Tampilkan postingan dengan label Pengelola Zakat. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Pengelola Zakat. Tampilkan semua postingan

Rabu, 02 Juni 2010

Kinerja Pengelola Zakat Plat Merah yang Tidak Merah

Tidak selamanya lembaga pengelola zakat yang dibentuk pemerintah memiliki kinerja yang buruk. Beberapa diantaranya malah bisa disejajarkan dengan lembaga pengelola zakat (LAZ) yang telah mapan dan dikenal kredibilitasnya, seperti Dompet Dhuafa, PKPU, DPU-DT, ataupun Rumah Zakat, dalam hal profesionalitas mereka mengelola zakat. Jumlah lembaga pengelola zakat berplat merah yang berkinerja baik, memang masih relatif sedikit. Menurut Ahmad Juwaini, Direktur Eksekutif Dompet Dhuafa Republika (DDR), dari 400 BAZ yang ada di seluruh Indonesia, baru sekitar 50 BAZ saja yang telah dikelola secara profesional, atau hanya sekitar 8% nya saja. (Republika : Selasa, 01 Juni 2010 pukul 08:22:00).

Demikian halnya dengan kinerja Badan Amil Zakat (BAZ) di Jawa Barat, ada diantaranya yang memiliki kinerja yang baik, atau setidaknya berada dalam right track menuju pengelolaan zakat yang profesional. Di Jawa Barat, Zakat Watch melihat setidaknya ada 4 Badan Amil Zakat (BAZ) kota dan Kabupaten yang dikelola secara profesional. Ke-4 BAZ tersebut ialah BAZ Kota Bogor, BAZ Kota Depok, BAZ Kabupaten Sukabumi dan BAZ Kabupaten Cianjur. Dalam beberapa hal, ke-4 BAZ Kota dan Kabupaten tersebut memiliki beberapa kesamaan dimana hal ini bisa jadi merupakan kunci bagi terlaksananya pengelolaan zakat yang amanah dan profesional. Beberapa kesamaan tersebut antara lain adalah sebagai berikut:

1. Dukungan penuh dari penguasa/pemda setempat, khususnya dari para walikota atau bupati. Tidak bisa tidak, faktor dukungan penguasa menjadi hal yang cukup signifikan bagi keberhasilan BAZ di suatu daerah, dimana hal ini tidak hanya memberikan akses yang luas bagi BAZ untuk mengelola dana zis di daerah tersebut, tetapi dukungan berupa keteladanan penguasa akan dengan mudah diikuti oleh para bawahan di jajaran pemda serta masyarakat. Bahkan diceritakan ada seorang walikota yang tidak sungkan-sungkan me"motong" sendiri penghasilannya dan menyerahkan ke BAZ.

2. Dikelola anak muda. Sebagian besar pelaksana pengelola di BAZ tersebut banyak didominasi oleh anak-anak muda, selain energik dan memiliki semangat tinggi, juga umumnya memiliki idealisme dalam masalah pengelolaan zakat, khususnya dalam pemberdayaan masyarakat. Namun demikian, tidak berarti peran dari generasi yang lebih senior tidak ada, di suatu kabupaten misalnya, beberapa pengurusnya adalah tokoh yang cukup senior namun kehadiran beliau justru untuk membimbing dan memberikan nasehat bagi "anak-anak muda", tanpa ikut campur terlalu jauh dalam masalah pelaksanaan pengelolaan zakat.

3. Sadar akan peran strategis media informasi, ke-4 BAZ tersebut umumnya memberikan perhatian yang serius. Selain membangun media internal untuk sosialisasi lembaga dan fungsinya, seperti melalui buletin dan majalah yang diterbitkan berkala, mereka pun cukup serius membangun website. Keseriusan ini bisa dilihat tidak hanya dari desain situsnya yang menarik, tetapi juga pengelolaan konten yang senantiasa diperbaharui. Lebih jauh, beberapa BAZ bahkan telah menjalin kerjasama dengan media (koran, radio) lokal untuk mensosialisasikan zakat dan lembaganya.

4. Transparansi. Inilah hal yang membedakan dengan BAZ dan bahkan sebagian LAZ, dimana ke-4 BAZ ini berupaya mempublikasikan aktifitasnya kepada masyarakat, bukan sekedar laporan kegiatannya tetapi juga laporan keuangannya. Dengan mudah kita bisa mengetahui keuangan mereka secara berkala. BAZ Kota Bogor dan BAZ Kabupaten Cianjur misalnya, menyajikan laporan keuangan bulanannya melalui website mereka dan masyarakat bisa melihat dan mendownloadnya. Disamping itu, laporan pun dipublikasikan melalui media internal mereka secara berkala. Upaya transparansi ke publik memang bukan sekedar masalah amanah yang harus dijaga, tetapi juga sebagai upaya membangun lembaga pengelola zakat yang kredibel, layak dipercaya masyarakat.

Itulah beberapa lembaga pengelola zakat berplat merah namun memiliki kinerja yang bisa dikatakan baik, dimana mereka berupaya mengelola amanah dari masyarakat secara profesional. Dalam batas tertentu, kinerja mereka bisa disandingkan dengan beberapa LAZ terkemuka, tentu dengan sekala yang berbeda.

Rabu, 26 Mei 2010

UPZ dan Masa Depan Pengelolaan Zakat di Lingkungan PNS

Saat sosialisasi Unit Pengumpul Zakat (UPZ) dilakukan di Gedung Sate oleh Badan Amil Zakat  Jawa Barat, seorang wakil dari perusahaan daearah bertanya, apa yang harus dilakukannya dengan apa yang telah berlangsung di perusahaannya dimana zakat perusahaan maupun karyawannya telah berjalan namun diserahkan ke suatu lembaga amil zakat (LAZ), tidak melalui BAZ Jabar. Sayang, pertanyaan tersebut diabaikan begitu saja tanpa jawaban, bahkan ketika untuk kedua kalinya ia berusaha mengangkat tangan. Pertanyaan senada pun pernah disampaikan oleh lembaga dibawah pemerintah provinsi melaui telpon ke BAZ Jabar. Ia menjelaskan bahwa selama ini zakat dan infaq di kalangan karyawannya telah berjalan, dan diserahkan melalui sebuah LAZ yang mereka percayai. Dengan adanya rencana pembentukan UPZ di lembaganya, apa yang harus dilakukan atas pengumpulan zakat yang selama ini telah berlangsung. Kembali, pertanyaan ini tidak bisa dijawab dan dijelaskan oleh staf BAZ.

Ditengah upaya BAZ Jabar mengumpulkan dana dari para PNS di lingkungan pemprov Provinsi, masih belum ada kejelasan mekanisme pengumpulan zakat tersebut, baik cara pemungutan yang dilakukan dari PNS, maupun mekanisme koordinasi pengumpulan antara UPZ dengan BAZ Jabar. Terlebih bagaimana mengatur atau menjawab permasalahan pengumpulan zakat yang sudah berlangsung sebagaimana pada pertanyaan diatas. Konon pula, buku Pedoman Pembentukan UPZ yang telah disusun oleh kepengurusan BAZ Jabar sebelumnya, dinyatakan tidak lagi sesuai oleh kepengurusaan BAZ Jabar saat ini. Padahal buku tersebut adalah satu-satunya dokumen yang menjelaskan masalah UPZ, sementara pedoman teknis baru yang sesuai dengan konsep UPZ yang baru, belum ada.

Selain masalah teknis pengumpulan dan pendistribusian antara UPZ dan BAZ Jabar, yang tidak kalah pentingnya adalah pola pengelolaan zakat dan infak di kalangan PNS yang selama ini telah berlangsung, dimana secara sukarela sebagian PNS yang muslim menyerahkan sebagian pendapatannya sebagai zakat ataupun infak, lalu diserahkan kepada lembaga amil zakat, bukan BAZ Jabar. Demikian pula dengan pengumpulan zakat dan pendistribusian yang dilaksanakan dan dikelola secara langsung oleh para PNS di lingkungannya. Apakah dengan kehadiran UPZ yang di"kukuh"kan oleh BAZ Jabar pola pengelolaan zakat dan infak yang telah ada tersebut akan dihapus atau digantikan? Di dalam konsep UPZ BAZ Jabar ditegaskan bahwa tugas UPZ adalah mengumpulkan zakat dan infak dari PNS di lingkungannya untuk kemudian diserahkan ke BAZ Jabar. Untuk melaksanakan itu, UPZ berhak mengambil bagian dari dana yang dikumpulkannya sebagai hak amil (pengelola). Sedangkan dalam pendistribusian dana tersebut, UPZ diharuskan berkoordinasi dengan BAZ Jabar dan berkewajiban memberikan laporan pengelolaan dana tersebut kepada BAZ Jabar. Bagaimana dengan dana yang diserahkan kepada LAZ, belum banyak dibahas dan disinggung dalam "konsep' UPZ yang baru. Paling sebatas, bahwa ""perusahaan anu bersedia membagi sebagian dananya untuk diserahkan ke BAZ, tidak seluruhnya ke LAZ anu".

Pengelolaan zakat di lingkungan PNS dan juga di tempat lain, memang tidak bisa sekedar dengan pendekatan legal formal. Hal ini terkait pula dengan kredibilitas lembaga pengelola zakat tersebut. Apabila ada sebagian PNS baik perorangan maupun terkoordinir menyerahkan zakat dan infaknya melalui LAZ, tentu hal ini bukan proses yang serta merta (instant). Ada proses sosialisasi dari LAZ yang bersangkutan baik secara langsung maupun tidak, ada track record yang membangun kredibilitas lembaga tersebut, hingga tumbuh trust (kepercayaan) dari masyarakat. Adakah dengan pembentukan UPZ proses yang sudah berlangsung akan dihentikan atau terusik? Jika tujuannya untuk menggalakkan semangat berzakat dan berinfak di kalangan PNS, alangkah eloknya apabila BAZ Jabar berkoordinasi dengan LAZ-LAZ yang telah ada dan "masuk" di lingkungan PNS, untuk kemudian bersinergi dalam upaya pengumpulan maupun pengelolaannya.

Pendekatan legal formal seperti ini, memang bukan semata permasalahan yang ada di BAZ Jabar, bahkan menjadi salah satu titik krusial dalam rencana revisi UU Pengelolaan Zakat, yaitu adanya upaya pemusatan wewenang pengelolaan zakat ditangan BAZ dengan "mengeliminir" keberadaan LAZ menjadi subordinasi dari BAZ (sebagai UPZ). Dengan segala permasalahan yang menyelimuti BAZ, upaya pengumpulan zakat dengan mengandalkan pendekatan legal formal semacam ini hanya akan menimbulkan masalah baru yang berdampak buruk bagi masa depan pengelolaan zakat secara umum. Alangkah baiknya apabila BAZ Jabar sedikit berendah hati, untuk belajar dari LAZ yang telah ada, dalam bersusah payah lebih dahulu membangun kepercayaan dengan membuktikan pengelolaan zakat dilakukan secara amanah dan profesional, serta menjunjung asas transparansi dalam masalah keuangannya. Bangunlah kredibilitas terlebih dahulu, sebelum mengandalkan legalitas. Termasuk untuk memungut dan mengelola dana dari para PNS...

Selasa, 25 Mei 2010

Rencana BAZ Jabar memungut Uang dari PNS

Setelah "sukses" memungut infak dari para calon haji tahun lalu, kini Badan Amil Zakat Jawa Barat (BAZ Jabar) tengah berupaya memungut zakat dan infak dari para pegawai negeri sipil (PNS) di lingkungan pemerintah daerah provinsi serta perusahaan daerah tingkat provinsi. Dalam rencananya, para PNS di tingkat pejabat yang mencapai "nishab" menurut ukuran BAZ, akan dipotong langsung zakatnya, sementara para PNS yang tidak mencapai nishab akan dipungut infak profesi. Belum jelas bagaimana mekanisme pemungutan itu dilakukan, apakah langsung dipotong dari gaji atau penghasilan para pegawai dan diserahkan ke BAZ Jabar atau melalui Unit Pengumpul Zakat (UPZ) di masing-masing SKPD tingkat provinsi.

Rencana pengumpulan yang instant ini masih terkendala oleh belum ditandatanganinya Surat Edaran oleh Gubernur Jawa Barat, Ahmad Heryawan. Surat itu diusulkan BAZ Jabar sebagai dasar untuk melakukan pemungutan kepada PNS di lingkungan pemda provinsi. BAZ Jabar sangat berkepentingan atas surat edaran tersebut, mengingat pengumpulan dari PNS dan UPZ itu akan menjadi andalan penerimaan dan bahkan mungkinmenjadi satu-satunya sumber keuangan lembaga, selain dari APBD. Terlebih, melihat kemungkinan tidak bisa lagi melakukan pemungutan kepada para calon haji tahun ini sebagaimana yang sudah dilakukannya pada tahun lalu. Karena itu, tidak mengherankan apabila para pengurus BAZ mendesakkan keinginannya agar Gubernur bisa segera menandatangani surat "pemungutan" dari PNS di lingkungan provinsi Jawa Barat.

Dilihat dari beberapa aspek, surat edaran tersebut sebaiknya memang tidak usah ditandatangani alias dibatalkan. Hal ini berdasarkan pertimbangan:

1. Adalah suatu kedzaliman terhadap para PNS dengan memotong langsung pendapatan mereka, yang bisa jadi belum mencapai nishab bila telah dikurangi dengan kebutuhan hidupnya. Apalagi kebutuhan masing-masing orang tentu berbeda sesuai dengan tanggungan hidupnya, sehingga nominal penerimaan gaji atau penghasilan seorang PNS tidak bisa dijadikan ukuran nishab seseorang. Bisa jadi PNS yang berpenghasilan Rp 10 juta per bulannya, memiliki beban jauh diatas penghasilannya.

2. Surat edaran Gubernur sekalipun bersifat sukarela, tidak memaksa, tetap akan memberikan dampak "keterpaksaan" bagi PNS untuk merelakan gaji atau penghasilannya dipotong. Sulit bagi PNS untuk mengelak atau menolak himbauan dari atasannya. Hal ini menimbulkan kedzaliman baru, terlebih bagi para PNS yang telah terbiasa berinfak atau bersedekah di lingkungan keluarga dan tempat tinggalnya, atau menjadi donatur (muzakki) tetap dari lembaga sosial atau pengelola zakat lainnya.

3. Surat edaran itu akan memusatkan pengumpulan zakat atau infak ke BAZ Jabar, padahal bisa jadi diantara PNS atau perusahaan daerah telah terbiasa berinfak dan berzakat melalui lembaga pengelola zakat yang mereka percaya lebih amanah dan lebih profesional. Pemusatan dana ummat di BAZ Jabar selain berdampak buruk bagi pola distribusi (pendayagunaan) dana, pun menumbuhkan kesan kurang baik diantara sesama pengelola zakat (BAZ dan LAZ) serta kondisi pengelolaan zakat di Jawa Barat secara umum.

4. BAZ Jabar hingga saat ini pengelolaannya tidak jelas, baik dalam program pendistribusiannya maupun transparansi keuangannya. Setelah hampir 1,5 tahun (setengah periode) kepengurusan BAZ, lembaga ini tidak pernah membuat laporan (kegiatan apalagi keuangan) yang dipublikasikan kepada masyarakat. Hal ini berbeda dengan lembaga pengelola lainnya, seperti LAZ, yang selain secara rutin membuat laporan keuangan yang telah diaudit Akuntan Publik, mereka pun secara berkala mempublikasikan laporan kegiatan dan keuangannya setiap bulan, dimana masyarakat luas bisa mengaksesnya. Dengan kondisi seperti itu, sesungguhnya BAZ Jabar belum layak untuk dipercaya atau diamanahi memungut dana dari PNS.

Sekurangnya itulah 4 pertimbangan yang menurut hemat kami tidak sepatutnya surat edaran yang diusulkan BAZ Jabar tersebut ditandatangani oleh Gubernur Jawa Barat. Bilapun surat edaran tersebut dibuat maka isinya cukup berupa seruan untuk menggalakkan semangat berzakat bagi yang telah mampu dan berinfak bagi yang belum mencapai syarat sebagai muzakki. Adapun kemana mereka akan membayarkannya, dan berapa besarnya, diserahkan sepenuhnya kepada lembaga pengelola zakat yang mereka percayai kredibilitas dan profesionalitasnya, tidak harus melalui BAZ Jabar.

Kamis, 20 Mei 2010

Inefisiensi di BAZ Jabar

Digunakan tidak, ditutup pun tidak, tetapi tagihan Telkom Speedy tetap berjalan. Hal ini telah berlangsung selama lebih dari 4 bulan, atau sejak bulan Februari 2010 lalu. Demikianlah cara Badan Amil Zakat Jawa Barat (BAZ Jabar) menangani operasional kantornya. Akibatnya, tidak kurang dari Rp 1 juta harus dibayarkan untuk sesuatu yang tidak digunakan, hanya karena kelalaian (tidak diurus). Hal ini, sebagaimana informasi yang kami terima, tidak hanya dalam masalah menangani urusan kantor tetapi hampir dalam semua kegiatan operasional di badan pengelola zakat berplat merah ini, terjadi inefisiensi.

Inefisiensi atau penghamburan biaya untuk sesuatu yang sia-sia atau tidak jelas manfaatnya, barangkali tidak perlu menjadi permasalahan jika terjadi di kantor atau lembaga swasta, yang dibiayai sendiri dengan resiko kerugian yang ditanggungnya sendiri. Tidak demikian halnya apabila pemborosan dana terjadi di lembaga berplat merah, dimana operasional kantornya dibiayai dari kantong (uang) rakyat, sehingga setiap rupiah yang tidak berdampak positif bagi rakyat patut dipertanyakan dan dimintakan pertanggung-jawabannya. Terlebih lagi, apabila hal itu terjadi dalam sebuah lembaga keagamaan yang keberadaannya justru untuk menjamin terpenuhinya hak-hak kaum dhuafa (fakir miskin) seperti lembaga pengelola zakat. Maka penghamburan dana, baik diakibatkan oleh ketidakcakapan pengelola (tidak profesional) maupun kelalaian (tidak amanah), tidak hanya merugikan rakyat (para pembayar pajak dan zakat) tetapi juga pendzaliman kepada para mustahik (khususnya fakir miskin).

Dari sisi nominal, barangkali satu juta itu adalah nilai yang relatif kecil, tetapi hilangnya "hak" fakir miskin dan kesempatan memperoleh hak bagi para mustahik, itu bukanlah hal kecil dan sepele. Sebagai gambaran, marilah kita cermati bagaimana urusan kantor yang "sepele" seperti yang terjadi di BAZ Jabar itu bisa berarti banyak bagi kaum fakir miskin yang sangat membutuhkannya, misalnya:

  • Bantuan Rp 1 juta yang dijanjikan BAZ Jabar kepada orangtua Salsabila untuk biaya pengobatan, yang dihentikan dengan alasan tidak ada anggaran (dana), bisa diteruskan.
  • Bantuan untuk para mustahik (khususnya fakir miskin) yang datang setiap hari ke BAZ Jabar bisa dianggarkan, untuk sekedar membantu meringankan beban mereka, yang saat ini anggaran untuk mereka adalah nol rupiah (tidak ada).

Inefisiensi urusan kantor di BAZ Jabar seolah menegaskan amburadulnya pengelolaan lembaga zakat ini, sekaligus memunculkan pertanyaan baru, apa yang sesungguhnya diurus oleh para pengurus BAZ maupun para stafnya? Jika masalah kantor yang ada di depan mata saja tidak terurus...

Senin, 17 Mei 2010

Kabar Terkini Nasib Salsabila

Salsabila masih hanya bisa berbaring di kasurnya tanpa daya. Ia belum mampu menggerakkan anggota badannya dan juga belum bisa bicara. Hanya sekali-kali ia menangis tanpa suara, berurai air mata, tanpa bisa difahami oleh orang tuanya. Gadis itu pun lebih banyak diam, tidak bergerak, mungkin disebabkan menahan rasa sakit bila menggerakkan anggota tubuhnya. Hingga saat ini, orang tua Salsabila dan keluarganya yang tergolong keluarga tidak mampu (miskin) tetap berupaya keras mengobati puterinya.

Salsabila yang baru berusia 6 tahun, didiagnosis mengalami post meningitis tb, telah menjalani 4 kali operasi (dua kali di RS Hasan Sadikin dan 2 kali di RS Borromeus). Sedangkan operasi ke-5 yang harus dijalani puterinya, adalah untuk cangkok mangkuk pinggul Salsabila yang “hancur”.  Untuk operasi ke- 5 ini, pak Kusmana dan keluarganya belum terbayangkan, darimana biayanya, sedangkan untuk perawatan rutin pun mereka merasa sangat berat dan kesulitan.

Sebagai gambaran biaya perawatan Salsabila setiap bulannya adalah sebagai berikut:

  • Terapi 2 kali seminggu, dengan biaya Rp 75.000,- /terapi. (Rp 600.000,-/bulan)
  • Biaya dokter untuk kontrol Rp 100.000,-
  • Obat anti kejang Rp 280.000,-/ 2 botol untuk 1 bulan.

Biaya tersebut terasa sangat berat bagi pak Kusmana yang bekerja sebagai pekerja serabutan. Oleh karena itu, selain bersyukur atas bantuan yang selama ini diterimanya, ia pun berterimakasih apabila ada donatur dan dermawan yang turut meringankan bebannya.

Untuk dermawan yang berniat membantu meringankan keluarga Kusmana dalam mengobati puterinya, bisa langsung menghubungi bapak Kusmana (orang tua Salsabila) yang beralamat di Jl. Sukagalih no 42 RT 01/07 Kelurahan Cipedes Kecamatan Sukajadi Bandung. Atau menghubungi langsung bapak Kusmana di 022-76785553, atau bapak H. Asep  (085720364012) dan saudara Gungun (085220135592) atau di nomor telp 022-2532577 (kantor BAZ Jabar). Bapak H. Asep dan Gungun adalah staf BAZ Jabar yang menangani masalah Salsabila.

Jumat, 14 Mei 2010

Nasib Salsabila, Siapa Peduli

Salsabila Anisa Puteri, itulah nama puteri dari pasangan suami isteri Kusmana dan Tini Masriah. Dilahirkan di Bandung pada 23 Desember 2003, puteri cilik ini didiagnosa mengalami post meningitis tb. Di usianya yang baru 6 tahun, Salsabila harus menjalani operasi dan perawatan rutin yang membutuhkan biaya yang tidak kecil. Untuk satu kali operasi, dibutuhkan biaya puluhan juta rupiah, sementara perawatan berkala yang dilakukan bulanan, tidak kurang dari ratusan ribu rupiah yang harus dikeluarkan. Suatu jumlah yang terasa sangat besar dan berat bagi keluarga Kusmana yang tergolong tidak mampu.

Pada awalnya, tutur pak Kusmana, ada seorang dermawan yang menanggulangi sepenuhnya biaya pengobatan Salsabila, namun musibah menimpa sang dermawan tersebut, sehingga ia hanya bisa membantu Salsabila alakadarnya. Karena itulah, sekitar sebulan sebelum Ramadhan tahun lalu, ia mencoba mengajukan permohonan bantuan pengobatan bagi puterinya, salah satunya ke lembaga zakat Badan Amil Zakat Jawa Barat (BAZ Jabar). BAZ Jabar menyetujui sebagian dari permohonan tersebut. Mereka hanya bisa memberi bantuan “uang transport” sebesar Rp 1 juta rupiah yang akan diberikan setiap bulan sebesar Rp 100 ribu saat Salsabila hendak diperiksa ke RS Borromeus. Atas inisiatif pribadi, beberapa staf di BAZ Jabar kemudian mencarikan donatur lain untuk membantu biaya pengobatan Salsabila. Seorang donatur bersedia membantu untuk menanggulangi biaya obatnya.

Dalam pemeriksaan terakhir, ibu Tini sang ibu Salsabila menuturkan bahwa puterinya harus menjalani operasi kembali. Ia tidak tahu darimana dan kemana lagi harus meminta bantuan untuk puterinya. Jangankan dana untuk operasi, untuk biaya perawatan rutin pun ia dan keluarganya tidak mampu. Ia hanya bisa pasrah, begitu pula anggota keluarganya yang lain, hanya bisa menitikkan air mata melihat puteri kecilnya hanya tergolek di kasur tak berdaya. Kebingungan itu kian bertambah ketika BAZ Jabar secara tiba-tiba menghentikan bantuan “uang transportnya” tanpa penjelasan.

Bagi anda yang berniat membantu Salsabila, silakan langsung hubungi orang tua Salsabila (Bapak Kusmana dan ibu Tini Masriah) yang beralamat di jalan Sukagalih no 42 RT 01/07 Kelurahan Cipedes, Sukajadi, Bandung.

Kisah Salsabila dan Ironi BAZ Jabar

Seorang ibu muda sambil menggendong anaknya, keluar dari kantor Badan Amil Zakat Jawa Barat (BAZ Jabar) di kawasan Tubagus Ismail, Dago. Kebingungan nampak dari wajahnya. Betapa tidak, bantuan dari BAZ Jabar yang telah dijanjikan, ternyata dihapus tanpa penjelasan. Jumlahnya memang tidaklah seberapa, hanya Rp 100 ribu. Namun, bagi Tini Masriah, uang itu sangat membantu dalam upayanya mengobati sang anak, Salsabila.

Salsabila, gadis cilik berusia 5 tahun, terserang penyakit meningitis. Gadis seusia itu telah harus dioperasi bagian kepalanya (otaknya) dan memerlukan perawatan berkala. Selama itu, tutur ibu Tini, ada seorang donatur yang menanggung sepenuhnya biaya pengobatan anaknya. Namun, karena sang donatur mengalami suatu musibah, ia tidak bisa lagi sepenuhnya membayar biaya pengobatan Salsabila. Karena itulah, jauh sebelum Ramadhan 1430 (2009) lalu, ia mengajukan permohonan bantuan ke BAZ Jabar.

Sekitar penghujung tahun 2009 lalu, BAZ Jabar menyetujui untuk membantu Salsabila, senilai Rp 1 juta. Bantuan tersebut adalah untuk transportasi Salsabila ke rumah sakit Borromeus di Dago dari rumahnya di Sukajadi. Besarnya biaya transportasi ini, disebabkan Salsabila tidak mampu lagi berdiri apalagi berjalan sendiri, ia hanya bisa dipangku dan tergolek di tempat tidur. Bantuan inipun, diberikan secara bertahap, Rp 100 ribu setiap bulannya.

Hingga bulan Februari 2010, bantuan BAZ Jabar diterima oleh ibu Tini untuk digunakan membayar ongkos berobat anaknya. Hingga kemudian, tadi pagi saat ia bermaksud mengambil bantuan, staf BAZ Jabar memberitahu bahwa bantuan tersebut dihentikan. Alasan penghentian bantuan tersebut tidak dijelaskan. Nampaknya staf BAZ Jabar sendiri tidak tahu dan nampak kebingungan untuk menjelaskannya. Ibu Tini sendiri pasrah menerimanya. Siang itu, ditengah terik matahari, sambil menggendong anaknya ia pergi meninggalkan kantor BAZ  Jabar. Dengan membawa kebingungan mencari biaya tambahan untuk pengobatan anaknya.

Bantuan senilai Rp 100 ribu setiap bulan untuk pengobatan seorang gadis cilik dari keluarga miskin dihentikan oleh BAZ Jabar, pada saat bersamaan lembaga ini “menghamburkan” ratusan juta rupiah untuk fasilitas segelintir pengurusnya. Sungguh ironis…

Minggu, 09 Mei 2010

Bebaskan Calon Jamaah Haji dari Berbagai Pungutan

“Duh mani asa rareuwas, aya pungutan naon deui ieu teh?” (Duh merasa khawatir, ada pungutan apalagi ini?). Demikian kata salah seorang calon jamaah haji dari kota Bandung kepada petugas dari Badan Amil Zakat  Jawa Barat (BAZ Jabar) yang melakukan pungutan kepada calon jamaah haji di embarkasi Bekasi. Calon jamaah haji itupun menyampaikan bahwa rombongannya sebenarnya sudah dipunguti infak sejak sebelum berangkat ke embarkasi Bekasi. Mereka telah dipungut oleh BAZ kota Bandung dan juga pungutan untuk penghijauan sebesar Rp 100.000,- per orang.

Adapula yang ingin memastikan bahwa pungutan yang dilakukan BAZ Jabar benar-benar atas perintah dari Gubernur Jawa Barat. Jamaah asal Depok itu berungkali bertanya untuk memastikan. Setelah dijawab oleh petugas, bahwa demikianlah informasi yang disampaikan para pengurus BAZ. Maka ia pun merasa tenang dan kembali ke rombongannya.

Dari sekitar 37 ribuan calon jamaah haji, umumnya memang bersikap pasrah. Menerima begitu saja saat pungutan dilakukan. Mereka yang bersikap kritis dan mempertanyakan pungutan sangat jarang, bisa dihitung dengan jari. Hal ini mungkin disebabkan suasana batin (psikologis) jamaah haji yang memiliki semangat ibadah yang tinggi (termasuk dalam bersedekah) ataupun sikap menerima yang ditumbuhkan dari mental untuk bersabar menghadapi apapun permasalahan dan menghindari perasaan negatif yang dapat merusak keikhlasannya selama perjalanan hajinya. Sikap seperti itu, sayangnya seolah menjadikan calon jamaah haji sebagai “sasaran empuk” untuk objek berbagai pungutan.

Kita berharap bahwa pemerintah, sebagai penyelenggara haji dan penanggung-jawab pelaksanaan ibadah haji, benar-benar berperan sebagaimana mestinya, yakni mempermudah dan membantu para calon jamaah haji, bukan sebaliknya malah mempersulit dan membebani para calon jamaah haji. Diantaranya, adalah membersihkan berbagai macam pungutan dengan dalih apapun, termasuk pungutan infak atau zakat. Infak dan zakat, ada tempatnya dan waktunya sendiri. Adapun pungutan yang telah dilakukan, sebagaimana yang telah dilakukan Badan Amil Zakat Jawa Barat (BAZ Jabar), selayaknya mendapat pengawasan agar pungutan tersebut benar-benar didistribusikan sebagaimana tujuannya, bukan untuk kepentingan para pengelola (zakat) dan lembaganya.

Dan kita berharap, ini adalah pungutan terakhir kalinya, tidak ada lagi pungutan untuk para calon jamaah haji pada masa yang akan datang…

Jumat, 07 Mei 2010

Pungutan Haji, Kemana dan Untuk Apa?

Pada musim haji lalu, tahun 2009, Badan Amil Zakat Jawa Barat (BAZ Jabar) melakukan pungutan kepada seluruh calon jamaah haji di embarkasi haji Bekasi. Pungutan ini berlangsung pada bulan Oktober - bulan November 2009. Dari sekitar 370 ribuan calon jamaah haji, terhimpun dana sekitar Rp 600-an juta dengan rincian sebagai berikut:  Rp. 582.744.700,- (dalam rupiah), SR 1970 (dalam real saudi), USD 222 (dalam dollar AS), RM 15 (dalam ringgit malaysia) dan won 2000 (dalam mata uang won).

Saat pungutan dilaksanakan, para petugas menyampaikan bahwasanya pungutan (infak) tersebut dilakukan berdasarkan amanah dari Gubernur Jawa Barat Bapak Ahmad Heryawan untuk membantu korban bencana alam yang terjadi di Jawa Barat (gempa bumi) serta program sosial lainnya seperti perbaikan sarana pendidikan yang rusak dan lain sebagainya. Namun, setelah hampir setengah tahun pungutan haji berlalu, hingga saat ini belum jelas berapa dana infak tersebut yang telah didistribusikan ke daerah-daerah bencana untuk membantu korban, atau untuk peruntukkan lainnya. Hingga saat ini, dana yang disalurkan untuk bencana di daerah BAZ Jabar adalah nol rupiah. Adapun bantuan yang pernah disalurkan, sepenuhnya merupakan dana titipan yang berasal dari BAZ lain (BAZ Kota Bogor)

Barangkali hal ini berkaitan dengan ketiadaan informasi –yang ironisnya- BAZ Jabar tidak pernah mempublikasikan laporan keuangannya, seperti lazimnya sebuah lembaga amil zakat (LAZ) yang secara berkala (bulanan) mempublikasikan laporan keuangan atau penggunaan dana yang dihimpunnya. Bahkan, informasi yang ada semakin menimbulkan berbagai pertanyaan, seperti menurut Ketua BAZ yang disampaikan kepada pengurusnya, bahwa dana infak tersebut masih utuh dan BAZ Jabar “tidak berani” menyentuhnya. Sedangkan pengurus BAZ Jabar lainnya menyatakan tidak mengetahui untuk apa dana tersebut digunakan, karena tidak semua pengurus “boleh” mengetahui laporan keuangan dan bahkan jajaran pimpinan BAZ Jabar pun tidak semuanya memiliki akses atas informasi keuangan BAZ.

Jadi, pungutan kepada calon jamaah haji yang mengaatas-namakan Gubernur Jawa Barat itu, untuk apa?

Rabu, 05 Mei 2010

Ralat dan Tambahan tentang BAZ Jabar

Dua postingan sebelumnya terkait dengan Badan Amil Zakat Jawa Barat (BAZ Jabar) mendapat tanggapan. Tanggapan tersebut berupa informasi yang meralat sekaligus menambah. Pertama, berkaitan dengan Menyoal Ke(tidakpedulian) BAZ Jabar ada beberapa catatan yang menjadi ralat sekaligus tambahan informasi, yakni:

1. BAZ Jabar sebenarnya telah menyalurkan bantuan untuk korban gempa di wilayah Jawa Barat. Bantuan tersebut berupa 450 dus mie instant. Bantuan tersebut didistribusikan ke 3 daerah, yakni: kecamatan Pengalengan dan Arjasari(Bandung), serta kabupaten Garut.

2. Penyaluran tersebut dilakukan melalui organisasi PWNU Jawa Barat yang disalurkan kepada koordinator di masing-masing wilayah, yaitu: Hj. Enung Dururiah (pimpinan pontren Daarul Falah, MWC NU Pengalengan), Drs. H. Moch Ilyas (Ketua LKKNU, Arjasari) dan KH. EZ. Muttaqien (pimpinan pontren an-Nur Garut, Katib Syuriah PCNU Garut).

3. Dana bantuan tersebut bukan berasal dari BAZ Jabar tetapi dana yang berasal dari BAZ Kota Bogor yang dititipkan melalui BAZ Jabar senilai Rp 15 juta. Penyaluran dana tersebut dilakukan sebelum musim haji tahun 2009 lalu, karena itu bukan berasal dari pungutan infak calon jamaah haji tahun 2009 di embarkasi Bekasi, yang konon diperuntukkan untuk membantu korban bencana sebagaimana diamanahkan Gubernur Jawa Barat Ahmad Heryawan kepada BAZ Jabar.

4. Jumlah dana yang dipungut dari jamaah haji bukanlah sebesar Rp 700-an juta, tetapi berdasarkan spanduk yang dipajang Kanwil Depag Jabar saat penerimaan kepulangan jemaah haji di embarkasi Bekasi adalah sebagai berikut: Rp 580-an juta, 1900-an Real Saudi, 200-an dollar US dan 2000 won.

Sedangkan ralat dan tambahan terkait dengan postingan "BAZ Jabar yang mengenaskan" adalah sebagai berikut:

1. Dana yang diterima tahun 2009 dari APBD bukan sebesar Rp 100-an juta, tetapi Rp 250 juta. Dana tersebut diterima BAZ Jabar sekitar bulan September-Oktober 2009 dengan jumlah yang telah dipotong 10% sebagai "biaya administrasi" di Pemprov Jabar. (Tidak dijelaskan apa yang dimaksud "biaya administrasi" tersebut).

2. Kondisi mengenaskan BAZ Jabar tidak hanya berkaitan dengan pembayaran rutin operasional kantor seperti listrik dan telpon, tetapi juga dengan ke"rumahtanggaan" kantor lainnya, seperti air minum, kopi, teh, gula serta perlengkapan kebersihan kantor. Dan saat ini, koneksi internet di BAZ Jabar pun telah diputus.

Demikianlah informasi tambahan yang kami terima sekaligus meralat dan menambahkan atas postingan sebelumnya. Atas informasi tersebut kami ucapkan jazakumullah khairan. Dan diantara informasi mengenaskan tentang BAZ Jabar, terselip pula informasi "menggembirakan", yakni tidak lama seusai pungutan jamaah haji di embarkasi Bekasi, BAZ Jabar melakukan pembelian mobil dinas untuk ketuanya serta sejumlah laptop bagi para pengurusnya.

 

Senin, 03 Mei 2010

BAZ Jabar yang Mengenaskan

Secarik kertas dilayangkan petugas PLN ke kantor BAZ Jabar. Kertas itu adalah surat pemberitahuan dari PLN akan dilakukannya pencabutan listrik dari kantor BAZ Jabar di Jl. Tubagus Ismail no 1A. Pencabutan terpaksa dilakukan karena telah dua bulan berturut-turut BAZ Jabar belum melunasi tagihan listriknya, yakni bulan Januari dan Februari, sebesar Rp 400 ribuan.

Ini bukanlah kejadian pertama di BAZ Jabar, badan pengelola zakat yang berambisi untuk menjadi kordinator seluruh lembaga pengelola zakat di Jawa Barat. Ancaman pencabutan listrik akibat penunggakan bayaran, sudah terjadi berkali-kali di pengurusan BAZ yang baru (periode 2009-2011) ini. Dan bukan hanya listrik saja yang pembayarannya seringkali menunggak dan telat, tetapi hampir semua pembayaran rutin kantor seperti tagihan kebersihan, tagihan telepon, hingga tagihan koran. Hal ini sudah pula disampaikan berkali-kali ke unsur pimpinan yang memang mengendalikan sepenuhnya operasional BAZ, namun hingga saat ini, tidak ada perbaikan sama sekali. Masalah rutin, menjadi benar-benar masalah yang rutin.

Apakah hal ini disebabkan karena BAZ Jabar tidak memiliki dana sehingga senantiasa menunggak pembayaran biaya rutin operasional kantornya? Tentu saja tidak. BAZ Jabar, sebagai badan pengelola zakat pemerintah, sesungguhnya memiliki keistimewaan dibandingkan Lembaga Amil Zakat yang merupakan swadaya masyarakat, dimana setiap tahunnya mendapatkan dana operasional dari APBD. Pada tahun lalu (2008-2009) badan ini memperoleh dana dari APBD sebesar Rp 100-an juta, sementara untuk tahun ini (2009-2010) meningkat menjadi sekitar Rp 250-an juta (bahkan konon tadinya di"janji"kan sebesar Rp 500 juta). Tidak terhitung dana-dana lain yang dititipkan atau dihimpun oleh badan ini langsung dari masyarakat, terlebih jika dilakukan penggalangan dana (fundraising) sebagaimana lazimnya sebuah lembaga pengelola zakat.

Masalah "rutin" operasional yang amburadul ini sebenarnya bisa menggambarkan bagaimana pengelolaan operasional lembaga yang juga amburadul. Selama ini, tidak ada perencanaan sama sekali untuk operasional kantor (apalagi program-program pengelolaan zakat). Pengeluaran dana tidak berdasar pada rencana anggaran yang telah disusun (baik tahunan ataupun bulanan). Hal ini, berbeda dengan kepengurusan BAZ periode sebelumnya, dimana kebutuhan rutin kantor (overhead) telah dianggarkan jauh-jauh hari, dan disimpan dalam brangkas sebagai peti cash. Sedangkan pada kepengurusan baru, pengeluaran sama sekali tanpa perencanaan dan anggaran. Uang dipegang dan dikeluarkan langsung dari dompet "kepanjangan tangan" bendahara BAZ. Tidak heran, jika setiap bulan, masalah rutin selalu rutin menjadi masalah.

Jika kondisi BAZ saja sangat mengenaskan, bagaimana bisa ia hendak menjadi "kordinator" yang melayani BAZ-BAZ Daerah se-Jawa Barat (bahkan sesumbar hendak menjadikan LAZ-LAZ yang jauh telah mapan menjadi UPZ-nya). Jika untuk urusan rutin kantor saja penanganannya kacau-balau, bagaimana BAZ Jabar hendak menangani pengelolaan zakat se-Jawa Barat? Jauh panggang dari api.

Technorati Tags: ,,,,,

Jumat, 19 Maret 2010

SIMBAZ: Prestasi BAZ Jabar yang Diabaikan

Ada satu pertanyaan mengemuka, tidak adakah prestasi Badan Amil Zakat Jawa Barat (BAZ Jabar) yang pantas untuk dibanggakan dan diberitakan dalam Zakat Watch ini? Tentu saja ada. Salah satunya adalah Sistem Informasi Manajemen Badan Amil Zakat (SIMBAZ). Ini merupakan sebuah software  pengelolaan zakat terpadu, mulai dari penghitungan zakat, penerimaan hingga output berupa laporan keuangan bulanan hingga neraca keuangan. Bahkan, SIMBAZ pun bisa menjadi database yang diharapkan menjadi dasar pengelolaan zakat, khususnya dalam perencanaan seluruh kegiatan pengelolaan zakat. Disamping kelengkapan fungsinya, software ini pun sangat mudah digunakan.

SIMBAZ ini disusun sekitar tahun 2003-an oleh empat anak muda yang berkhidmat di BAZ Jabar. Direncanakan bisa rampung dalam 2 tahun, namun kerja spartan para pemuda ini bisa melaunching software ini dalam tempo 6 bulan walau masih dalam versi betanya. Sekalipun versi beta, software ini sudah bisa digunakan sebagaimana yang diharapkan, tanpa mengalami banyak masalah berarti. Dan istimewanya, sekalipun dibuat pada tahun 2003-an, SIMBAZ sesungguhnya masih bisa memenuhi kebutuhan para pengelola zakat sebagai sistem informasi manajemennya.

Sayangnya, prestasi ini seolah diabaikan begitu saja oleh para pengurus BAZ Jabar saat ini. Sekalipun pada awalnya seolah nampak serius hendak membangun sistem TI yang handal dalam pengelolaan zakat dan jaringannya di Jawa Barat, namun berbagai pelatihan dan workshop menyangkut masalah TI ini, lebih cenderung bersifat seremonial dan formalitas. Sedangkan SIMBAZ ataupun software SIM Zakat lainnya, hingga saat ini belum diaplikasikan dalam pengelolaan zakat. Sempat tersiar pula bahwa BAZ Jabar hendak mensosialisasikan SIMBAZ ini ke seluruh BAZ Kabupaten dan Kota yang ada di Jawa Barat, dimana software tersebut akan diberikan secara cuma-cuma sebagai bagian dari strategi pengelolaan zakat yang berbasis TI. Namun, seiring waktu, kabar itu pun lenyap begitu saja.

Diabaikannya SIMBAZ sebagai software yang handal untuk mengelola zakat ini, bisa jadi akibat "ketidaktahuan" betapa mahalnya biaya untuk menyusun program semacam ini jika diserahkan kepada pihak luar. Ironisnya, sikap (sebagian) pengurus BAZ Jabar dengan angkuhnya menganggap SIMBAZ adalah hak milik BAZ Jabar karena para programer yang merancang siang malam software tersebut, sudah diberi honor (gaji) dan menggunakan fasilitas BAZ Jabar. Lebih menyakitkan lagi, disebar tuduhan bahwa anak-anak muda itu (bagian TI BAZ Jabar) telah menggunakan dana operasional BAZ Jabar hingga ratusan juta rupiah.

Bagaimanapun, sikap pengurus BAZ Jabar atas prestasinya sendiri memang patut disayangkan. Sedangkan anak-anak muda yang merancang software itu ternyata jauh lebih dihargai diluar BAZ Jabar. Kini mereka berkiprah di perusahaan-perusahaan besar terkemuka seperti Telkom, Fujitsu dan menjadi penanggung-jawab pengembangan TI di sebuah instansi pemerintah. Ini adalah sebuah kehilangan bagi BAZ Jabar, yang tidak bisa dinilai dengan uang...

Minggu, 28 Februari 2010

Menyoal Ke(tidak)pedulian BAZ Jabar

Musibah seolah datang silih berganti di tanah Pasundan. Mulai dari gempa bumi disepanjang jalur selatan Jawa Barat: Tasikmalaya, Ciamis, Garut, Sukabumi dan Cianjur, lalu longsor yang terjadi di berbagai tempat seperti Ciwidey dan Cianjur, hingga banjir yang hingga kini menggenangi wilayah selatan Bandung. Korban jiwa dan juga materi telah berjatuhan. Sarana-sarana vital pun tidak sedikit yang hancur dan tak berfungsi lagi, seperti sarana pendidikan. Banyaknya gedung sekolah yang hancur dan tak berfungsi, jelas mengganggu proses pendidikan yang apabila dibiarkan tak segera ditanggulangi bisa berakibat pada hilangnya sebuah generasi (the lost generation).

Berbagai lembaga amil zakat (LAZ) dengan sigap merespon bencana kemanusiaan itu. Kesigapan ini tidak hanya dalam menggalang dana dan bantuan untuk membantu korban bencana, tetapi juga dalam hal penyalurannya. LAZ yang ada di Jawa Barat, baik LAZNAS yang memang berkantor pusat di Jawa Barat (Bandung) seperti Dompet Peduli Ummat Daarut Tauhiid (DPUDT) dan Rumah Zakat Indonesia (RZI) maupun yang berpusat di Jakarta, secara hampir bersamaan bergerak ke lokasi-lokasi bencana untuk menyalurkan bantuan. PKPU misalnya, di wilayah bencana gempa bumi berfokus pada rekonstruksi sarana pendidikan. Dompet Dhuafa (DD) Bandung mengirim 2 tim aksi cepat tanggap ke wilayah longsor. Demikian pula dengan LAZ-LAZ lainnya, sibuk menyalurkan bantuan ke wilayah-wilayah bencana di berbagai tempat di Jawa Barat.

Ironisnya, disaat berbagai lembaga amil zakat seolah berlomba-lomba menyalurkan bantuan ke wilayah bencana, Badan Amil Zakat (BAZ) Jawa Barat, yang notabene adalah lembaga zakat berplat merah (pemerintah), hingga saat ini nyaris tidak berbuat apa-apa untuk membantu para korban di wilayahnya. Hampir bisa dikatakan, tidak ada serupiah pun yang telah disalurkan untuk membantu korban di wilayah Jawa Barat, baik korban gempa bumi, longsor ataupun banjir. Padahal, pada saat musim haji baru lalu (tahun 2009), BAZ Jabar melakukan pungutan infaq dari calon jamaah haji Jawa Barat di embarkasi haji Bekasi. Konon, tidak kurang dari Rp 700-an juta dana yang terhimpun. Ironinya lagi, dalam hampir setiap pemungutan berlangsung, dikatakan bahwa mereka memungut infaq atas amanah dari bapak Gubernur Jawa Barat Ahmad Heryawan untuk membantu korban bencana (gempa) yang terjadi di Jawa Barat.

Gempa sudah lama berlalu, uang sudah terhimpun, para korban masih menderita, lalu apa lagi yang sedang ditunggu BAZ Jabar?