Madzhab Abu Hanifah mengambil pendapat tidak wajibnya zakat atas tanah kharaj berdasar dalil-dalil berikut ini:
1. Apa yang diriwayatkan oleh Ibnu Mas'ud bahwa Nabi SAW bersabda, "Tidak mungkin berhimpun zakat dan pajak pada tanah orang Islam".
Hadits ini disepakati kelemahannya (dhaif) secara ijma'. Ia diriwayatkan oleh Yahya bin Anbasah seorang diri dari Abu Hanifah, dari Hamad dari Ibrahim an-Nakha'i dari Alqamah dari Ibnu Mas'ud dari Nabi SAW.
Berkata Baihaqi dalam "Mengenal Sunnah-Sunnah dan Atsar", "Riwayat yang disebutkan itu disampaikan oleh Abu Hanifah dari Hamad lalu dari Ibrahim hanyalah ucapannya pribadi, kemudian diriwayatkan oleh Yahya secara marfu, dan Yahya bin Anbasah ini telah dikenal kelemahannya karena biasa meriwayatkan hadits-hadits palsu dari kalangan orang-orang dipercaya. Keterangan yang disampaikan pada kami oleh Abu Sa'id al-Malini tentang pribadinya ini, diucapkan sendiri oleh Abu Ahmad bin Adi al-Hafidz.
Ia juga dinyatakan dha'if (lemah) oleh Kamal ibnul Hamam salah seorang imam dari madzhab Hanafi yang menguatkan madzhab jumhur (mayoritas) dan mengkritik pendapat Abu Hanifah.
2. Diriwayatkan oleh Ahmad, Muslim dan Abu Daud dari Abu Hurairah bahwa Nabi SAW bersabda, "Orang-orang Irak tidak mau mengeluarkan hasil tanah dan peraknya, orang-orang Sirian tidak mau mengeluarkan barang sukatan dan uang emasnya, begitupun orang-orang Mesir (tidak mau mengeluarkan) hasil pertanian dan emas peraknya, sementara kalian akan kembali seperti pada awalnya". Kalimat ini diucapkan Nabi sampai tiga kali, disaksikan langsung oleh Abu Hurairah.
Cara mengambil dasar alasan dari hadits ini ialah bahwa hadits tersebut menyatakan beberapa kewajiban dan keengganan memenuhi kewajiban tersebut, yakni kewajiban terkait dengan pajak. Menurut mereka, seandainya kewajiban yang dimaksud adalah zakat, tentulah Nabi SAW akan menyebutkannya.
Sebenarnya, dalam hadits diatas tidak ada petunjuk yang menyatakan tidak diambilnya zakat dari tanah kharaj. Para ulama telah menjelaskan maksud hadits tersebut bahwa orang-orang itu (di Irak, Siria dan Mesir) akan menganut Islam hingga jizyah (pajak jiwa) akan gugur dari mereka. Atau, hadits diatas adalah ramalan akan terjadinya fitnah di akhir zaman yang akan mengakibatkan tidak dipenuhinya kewajiban yang semestinya dilaksanakan, seperti zakat, jizyah dan lainnya.
Diakhir penakwilan tersebut, Nawawi berkata, "Seandainya maksud hadits tersebut benar seperti yang mereka (madzhab Hanafi) katakan, tentulah zakat emas, perak, dan perniagaan pun tidak wajib lagi, padahal tidak seorang pun yang berpendapat demikian".
3. Diriwayatkan bahwa setelah raja Dahqan Bahz memeluk Islam, Umar bin Khattab ra memerintahkan agar menyerahkan tanah kepadanya lalu memungut pajaknya. Riwayat ini secara tegas memerintahkan untuk memungut pajak, tanpa adanya perintah untuk memungut zakat.
Melalui riwayat ini hendak menyatakan bahwa kharaj tidaklah gugur dengan masuk memeluk Islam, dan hal itu tidak berarti menggugurkan kewajiban zakatnya. Disebutkannya kharaj karena mungkin memunculkan dugaan bahwa ia bisa gugur dengan memeluk Islam sebagaimana halnya jizyah.
Adapun zakat, telah dimaklumi sebagai kewajiban atas setiap muslim yang merdeka, sehingga tidak perlu disebutkan lagi. Hal ini sebagaimana tidak dicantumkannya pemungutan zakat ternak, begitupula zakat emas dan perak. Atau bisa jadi sebabnya karena para penguasa itu tidak memiliki tanaman yang mewajibkannya mengeluarkan zakat.
4. Pernyataan bahwa gubernur dan penguasa saat itu tidak memungut pajak dan zakat secara bersamaan, adalah tidak benar, karena sebagaimana diriwayatkan oleh Ibnul Mundzir, bahwasanya Umar bin Abdul Aziz memungut keduanya (zakat dan pajak) secara serentak.
5. Kharaj berbeda dari zakat, karena kharaj wajibnya berakibat pidana sementara wajibnya zakat dari segi ibadah, maka tidak mungkin keduanya akan berkumpul pada orang yang satu hingga dipikulnya dua kewajiban tersebut sekaligus.
Ini memang benar, tetapi untuk waktu permulaan saja, tidak mungkin selamanya. Tidak semua bentuk kharaj itu berdasarkan paksaan dan penaklukan, tetapi adapula yang bebas dari unsur kekerasaan, seperti halnya pada tanah yang dekat letaknya dengan tanah kharaj atau yang diusahakan dan diairi dengan air selokan.
6. Bahwa yang menjadi sebab dari masing-masing kharaj dan zakat itu hanya satu, yaitu tanah yang berkembang, baik menurut hakikat kenyataan maupun dari segi hukum. Alasannya ialah seandainya tanah itu tidak digarap dan tidak ada manfaatnya, maka tidaklah wajib padanya zakat maupun kharaj.
Jadi jika sebabnya itu satu, maka tidak mungkin kharaj dan zakat itu berhimpun serentak pada tanah yang sama, karena pada satu sebab tidak dapat dibebankan dua kewajiban yang sejenis, seperti halnya apabila seseorang memiliki ternak yang mencapai nishab untuk diperdagangkan selama satu tahun, maka tidaklah wajib ia mengeluarkan dua macama zakat (yakni zakat ternak dan zakat perdagangan).
Tidaklah benar seperti demikian karena zakat tanaman ialah pada tanaman yang tumbuh dari dalam tanah, sedangkan kharaj wajib karena tanah itu sendiri, baik ditanami atau dibiarkan. Misalkan kesatuan sebab itu diterima maka sebagaimana dikatakan oleh Kamal bin Hammam, tidak ada halangan bila sebab yang satu (tanah) timbul dua kewajiban.
Sumber: Fiqhus Sunnah juz I oleh syaikh Sayid Sabiq.
Technorati Tags:
fiqhus sunnah,
sayyid sabiq,
fikih zakat,
zakat,
tanah,
zakat tanah,
tanah kharaj,
kharaj,
pajak,
laz,
baz jabar,
baz,
amil zakat