Zakat Profesi (5)
Para penyeru zakat profesi (yang mengabaikan haul dan nishab, red) mengemukakan beberapa atsar dari Mua’wiyah, Ibnu Mas’ud, Ibnu Abbas, Umar bin Abdul Aziz dan lain sebagainya tentang harta mustafad (harta yang diperoleh dan dimiliki seorang muslim dengan cara kepemilikan yang disyari’atkan seperti hadiah, warisan, kerja dan sebagainya). (Lihat Fiqih Zakat 1/557-562 oleh Dr. Yusuf al-Qaradhawi)
Pemahaman (tentang atsar) ini perlu ditinjau kembali karena beberapa alasan berikut:
- Atsar-atsar tersebut dibawa kepada harta yang diperkirakan sudah mencapai satu haul, yakni pegawai yang sudah bekerja (paling tidak) lebih dari satu tahun. Agar mudah urusan zakatnya, maka dipotonglah gajinya. Jadi tetap mengacu kepada harta yang sudah mencapai nishab dan melampaui putaran satu tahun (haul) dari gaji pegawai tersebut. (Lijat al-Muntaqa’ 2/95 oleh al-Baji).
- Terdapat beberapa atsar dari beberapa shahabat tersebut yang menegaskan disyariatkannya haul dalam harta mustafad seperti gaji. (Lihat al-Amwal hal 564-569 oleh Abu Ubaid)
- Para ulama sepanjang zaman telah bersepakat tentang disyariatkannya haul dalam zakat harta, peternakan dan perdagangan. Hal itu telah menyebar sejak para Khulafaur Rasyidin tanpa ada pengingkaran dari seorang alim pun, sehingga Imam Abu Ubaid rahimahullah menegaskan bahwa pendapat yang mengatakan (zakat) tanpa haul adalah pendapat yang keluar dari ucapan para imam. (al-Amwal hal 566). Ibnu Abdul Barr rahimahullah berkata, “Perselisihan dalam hal (masalah haul) itu adalah ganjil, tidak ada seorang ulama pun yang berpendapat seperti itu”. (al-Mughni wa Syarh Kabir 2/458-497)
Sumber: Kontroversi Zakat Profesi, oleh Abu Ubaidah Yusuf bin Mukhtar as-Sidawi. Majalah al-Furqon edisi khusus 1430/2009 hal 16.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar