Jika kurma atau anggur telah berputik dan kelihatan akan menjadi baik, maka mengukur nishabnya adalah dengan menaksir bukan dengan ditakar. Caranya ialah salah seorang ahli taksir yang jujur memperkirakan buah kurma dan anggur yang ada di pohonnya, lalu menaksir berapa banyaknya nanti apabila telah menjadi kering, sehingga dapat diketahui berapa kadar zakat yang wajib dikeluarkan. Apabila buah-buahan itu telah kering, diambillah zakat sesuai dengan perkiraan sebelumnya.
Diterima dari Abu Humaid as-Sa'idi ra katanya, "Kami berperang bersama Rasulullah saw di perang Tabuk, tatkala sampai di Wadil Qura, kelihatan seorang wanita sedang bertada dalam kebunnya, maka bersabdalah Nabi SAW, "Taksirlah!" dan Rasulullah SAW sendiri menaksirnya 10 wusuq, lalu sabdanya kepada wanita itu, "Saya taksir hasilnya". (HR al-Bukhari).
Ini merupakan Sunnah Rasulullah SAW dan perbuatan para shahabat dibelakangnya dan menjadi pendirian kebanyakan para ulama. Sebaliknya, Ahnaf menentangnya karena taksiran ini dasarnya dugaan semata sehingga tidak dapat menjadi ukuran. Tetapi mengikuti sunnah Rasulullah SAW lebih utama karena menaksir itu bukanlah dugaan semata tetapi merupakan hasil ijtihad dalam mengetahui banyaknya buah-buahan, tidak ubahnya dengan menaksir harga barang-barang yang ditimpa kerusakan.
Adapun sebab dianjurkannya menaksir ialah menurut kebiasaan, buah-buahan itu dimakan selagi masih segar, maka perlu hasil tanaman itu diperkirakan terlebih dahulu sebelum dipanen dan dikonsumsi.
Selain itu, agar para pemiliknya dapat membelanjakan hartanya dengan leluasa, dimana harta yang akan dizakatkan telah terjamin. Saat menaksir, juru taksir hendaknya tidak menghitung yang sepertiga atau seperempat untuk memberi kelapangan bagi si pemilik harta, karena mereka pun butuh dan ingin mengkonsumsinya, sebagaimana halnya untuk para tamu maupun tetangga mereka. Selain itu, buah-buahan tidak pula luput dari kerusakan, seperti dimakan burung atau orang yang lewat (kebun), atau jatuh diterpa angin dan sebab lainnya. Maka sekiranya zakat dihitung dari semua buah tanpa mengecualikan sepertiga atau seperempatnya, tentulah akan menyulitkan para pemiliknya.
Diterima dari Sahl bin Abi Hatsmah bahwa Nabi SAW bersabda, "Jika kamu melakukan penaksiran, maka ambil dan tinggalkanlah yang sepertiga, dan jika kamu tak mau menyisakan sepertiga, maka tinggalkan seperempat". (Diriwayatkan oleh Ahmad dan ash-Habus Sunan kecuali Ibnu Majah. Juga diriwayatkan oleh Hkim dan Ibnu Hibban, dan keduanya menyatakan sahnya).
Menurut Imam Tirmidzi, dalam prakteknya kebanyakan ulama mengikuti hadits Sahl diatas.
Dari Basyir bin Yasar, katanya, "Umar bin Khattab ra mengutus Abu Hatsmah al-Anshari untuk menaksir harta kekayaan kaum muslimin, maka pesannya, "Jika kamu melihat orang-orang itu telah tinggal di kebun-kebun kurma mereka di musim gugur, maka biarkanlah yang mereka makan, tidak usah dimasukkan dalam penaksiran".
Dan dari Makhul katanya, "Bila Rasulullah SAW mengirim juru taksir, maka beliau akan berpesan, "Berilah keringanan kepada manusia, karena antara harta itu ada yang disuguhkan, yang dimakan oleh orang-orang yang lewat dan oleh pemiliknya". (Riwayat Abu Ubaid, katanya, "Wathiah maksudnya ialah orang yang lewat". Dikatakan demikian ialah karena mereka menginjak dan melewati tanah tempat tumbuhnya buah-buahan tersebut).
Sedangkan akilah ialah para pemiliknya dan keluarga mereka serta orang-orang yang erat hubungannya dengan mereka.
Sumber: Fiqhus Sunnah juz I oleh syaikh Sayid Sabiq.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar