cianjur misalnya, menyajikan laporan keuangan bulanannya melalui website mereka dan masyarakat bisa melihat dan mendownloadnya. Disamping itu, laporan pun dipublikasikan melalui media internal mereka secara berkala. Upaya transparansi ke publik memang bukan sekedar masalah amanah yang harus dijaga, tetapi juga sebagai upaya membangun lembaga pengelola zakat yang kredibel, layak dipercaya masyarakat.

Itulah beberapa lembaga pengelola zakat berplat merah namun memiliki kinerja yang bisa dikatakan baik, dimana mereka berupaya mengelola amanah dari masyarakat secara profesional. Dalam batas tertentu, kinerja mereka bisa disandingkan dengan beberapa LAZ terkemuka, tentu dengan sekala yang berbeda.

Selasa, 01 Juni 2010

Zakat Tanah Kharaj

Secara umum tanah dibagi ke dalam dua kategori, yaitu:

  1. Tanah umum atau biasa ('asyariyah), yaitu tanah yang dimiliki oleh penduduknya yang beragama Islam secara sukarela, atau direbut kaum muslimin sewaktu penaklukan yang kemudian dibagikan diantara mereka, atau tanah yang diusahakan oleh kaum muslimin sendiri.
  2. Tanah Kharaj (kharijiyah) yaitu tanah yang direbut dan ditaklukkan kaum muslimin tetapi diserahkan kepada penduduk yang mengusahakannya dengan imbalan membayar pajak (kharaj) tertentu.

Sebagaimana halnya pada tanah asyariyah, zakat juga diwajibkan pada tanah kharijiyah ini, yaitu apabila penduduknya menganut Islam atau dibeli oleh orang Islam hingga berhimpunlah didalamnya dua kewajiban, yaitu membayar zakat dan kharaj, dimana salah satunya tidak menutupi yang lain. Menurut Ibnul Mundzir, itu merupakan pendapat kebanyakan ulama. Diantara yang berpendapat seperti itu ialah Umar bin Abdul Aziz, Rabi'ah, Zuhri, Yahya al-Anshari, Malik, Auza'i, Tsauri, Hasan bin Shalih, Ibnu Abi Laila, Laits, Ibnul Mubarak, Ahmad, Ishak, Abu Ubaid, dan Daud.

Pendapat tersebut berdasarkan dalil Kitab, Sunnah dan qiyas. Mengenai kitab ialah firman Allah SWT: "Hai orang-orang beriman nafkahkanlah sebagian hasil usahamu yang baik-baik, begitupun sebagian dari hasil bumi yang Kami keluarkan untukmu!" (QS. al-Baqarah: 267)

Dalam ayat ini Allah mewajibkan nafkah (zakat) dari bumi secara mutlak, baik  berupa tanah biasa ataupun tanah kharaj.

Adapun dalil sunnah adalah sabda Nabi SAW: "Pada apa yang diairi dengan hujan zakatnya sepersepuluh".

Ini mencakup tanah biasa maupun kharaj.

Adapun alasan menurut qiyas, ialah karena zakat dan pajak (kharaj) itu merupakan dua kewajiban yang timbul oleh dua sebab yang berbeda, untuk kepentingan dua golongan yang berbeda pula. Maka salah satu diantaranya tidaklah menutupi yang lain seperti halnya seseorang yang sedang ihram membunuh hewan buruan milik orang lain. Juga karena zakat itu diwajibkan dengan keterangan yang tegas sehingga tidak bisa dibatalkan begitu saja oleh pajak yang hukum wajibnya ditetapkan atas hasil ijtihad. Namun Abu Hanifah berpendapat tidak wajib zakat pada tanah kharaj, yang wajib dikeluarkan hanyalah pajak saja. Menurutnya diantara syarat-syarat wajib zakat ialah tanah itu bukan tanah kharaj.

Sumber: Fiqhus Sunnah juz I oleh syaikh Sayid Sabiq.

Senin, 31 Mei 2010

Kadar Zakat Pertanian

Kadar atau jumlah yang wajib dikeluarkan zakatnya itu berbeda-beda tergantung pada cara pengairannya. Pertanian yang diari tanpa menggunakan alat -misalnya diairi dengan mudah- maka kadarnya ialah sepersepuluh (10%) dari hasil panennya. Namun apabila pengairannya menggunakan alat atau dengan air yang dibeli, maka kadarnya adalah seperdua puluh (5%).

Diterima dari Mu'adz ra bahwasanya Nabi SAW bersabda:

"Pada tanaman yang diairi oleh hujan, dari mata air dan aliran sungai, zakatnya sepersepuluh, dan yang diairi dengan alat penyiram seperduapuluh". (Diriwayatkan oleh Baihaqi dan juga Hakim yang menyatakan sahnya).

Kebanyakan para ahli berpendapat bahwa tidak ada zakat sama sekali pada tanaman dan buah-buahan sebelum banyaknya mencapai 5 wasaq, yakni setelah dibersihkan dari kulit dan dedaknya. Jika belum dibersihkan artinya belum ditumbuk, maka disyaratkan agar banyaknya mencapai 10 wasaq.

Diterima dari Abu Hurairah bahwa Nabi SAW bersabda: "Tidak wajib zakat jika banyaknya kurang dari 5 wasaq". (Diriwayatkan oleh Ahmad dan Baihaqi dengan sanad yang baik).

Dari Ibnu Umar ra bahwasanya Nabi SAW bersabda: "Tanaman yang diairi oleh hujan dan mata air atau air yang datang sendiri zakatnya sepersepuluh dan yang diairi dengan alat penyiram sepeduapuluh". (HR Bukhari dan lain-lain).

Jika pada suatu ketika diairi dengan menggunakan alat dan kali yang lain tanpa menggunakannya, maka zakatnya 3/40 atau 7,5% jika perbandingannya sama. Ibnu Qudamah berkata, "Setahu kami dalam hal ini tidak ada pertikaian".

Jika salah satu lebih banyak dari yang lain, maka yang sedikit mengikut kepada yang banyak, demikian menurut Abu Hanifah, Ahmad, Tsauri dan salah satu pendapat Syafi'i.

Adapun mengenai biaya operasional seperti biaya untuk memootong (memanen), memikul, mengolah, menyimpan di gudang dan lainnya, hendaklah diambil dari harta pemiliknya tanpa sedikitpun diperhitungkan dari harta zakatnya.

Namun madzhab Ibnu Abbas dan Ibnu Umar ra memperhitungkan biaya operasional yang dipinjamnya untuk menanam dan memanen, sebagaimana diterima dari Jabir bin Zaid pendapat Ibnu Abbas dan Ibnu Umar ra mengenai seorang laki-laki yang meminjam uang untuk keperluan memanen dan belanja keluarganya, menurut Ibnu Umar hendaklah dibayarkan hutangnya terlebih dahulu kemudian baru dikeluarkan zakat dari sisanya. Dan menurut Ibnu Abbas ra hendaknya hutangnya dibayar terlebih dahulu yang digunakan untuk mengetam, baru dikeluarkan zakatnya dari apa yang tersisa. (Diriwayatkan oleh Yahya bin Adam dalam al-Kharaj). Dalam hal ini, Ibnu Abbas dan Ibnu Umar sepakat untuk membayar hutang yang digunakan untuk keperluan mengetam, tetapi mereka berbeda pendapat mengenai hutang yang diperuntukkan untuk nafkah keluarga.

Ibnu Hazmin menyebutkan pula keterangan dari Atha' bahwa yang digunakan untuk nafkah, gugur kewajiban zakatnya. Jika masih tersisa satu nishab banyaknya, barulah dikeluarkan zakatnya, apabila tidak mencapai nishab maka tidak wajib dikeluarkan zakat.

Sumber: Fiqhus Sunnah juz I karya syaikh Sayyid Sabiq.

Minggu, 30 Mei 2010

Nishab Zakat Tanaman dan Buah-Buahan

Kebanyakan para ahli berpendapat bahwa tidak ada zakat sama sekali pada tanaman dan buah-buahan sebelum banyaknya mencapai 5 wasaq, yakni setelah dibersihkan dari kulit dan dedaknya. Jika belum dibersihkan artinya belum ditumbuk, maka disyaratkan agar banyaknya mencapai 10 wasaq.

Diterima dari Abu Hurairah bahwa Nabi SAW bersabda: "Tidak wajib zakat jika banyaknya kurang dari 5 wasaq". (Diriwayatkan oleh Ahmad dan Baihaqi dengan sanad yang baik).

Dan dari Abu Sa'id al-Khudri ra bahwasanya Nabi SAW bersabda: "Tidak wajib zakat pada kurma dan biji-bijian, jika kurang dari 5 wasaq".

Satu wasaq ialah 60 sha' (sukat) menurut ijma'. Hal ini ada dijelaskan dalam hadits riwayat Abu Sa'id, tetapi merupakan hadits munqati' (terputus). Abu Hanifah dan Mujahid berpendapat bahwa wajib zakat bagi jumlah yang banyak maupun sedikit, alasannya adalah keumuman sabda Nabi SAW "Pada setiap yang disiram oleh hujan zakatnya sepersepuluh". Juga karena dalam zakat tanaman ini tidaklah diperhitungkan haul (masa satu tahun), maka demikianlah pula halnya dengan nishab.

Ibnul Qaiyim berkata membahas pendapat diatas, "Sungguh mengenai keterangan yang masih belum jelas maksudnya "pada setiap apa yang disiram oleh hujan zakatnya sepersepuluh, dan tanaman yang disiram dengan alat penyiram seperduapuluh", telah datang sunnah yang sah dan tegas mengenai ketentuan nishab zakat tanaman yaitu sebesar 5 wasaq.

Adapun pendapat mereka yang menyatakan bahwa hadiots diatas itu umum, mencakup jumlah yang sedikit maupun banyak, dan ini bertentangan dengan yang khusus. Oleh sebab itu jika terjadi pertentangan hendaklah diutamakan menempuh jalan yang lebih aman yaitu meratakan hukum wajibnya.

Atas pendapat tersebut, kami jawab: Kita wajib melaksanakan makna kedua hadits tersebut diatas dan tidak boleh mempertentangkan yang satu dengan yang lain, dan membatalkan sama sekali salah satu diantara keduanya. Mentaati Rasul dalam hadits yang satu, wajib hukumnya seperti hadits yang lain. Dan alhmadulillah, memang tidak ada pertentangan diantara kedua hadits tersebut dalam segi apapun, karena sabda Nabi SAW, "Pada setiap yang disiram air hujan sepersepuluh", tujuannya ialah untuk memisah mana tanaman yang zakatnya sepersepuluh dan mana yang seperduapuluh, maka disebutkan oleh Nabi kedua golongan dengan membedakan jumlah yang wajib dikeluarkan. Adapun banyak nishab dalam hadits ini, Nabi SAW berdiam diri dan menerangkan dengan tegas pada hadits yang lain.

Jadi bagaimana kita boleh mengabaikan keterangan yang sah lagi tegas dan sama sekali tidak mengandung arti yang lain, dan berpaling pada keterangan yang umum (mujmal) dan masih diragukan sedangkan maksudnya hanya untuk dibatasi dengan maknanya yang umum, sama sekali tidak dimaksudkan untuk membatasi dengan makna yang khusus dan tegas serta nyata tadi, seperti halnya kata-kata umum lainnya bila ditafsirkan oleh kata-kata khusus".

Ibnu Qudamah berkata, "sabda Nabi bahwa tidak wajib zakat pada jumlah tanaman yang kurang dari 5 wasaq yang disepakati oleh ahli hadits merupakan kata-kata khusus yang mesti diutamakan dan ia mentakhsiskan (membatasi) kata-kata yang umum yang diriwayatkan dari Nabi, seperti halnya dengan kita mentakhsiskan sabda Nabi "Setiap unta yang digembalakan wajib padanya zakat" dengan sabdanya "tidak wajib zakat unta jika kurang dari 5 ekor".

Begitupun sabdanya, "pada tepung dikeluarkan seperempat puluh" dengan sabdanya, "tidak wajib zakat jika kurang dari 5 uqiyah".  Dan karena dia merupakan harta yang wajib dikeluarkan zakatnya tetapi tidak wajib jika hanya sedikit sebagaimana juga harta-harta lain yang dizakatkan.

Mengenai tahunnya, memang tidak diperhitungkan, karena pertumbuhannya telah sempurna diwaktu memotong dan bukan dengan membiarkannya lebih lama.

Sebaliknya diperhitungkan tahun itu pada yang lain karena ada kemungkinan sempurnanya perkembangan suatu  harta. Adapun nishab ia diperhitungkan agar tercapai batas minimal, dimana seseorang memiliki keleluasan dalam bersedekah (zakat). Oleh karena itulah diperlukan adanya nishab. Tegasnya, zakat itu hanya wajib atas orang-orang yang mampu dan kemampuan itu tidak akan ada (diketahui) tanpa adanya batas nishab, seperti juga halnya pada harta-harta yang lain yang wajib dikeluarkan zakatnya.

Satu sha'  itu sama dengan 1 ,3 qadah, sehingga nishabnya ialah setara dengan 50 bakul besar. Jika hasil tanaman yang akan dikeluarkan zakatnya itu bukan termasuk barang yang ditakar, maka kata Ibnu Qudamah, "Mengenai nishab kunyit dan kapas dan barang-barang yang ditimbang lainnya, ialah 1600 kati Irak, atau yang timbangannya sama berat dengan itu. (5 wasaw sama dengan 1600 kati atau setara dengan 930 liter, dimana 1 kati Irak lebih kurang setara dengan 130 dirham atau 0,406 kilogram).

Abu Yusuf berkata, "Jika yang akan dizakatkan bukan barang takaran, tidaklah wajib zakat kecuali jika harganya sama dengan satu nishab dari barang-barang takaran yang termurah, seperti zakat kapas, maka tidak wajib jika harganya kurang dari 5 wusuq barang takaran yang terendah misalnya padi dan lain-lain. Karena tidak dapat diukur dengan dirinya, maka dinilai dengan yang lainnya, seperti misalnya barang-barang dagangan harganya ditaksir dengan salah satu mata uang yang lebih rendah nishabnya".

Muhammad berkata, "Hendaklah mencapai 5 kali lipat dari harga taksiran jenisnya yang tertinggi, maka tidak wajib zakat pada kapas jika banyaknya baru 5 bal, karena menetapkan ukuran dengan wasaq pada barang-barang yang ditakar, adalah mengingat bahwa ukuran itulah yang paling tinggi diantara jenis-jenisnya yang lain".

Sumber: Fiqhus Sunnah juz I karya syaikh Sayyid Sabiq.

Sabtu, 29 Mei 2010

Sebab Munculnya Perbedaan Pendapat dalam Masalah Zakat Tanaman

Ibnu Rusyid berkata, "Sebab-sebab munculnya perselisihan (pendapat) diantara ulama yang membatasi wajibnya zakat pada jenis-jenis yang telah disepakati bersama dan pihak yang meluaskannya pada segala yang dapat disimpan dan menjadi makanan, ialah bersumber dari dikaitkannya zakat kepada jenis yang empat adalah apakah karena dzatnya ataukah karena illat (alasan)nya sebagai bahan pahan.

Golongan yang mengatakan karena dzatnya, membatasi wajib zakat hanya kepada jenis yang empat saja, sedangkan pihak yang berpendapat disebabkan fungsinya sebagai bahan pangan, meluaskan hukum wajibnya kepada semua bahan pangan.

Mengenai sebab-sebab perselisihan diantara golongan yang membatasi wajibnya zakat pada bahan pangan dengan golongan yang meluaskannya kepada semua yang dihasilkan bumi -kecuali atas apa yang telah disepakati bersama seperti kayu bakar, rumput dan sebangsa pimping- adalah disebabkan perbedaan qiyas dengan keumuman lafadz.

Adapun lafadz yang menyatakan umum itu ialah sabda Nabi SAW yang artinya: 'Pada apa yang disiram oleh air hujan, wajib zakat sepersepuluhnya dan pada tanaman yang diairi dengan alat penyiram seperdua puluh".

Kata "Apa pun" adalah kata yang umum. Demikian pula firman Allah Ta'ala yang artinya, "Dan Dialah yang telah menumbuhkan kebun-kebun yang berdaun rimbun", sampai kepada ayat "Dan hendaklah kamu keluarkan zakatnya waktu memanen".

Adapun qiyas adalah karena tujuan zakat untuk menutup kebutuhan perut dan hal ini tidak mungkin -umumnya- kecuali dengan bahan pangan. Maka orang yang membatasi kata-kata yang umum tadi dengan qiyas ini menggugurkan zakat pada tanaman yang tidak termasuk bahan pangan.

Sebaliknya golongan yang mempertahankan makna kata-kata umum, mewajibkan pada tanaman-tanaman lain, kecuali yang telah disepakati bersama (ijma').

Kemudian golongan yang sepakat tentang bahan pangan, masih berbeda pendapat mengenai beberapa tanaman, hal ini dikarenakan perselisihan meraka apakah itu merupakan bahan pangan atau tidak dan apakah diqiyaskan kepada tanaman yang telah disepakati atau tidak diqiyaskan. Misalnya perselisihan Syafi'i dengan Malik tentang zaitun. Malik mengatakan wajib dizakati, sedangkan Syafi'i dalam pendapatnya yang mutakhir di Mesir menentangnya. Hal ini disebabkan tidak lain karena perselisihan pendapat mereka apakah zaitun itu merupakan tanaman untuk bahan pangan atau bukan.

Sumber: Fiqhus Sunnah juz I oleh syaikh Sayyid Sabiq.

Jumat, 28 Mei 2010

Perihal Zakat Buah Zaitun

Nawawi berkata, "Mengenai zaitun, yang sah menurut kita, tidaklah wajib padanya zakat". Ini juga pendapat Hasan bin Shalih, Ibnu Abi Laila dan Abu Ubeid.

Tetapi Zauhri, Auza'i, Laits, Malik, Tsauri, Abu Hanifah dan Abu Tsaur mengatakan wajib zakat padanya. Berkata Zuhri, Laits dan Auzai, "Hendaklah ditaksir lalu dikeluarkan zakatnya berupa minyak. Dan menurut Malik, bukan ditaksir tetapi dikeluarkan sepersepuluhnya setelah dikempa dan banyaknya mencapai lima wusuq".

Sumber: Fiqhus Sunnah juz I oleh syaikh Sayyid Sabiq.

Kamis, 27 Mei 2010

Pendapat Fuqaha Seputar Zakat Tanaman dan Buah-Buahan

Tidak seorang pun dari ulama yang menyangkal wajibnya zakat pada tanaman dan buah-buahan hingga perbedaan pendapat mereka ialah pada jenis-jenis yang diwajibkan dikeluarkan zakatnya. Mengenai hal ini ada beberapa pendapat ulama ahli fiqih (fuqaha), yang dapat disimpulkan sebagai berikut:

  1. Hasan Bashri, Tsauri dan Sya'bi berpendapat bahwa tidak wajib zakat kecuali pada jenis-jenis yang mempunyai keterangan yang tegas, yaitu gandum, padi, kurma dan anggur. Sedangkan yang lainnya tidak wajib, karena tidak ada keterangannya. Syaukani berpendapat bahwa pendapat madzhab ini yang benar.
  2. Pendapat Abu Hanifah. Wajib zakat pada setiap yang ditumbuhkan bumi, tidak da bedanya sayur-sayuran dan lain-lain. Hanya disyariatkannya hendaklah dengan menananya dimaksudkan bertumbuh dan mengambil hasil bumi. Dikecualikannya kayu bakar, pimping, rumput dan pohon yang tidak berbuah. Alasannya ialah keumuman sabda Nabi SAW, "Pada setiap yang disiram oleh air hujan -zakatnya- sepersepuluh". Ini merupakan kata-kata umum dan mencapai seluruh bagiannya. Juga dengan menanamnya dimaksudkan bertumbuhnya bumi, maka samalah dengan biji.
  3. Madzhab Abu Yusuf bin Muhammad. Zakat wajib pada setiap apa yang keluar dari tanah dengan syarat dapat bertahan dalam satu tahun tanpa banyak pengawetan, baik ia ditakar seperti biji-bijian, maupun ditimbang seperti kapas dan gula. Jika tidak dapat bertahan dalam setahun seperti mentimun, petula, semangka, krambaja, dan buah-buahan serta sayur-sayuran lainnya maka tidak wajib zakat.
  4. Madzhab Malik mengenai zakat hasil bumi itu disyaratkan yang bisa tahan dan kering serta ditaman orang, baik yang diambil sebagai makanan pokok seperti gandum dan padi, maupun yang tidak seperti kunyit dan bijen. Dan menurut pendapatnya tidak wajib zakat pada sayur-sayuran dan buah-buahan seperti buah tinm delima dan jambu.
  5. Syafi'i berpendapat wajib zakat pada apa yang dihasilkan bumi dengan syarat merupakan makanan pokok dan dapat disimpan, serta ditanam oleh manusia seperti gandum dan padi. Nawawi berkata, "Madzhab kami, tidak wajib zakat pada pohon-pohonan kecuali pada kurma dan anggur. Begitupun tidak pada biji-bijian kecuali yang menjadi makanan pokok dan tahan disimpan. Juga tidak wajib zakat pada sayur-sayuran".
  6. Dan Ahmad berpendapat, wajib zakat pada setiap yang dikeluarkan Allah dari bumi, baik berupa biji-bijian dan buah-buahan, yakni yang dapat kering dan tahan lama, ditakar dan ditanam manusia di tanah mereka, baik ia berupa makanan pokok seperti gandum, atau biji-bijian seperti kacang, atau sejenis ketimun dan petula atau bangsa umbi seperti kunyit dan bijen. Menurut pendapatnya juga wajib zakat pada buah-buahan kering yang memiliki semua ciri-ciri diatas, seperti kurma, anggur, buah tin, buah kenari dan lain-lain. Dan menurutnya pula tidak wajib pada semua macam buah-buahan seperti semangka, krambaja, pepaya, jambu, buah tin yang tidak dikeringkan, begitu pula tidak wajib zakat pada sayur-sayuran seperti mentimun, petula, daun pepaya dan ketela dan lain-lain.

Sumber: Fiqhus Sunnah juz I oleh syaikh Sayyid Sabiq.

Rabu, 26 Mei 2010

Adakah Zakat pada Berlian?

Pertanyaan:

Apakah ada zakat pada berlian yang digunakan sebagai perhiasan dan sekedar untuk dikenakan?

Fatwa syaikh Bin Baz:

Beliau yang digunakan untuk perhiasan tidak ada zakatnya, tapi jika diproyeksikan untuk perdagangan maka ada zakatnya, demikian juga permata. Adapun emas dan perak, maka keduanya ada zakatnya jika mencapai nishab walaupun untuk dikenakan. Demikian menurut pendapat yang benar diantara dua pendapat ulama.

Jenis Tanaman yang Tidak Dipungut Zakat

Zakat tidaklah dipungut dari sayur-sayuran dan dari buah-buahan kecuali anggur dan kurma. Diterima dari Atha' bin Sa'ib, bahwa Abdullah bin Mughirah bermaksud hendak memungut zakat dari hasil tanah Musa bin Thalhah berupa sayur-sayuran, maka kata Musa bin Thalhah, "Tak dapat anda memungutnya, karena Rasulullah SAW pernah mengatakan bahwa tidak wajib zakat pada sayur-sayuran". (Diriwayatkan oleh Daruquthni, Hakim dan hadits ini mursal dan kuat).

Berkata Musa bin Thalhah, "Ada keterangan dari Rasulullah SAW mengenai lima macam: padi, gandum, sult, anggur kering dan kurma, tapi hasil bumi lainnya tidak wajib dikeluarkan zakatnya. Dan katanya lagi, "Mu'adz tidaklah memungut zakat dari sayuran".

Berkata Baihaqi, "Semua hadits ini mursal, tetapi diriwayatkan dari berbagai jalan, hingga saling menguatkan. Disamping itu ada keterangan dari para shahabat, diantaranya Umar, Ali dan Aisyah.

Dan diriwayatkan oleh Atsram bahwa seorang pejabat pada masa Umar mengirim surat kepadanya tentang kurma, dimana dinyatakannya bahwa buah persik dan delima lebih banyak dan lebih berlipat ganda hasilnya daripada kurma. Umar membalas surat iu bahwa tidak dipungut zakat darinya, karena itu termasuk tanaman berduri.

Tirmidzi berkata, "Pada pelaksanaannya mengenai zakat tanaman ini bagi para ahli (sebagian besar ulama), ialah tidak ada zakat pada sayur-sayuran".

Qurthubi berkata, "Zakat itu hanyalah pada makanan-makanan yang mengenyangkan, bukan pada sayur-sayuran. Di Thaif banyak terdapat delima, persik dan lain-lain, tetapi tidak ada keterngan bahwa Nabi SAW maupun salah seorang khalifahnya memungut zakat dari buah-buahan tersebut".

Ibnul Qayyim berkata, "Tidak ada tuntunan dari Nabi SAW untuk memungut zakat dari kuda, budak, bagal, keledai, tidak pula dari sayur-sayuran, semangka, buah-buahan yang tidak ditakar dan disimpan kecuali anggur dan kurma, maka Nabi memungutnya sekaligus tanpa memisahkan yang basah dari yang kering".

Sumber: Fiqhus Sunnah juz I oleh syaikh Sayyid Sabiq.

UPZ dan Masa Depan Pengelolaan Zakat di Lingkungan PNS

Saat sosialisasi Unit Pengumpul Zakat (UPZ) dilakukan di Gedung Sate oleh Badan Amil Zakat  Jawa Barat, seorang wakil dari perusahaan daearah bertanya, apa yang harus dilakukannya dengan apa yang telah berlangsung di perusahaannya dimana zakat perusahaan maupun karyawannya telah berjalan namun diserahkan ke suatu lembaga amil zakat (LAZ), tidak melalui BAZ Jabar. Sayang, pertanyaan tersebut diabaikan begitu saja tanpa jawaban, bahkan ketika untuk kedua kalinya ia berusaha mengangkat tangan. Pertanyaan senada pun pernah disampaikan oleh lembaga dibawah pemerintah provinsi melaui telpon ke BAZ Jabar. Ia menjelaskan bahwa selama ini zakat dan infaq di kalangan karyawannya telah berjalan, dan diserahkan melalui sebuah LAZ yang mereka percayai. Dengan adanya rencana pembentukan UPZ di lembaganya, apa yang harus dilakukan atas pengumpulan zakat yang selama ini telah berlangsung. Kembali, pertanyaan ini tidak bisa dijawab dan dijelaskan oleh staf BAZ.

Ditengah upaya BAZ Jabar mengumpulkan dana dari para PNS di lingkungan pemprov Provinsi, masih belum ada kejelasan mekanisme pengumpulan zakat tersebut, baik cara pemungutan yang dilakukan dari PNS, maupun mekanisme koordinasi pengumpulan antara UPZ dengan BAZ Jabar. Terlebih bagaimana mengatur atau menjawab permasalahan pengumpulan zakat yang sudah berlangsung sebagaimana pada pertanyaan diatas. Konon pula, buku Pedoman Pembentukan UPZ yang telah disusun oleh kepengurusan BAZ Jabar sebelumnya, dinyatakan tidak lagi sesuai oleh kepengurusaan BAZ Jabar saat ini. Padahal buku tersebut adalah satu-satunya dokumen yang menjelaskan masalah UPZ, sementara pedoman teknis baru yang sesuai dengan konsep UPZ yang baru, belum ada.

Selain masalah teknis pengumpulan dan pendistribusian antara UPZ dan BAZ Jabar, yang tidak kalah pentingnya adalah pola pengelolaan zakat dan infak di kalangan PNS yang selama ini telah berlangsung, dimana secara sukarela sebagian PNS yang muslim menyerahkan sebagian pendapatannya sebagai zakat ataupun infak, lalu diserahkan kepada lembaga amil zakat, bukan BAZ Jabar. Demikian pula dengan pengumpulan zakat dan pendistribusian yang dilaksanakan dan dikelola secara langsung oleh para PNS di lingkungannya. Apakah dengan kehadiran UPZ yang di"kukuh"kan oleh BAZ Jabar pola pengelolaan zakat dan infak yang telah ada tersebut akan dihapus atau digantikan? Di dalam konsep UPZ BAZ Jabar ditegaskan bahwa tugas UPZ adalah mengumpulkan zakat dan infak dari PNS di lingkungannya untuk kemudian diserahkan ke BAZ Jabar. Untuk melaksanakan itu, UPZ berhak mengambil bagian dari dana yang dikumpulkannya sebagai hak amil (pengelola). Sedangkan dalam pendistribusian dana tersebut, UPZ diharuskan berkoordinasi dengan BAZ Jabar dan berkewajiban memberikan laporan pengelolaan dana tersebut kepada BAZ Jabar. Bagaimana dengan dana yang diserahkan kepada LAZ, belum banyak dibahas dan disinggung dalam "konsep' UPZ yang baru. Paling sebatas, bahwa ""perusahaan anu bersedia membagi sebagian dananya untuk diserahkan ke BAZ, tidak seluruhnya ke LAZ anu".

Pengelolaan zakat di lingkungan PNS dan juga di tempat lain, memang tidak bisa sekedar dengan pendekatan legal formal. Hal ini terkait pula dengan kredibilitas lembaga pengelola zakat tersebut. Apabila ada sebagian PNS baik perorangan maupun terkoordinir menyerahkan zakat dan infaknya melalui LAZ, tentu hal ini bukan proses yang serta merta (instant). Ada proses sosialisasi dari LAZ yang bersangkutan baik secara langsung maupun tidak, ada track record yang membangun kredibilitas lembaga tersebut, hingga tumbuh trust (kepercayaan) dari masyarakat. Adakah dengan pembentukan UPZ proses yang sudah berlangsung akan dihentikan atau terusik? Jika tujuannya untuk menggalakkan semangat berzakat dan berinfak di kalangan PNS, alangkah eloknya apabila BAZ Jabar berkoordinasi dengan LAZ-LAZ yang telah ada dan "masuk" di lingkungan PNS, untuk kemudian bersinergi dalam upaya pengumpulan maupun pengelolaannya.

Pendekatan legal formal seperti ini, memang bukan semata permasalahan yang ada di BAZ Jabar, bahkan menjadi salah satu titik krusial dalam rencana revisi UU Pengelolaan Zakat, yaitu adanya upaya pemusatan wewenang pengelolaan zakat ditangan BAZ dengan "mengeliminir" keberadaan LAZ menjadi subordinasi dari BAZ (sebagai UPZ). Dengan segala permasalahan yang menyelimuti BAZ, upaya pengumpulan zakat dengan mengandalkan pendekatan legal formal semacam ini hanya akan menimbulkan masalah baru yang berdampak buruk bagi masa depan pengelolaan zakat secara umum. Alangkah baiknya apabila BAZ Jabar sedikit berendah hati, untuk belajar dari LAZ yang telah ada, dalam bersusah payah lebih dahulu membangun kepercayaan dengan membuktikan pengelolaan zakat dilakukan secara amanah dan profesional, serta menjunjung asas transparansi dalam masalah keuangannya. Bangunlah kredibilitas terlebih dahulu, sebelum mengandalkan legalitas. Termasuk untuk memungut dan mengelola dana dari para PNS...

Selasa, 25 Mei 2010

Cara Membayar Zakat Harta

Pertanyaan:

Seorang pegawai menabung gaji bulanannya dalam jumlah yang berubah-ubah setiap bulannya. Kadang uang yang ia tabung sedikit dan kadang banyak. Sebagian dari uang tabungannya itu ada yang telah genap satu haul dan ada yang belum. Sementara ia tidak dapat menemukan uang yang telah genap satu tahun. Bagaimanakah caranya membayarkan zakat tabungannya itu?

Fatwa Lajnah Daimah:

Barangsiapa memiliki uang yang telah mencapai nishabnya, kemudian dalam waktu lain kembali memperoleh uang yang tidak terkait sama sekali dengan uang yang pertama tadi, seperti uang tabungan dari gaji bulanan, harta warisan, hadiah, uang hasil penyewaan rumah dan lainnya, apabila ia sungguh-sungguh ingin menghitung dengan teliti haknya dan tidak menyerahkan zakat kepada yang berhak kecuali sejumlah harta yang benar-benar wajib dikeluarkan zakatnya, maka hendaklah ia membuat pembukuan hasil usahanya. Ia hitung jumlah uang yang dimiliki untuk menetapkan haul dimulai sejak pertama kali ia memiliki uang itu, lalu ia keluarkan zakat dari harta yang telah ditetapkannya itu bila telah genap satu haul.

Jika ia ingin cara yang lebih mudah, lebih memilih cara yang lebih sosial dan lebih mengutamakan fakir miskin dan golongan yang berhak menerima zakat lainnya, maka ia boleh mengeluarkan zakat dari seluruh uang yang telah mencapai nishab dari yang dimilikinya setiap kali telah genap satu haul. Dengan begitu pahala yang diterimanya lebih besar, lebih mengangkat derajatnya dan lebih mudah dilakukan serta lebih menjaga hak-hak fakir miskin dan seluruh golongan yang berhak menerima zakat. Hendaklah jumlah yang berlebih dari zakat yang wajib dibayarnya diniatkan untuk berbuat baik, sebagai ungkapan rasa syukurnya kepada Allah atas nikmat-nikmatNya dan anugerahNya yang berlimpah. Dan mengharap agar Allah menambah karuniaNya itu bagi diriNya, sebagaimana firman Allah: "Jika kamu bersyukur maka Aku akan tambah nikmatKu bagi kamu". (QS. Ibrahim: 7)

Semoga Allah senantiasa memberi taufik bagi kita semua.

Jenis Tanaman yang Dipungut Zakatnya pada Masa Rasulullah SAW

Pada masa Rasulullah SAW zakat dipungut dari gandum, padi, kurma dan anggur kering. Dari Abu Burdah yang diterimanya dari Abu Musa dan Muadz ra, bahwa Rasulullah SAW mengutus mereka ke Yaman untuk mengajarkan kepada manusia masalah agama, maka mereka diperintahkan untuk tidak memungut zakat kecuali dari empat kenis ini, yaitu gandum, padi, kurma dan anggur kering. (Diriwayatkan oleh Daruquthni, Hakim, Thabrani dan Baihaqi yang mengatakan: para perawinya dapat dipercaya dan hadits ini muttashil (hubungan antara perawinya tidak terputus).

Berkata Ibnul Mundzir dan Ibnu Abdil Bar, "Para ulama sama sepakat bahwa zakat itu wajib pada gandum, padi, kurma dan anggur kering".

Dan pada riwayat Ibnu Majah terdapat keterangan bahwa Rasulullah SAW hanya mengatur pemungutan zakat itu pada gandum, padi, kurma dan anggur kering dan biji-bijian". Dalam isnad riwayat ini terdapat Muhammad bin Ubaidillah al-Arzami dan orang ini tak dapat diterima.

Rencana BAZ Jabar memungut Uang dari PNS

Setelah "sukses" memungut infak dari para calon haji tahun lalu, kini Badan Amil Zakat Jawa Barat (BAZ Jabar) tengah berupaya memungut zakat dan infak dari para pegawai negeri sipil (PNS) di lingkungan pemerintah daerah provinsi serta perusahaan daerah tingkat provinsi. Dalam rencananya, para PNS di tingkat pejabat yang mencapai "nishab" menurut ukuran BAZ, akan dipotong langsung zakatnya, sementara para PNS yang tidak mencapai nishab akan dipungut infak profesi. Belum jelas bagaimana mekanisme pemungutan itu dilakukan, apakah langsung dipotong dari gaji atau penghasilan para pegawai dan diserahkan ke BAZ Jabar atau melalui Unit Pengumpul Zakat (UPZ) di masing-masing SKPD tingkat provinsi.

Rencana pengumpulan yang instant ini masih terkendala oleh belum ditandatanganinya Surat Edaran oleh Gubernur Jawa Barat, Ahmad Heryawan. Surat itu diusulkan BAZ Jabar sebagai dasar untuk melakukan pemungutan kepada PNS di lingkungan pemda provinsi. BAZ Jabar sangat berkepentingan atas surat edaran tersebut, mengingat pengumpulan dari PNS dan UPZ itu akan menjadi andalan penerimaan dan bahkan mungkinmenjadi satu-satunya sumber keuangan lembaga, selain dari APBD. Terlebih, melihat kemungkinan tidak bisa lagi melakukan pemungutan kepada para calon haji tahun ini sebagaimana yang sudah dilakukannya pada tahun lalu. Karena itu, tidak mengherankan apabila para pengurus BAZ mendesakkan keinginannya agar Gubernur bisa segera menandatangani surat "pemungutan" dari PNS di lingkungan provinsi Jawa Barat.

Dilihat dari beberapa aspek, surat edaran tersebut sebaiknya memang tidak usah ditandatangani alias dibatalkan. Hal ini berdasarkan pertimbangan:

1. Adalah suatu kedzaliman terhadap para PNS dengan memotong langsung pendapatan mereka, yang bisa jadi belum mencapai nishab bila telah dikurangi dengan kebutuhan hidupnya. Apalagi kebutuhan masing-masing orang tentu berbeda sesuai dengan tanggungan hidupnya, sehingga nominal penerimaan gaji atau penghasilan seorang PNS tidak bisa dijadikan ukuran nishab seseorang. Bisa jadi PNS yang berpenghasilan Rp 10 juta per bulannya, memiliki beban jauh diatas penghasilannya.

2. Surat edaran Gubernur sekalipun bersifat sukarela, tidak memaksa, tetap akan memberikan dampak "keterpaksaan" bagi PNS untuk merelakan gaji atau penghasilannya dipotong. Sulit bagi PNS untuk mengelak atau menolak himbauan dari atasannya. Hal ini menimbulkan kedzaliman baru, terlebih bagi para PNS yang telah terbiasa berinfak atau bersedekah di lingkungan keluarga dan tempat tinggalnya, atau menjadi donatur (muzakki) tetap dari lembaga sosial atau pengelola zakat lainnya.

3. Surat edaran itu akan memusatkan pengumpulan zakat atau infak ke BAZ Jabar, padahal bisa jadi diantara PNS atau perusahaan daerah telah terbiasa berinfak dan berzakat melalui lembaga pengelola zakat yang mereka percaya lebih amanah dan lebih profesional. Pemusatan dana ummat di BAZ Jabar selain berdampak buruk bagi pola distribusi (pendayagunaan) dana, pun menumbuhkan kesan kurang baik diantara sesama pengelola zakat (BAZ dan LAZ) serta kondisi pengelolaan zakat di Jawa Barat secara umum.

4. BAZ Jabar hingga saat ini pengelolaannya tidak jelas, baik dalam program pendistribusiannya maupun transparansi keuangannya. Setelah hampir 1,5 tahun (setengah periode) kepengurusan BAZ, lembaga ini tidak pernah membuat laporan (kegiatan apalagi keuangan) yang dipublikasikan kepada masyarakat. Hal ini berbeda dengan lembaga pengelola lainnya, seperti LAZ, yang selain secara rutin membuat laporan keuangan yang telah diaudit Akuntan Publik, mereka pun secara berkala mempublikasikan laporan kegiatan dan keuangannya setiap bulan, dimana masyarakat luas bisa mengaksesnya. Dengan kondisi seperti itu, sesungguhnya BAZ Jabar belum layak untuk dipercaya atau diamanahi memungut dana dari PNS.

Sekurangnya itulah 4 pertimbangan yang menurut hemat kami tidak sepatutnya surat edaran yang diusulkan BAZ Jabar tersebut ditandatangani oleh Gubernur Jawa Barat. Bilapun surat edaran tersebut dibuat maka isinya cukup berupa seruan untuk menggalakkan semangat berzakat bagi yang telah mampu dan berinfak bagi yang belum mencapai syarat sebagai muzakki. Adapun kemana mereka akan membayarkannya, dan berapa besarnya, diserahkan sepenuhnya kepada lembaga pengelola zakat yang mereka percayai kredibilitas dan profesionalitasnya, tidak harus melalui BAZ Jabar.

Senin, 24 Mei 2010

Zakat Tanaman dan Buah-Buahan

Hukum wajibnya zakat tanaman dan buah-buahan berdasarkan firman Allah Ta'ala:

"Hai orang-orang beriman, infakkanlah sebagian dari hasil tanaman usahamu yang baik-baik, begitupun sebagian dari apa yang Kami keluarkan untukmu dari perut bumi". (QS. al-Baqarah: 267)

Dalam ayat diatas yang dimaksud infak (nafkah) adalah zakat.

Allah Ta'ala pun berfirman:

"Dialah yang telah menciptakan kebun-kebun yang mempunyai naungan maupun tidak, menumbuhkan pohon kurma dan tanaman yang aneka warna rasanya, pohon zaitun dan delima, baik yang serupa maupun yang berbeda. Makanlah buahnya jika ia berbuah dan berikanlah haknya di waktu panennya". (QS. al-An'am: 141)

Ibnu Abbas ra mengatakan bahwa yang dimaksud "haknya" pada ayat diatas ialah zakat yang diwajibkan. Katanya lagi, "(besarnya) Sepersepuluh atau seperduapuluh".

Sumber: Fiqhus Sunnah Juz I oleh syaikh Sayyid Sabiq

Bolehkah Orang yang Dipercaya Menyalurkan Zakat Mengambil Seperlunya?

Pertanyaan:

Jika orang-orang menyerahkan shadaqah dan zakat mereka kepada seseorang yang dipercaya untuk menyalurkannya kepada para mustahiknya, apakah boleh bagi orang tersebut untuk mengambil sedikit bagian dari harta tersebut karena ia membutuhkannya, misalnya untuk mahar atau lainnya. Perlu diketahui bahwa orang tersebut adalah imam masjid mereka. Apakah imam tersebut harus minta izin terlebih dahulu kepada mereka?

Fatwa syaikh Ibnu Jibrin:

Menurut saya, ia perlu minta izin terlebih dahulu kepada mereka dan memberitahukan mereka tentang kebutuhannya terhadap mahar dan bahwa ia tidak mampu untuk itu, sementara ia hendak menikah. Lain dari itu bahwa zakat boleh disalurkan kepada orang yang seperti dia kondisinya. Jika tidak memberitahu mereka, maka ia tidak boleh mengambilnya, karena ia telah dipercaya untuk itu dan mereka telah percaya bahwa harta tersebut akan sampai kepada para mustahiqnya dan disalurkan kepada kaum fakir, maka hendaknya ia tidak memasukkan dirinya dalam kategori para mustahik itu. Wallahu'alam.

Jenis Tanaman yang Diambil Zakatnya pada Masa Rasulullah SAW

Pada masa Rasulullah SAW zakat diambil dari gandum, padi, kurma dan anggur kering. Dari Abu Burdah yang diterimanya dari Abu Musa dan Muadz ra, "bahwasanya Rasulullah SAW mengutus mereka ke Yaman untuk mengajari manusia masalah agama, maka mereka diperintahkan agar tidak memungut zakat kecuali dari yang empat jenis ini, yaitu gandum, padi, kurma dan anggur kering". (Diriwayatkan oleh Daruquthni, Hakim, Thabrani, dan Baihaqi yang mengatakan para perawinya bisa dipercaya, dan hadits ini muttashil -hubungan antara perawi tidak terputus).

Ibnul Mundzir dan Ibnu Abdil Bar berkata, "Para ulama sepakat bahwa zakat itu wajib pada gandum, padi, kurma dan anggur kering".

Sedangkan pada riwayat Ibnu Majah terdapat keterangan bahwa Rasulullah SAW hanya mengatur pemungutan zakat itu pada gandum, padi, kurma, anggur kering, dan biji-bijian". Namun dalam isnad riwayat ini terdapat Muhammad bin Ubaidillah al-Arzami dan orang ini tidak dapat diterima.

Sumber: Fiqhus sunnah juz I karya syaikh Sayyid Sabiq

Minggu, 23 Mei 2010

Zakat Saham

Pertanyaan:

Sebagaimana yang anda ketahui bahwa sekarang ini orang-orang memperjualbelikan saham tanah dan sejenisnya. Mereka menyimpan uang dalam bentuk saham yang kadang kala naik kadang kala turun. Biasanya uang itu disimpan dalam tempo waktu yang lama, sekitar empat atau lima tahun. Apabila pemiliknya ingin menjual saham itu dipasar, ia menjualnya sebelum saham dilelang, karena nilai saham kadang kala stabil kadangkala turun. Begitulah kondisinya selama bertahun-tahun.

Demikian pula seseorang memiliki harta berupa tanah, ia bermaksud menahannya supaya harga tanah melambung, jika sudah melambung naik barulah dijualnya. Pertanyaannya adalah apakah orang tersebut terkena wajib zakat atas saham yang ditanamnya dalam bentuk tanah dan lainnya yang belum dijual sampai sekarang? Saham tersebut bertahan dalam tempo waktu yang sangat lama dan harganya tetap stabil, bahkan terkadang lebih murah daripada harga pasar.

Dan apakah tanah yang dibelinya dengan maksud untuk dikomersialkan wajib dikeluarkan zakatnya, sebagaimana barang-barang dagangan? Ataukah tetap tidak wajib hingga ia menjualnya lalu mengeluarkan zakatnya dari hasil jual beli, sebagaimana ditandaskan oleh sebagian ulama?

Sebab, boleh jadi telah berlangsung sejak bertahun-tahun lamanya, namun harganya tetap statis tidak naik. Apabila wajib mengeluarkan zakatnya, apakah untuk setiap tahunnya ataukah untuk satu tahun saja? Dan apabila dijualnya, apakah ia mengeluarkan zakatnya untuk tahun-tahun yang telah lewat juga ataukah satu tahun saja? Sebagai catatan, boleh jadi seseorang memiliki harta yang berlimpah ruah dari bisnis saham dan tanah ini. Apabila ia tahu diwajibkan mengeluarkan zakatnya, ia meminjamkannya atau menjual sebagian darinya. Maksudnya adalah uang kontan tidak dipegangnya, namun setiap kali uang masuk, langsung saja ia belikan saham atau tanah. Jadi tidak disimpannya.

Fatwa Lajnah Daimah:

Bentuk saham yang tersebut dalam pertanyaan ini termasuk barang perniagaan yang wajib dikeluarkan zakatnya. Pemilik saham wajib menghitung nilai saham miliknya setiap tahun tanpa perlu melihat harga beli pertama kali. Jika ia memiliki harta, maka dikeluarkan zakatnya. Jika tidak, maka ia wajib mengeluarkan zakat harta tahun-tahun sebelumnya setelah dijual dan diterima uangnya. Demikian pula halnya barang-barang yang tidak berkembang yang dipersiapan untuk diperjualbelikan, selain saham.

Jumat, 21 Mei 2010

Bolehkah Zakat untuk Karyawan yang Berhutang?

Pertanyaan:

Konon salah seorang karyawan saya mempunyai hutang, bolehkah saya membantunya dengan zakat harta saya?

Fatwa syaikh Ibnu Jibrin:

Ia boleh menerima zakat harta anda, dengan syarat ia memang tidak mampu melunasinya dan penghasilannya (upahnya)  setelah dialokasikan untuk menafkahi keluarganya tidak ada lebihnya yang cukup untuk melunasi hutang tersebut. Lain dari itu, anda pun dengan itu tidak boleh bermaksud untuk memotivasinya dalam bekerja pada anda serta dengan tidak mengurangi gaji/upahnya dan tidak melebihi yang dibutuhkannya. Untuk itu, terserah anda. Wallahu'alam.

Kamis, 20 Mei 2010

Zakat Barang yang Disewakan

Pertanyaan:

Saya mempunyai gedung yang disewakan, apakah saya menzakati harga pokoknya atau cukup menzakati hasil dari penyewaannya? Tolong beritahu saya, semoga anda mendapat pahala.

Fatwa syaikh Ibnu Jibrin:

Zakatnya hanya pada hasil penyewaan saja jika telah dimiliki selama satu tahun (haul). Jika anda menggunakannya sebelum genap setahun, maka gugurlah kewajiban itu. Adapun untuk harga bangunan tersebut tidak ada zakatnya, karena bangunan itu tidak diproyeksikan untuk digunkan atau disewakan, tidak ada zakat pada harganya, adapun zakatnya adalah pada hasil penyewaannya.