Pertanyaan:
Harta perniagaan itu bermacam-macam. Ada yang dapat dipindah-pindahkan atau langsung dijadikan objek bisnis seperti mobil atau alat transportasi lain (yang secara khusus diperjualbelikan atau dijadikan angkutan penumpang), makanan, pakaian, dan sebagainya. Ada yang berupa sarana dan prasarana yang sifatnya tetap seperti meja tulis, mobil perusahaan (sebagai pengangkut barang-barang perusahaan), alat tulis, mesin hitung, dan alat-alat perusahaan lain yang nilainya cukup banyak. Ada yang berupa benda-benda tak bergerak seperti bangunan yang diperdagangkan (bisnis property), stand-stand dan tanah. Ada pula yang berupa piutang dengan kondisi yang bermacam-macam: satu tahun, dua tahun, hingga tanpa batas waktu. Bahkan ada istilah “piutang mati” (piutang yang tidak ada harapan untuk dibayar). Dan adapula yang berupa harta titipan.
Pertanyaan saya, bagaimana cara menzakati semua itu? Karena sebagian dari harta-harta tersebut ada yang wajib dikeluarkan zakatnya dengan persyaratan sebagaimana yang sudah diatur dalam kitab-kitab fiqih. Selain itu, mungkin ada yang memerlukan penjelasan khusus, seperti mengenai piutang beku (kredit macet).
Sebenarnya banyak pengusaha dan pemilik modal yang dengan tulus hati ingin menunaikan zakatnya –sebagai salah satu rukun Islam- dengan cara yang benar menurut syariat. Saya tahu bahwa ustadz telah menulis kitab Fiqih Zakat, karena itu sungguh tepat jika saya menanyakan masalah ini kepada Ustadz.
Jawaban Ustadz tentu sangat bermanfaat bagi saya dan kaum muslimin.
Jawaban:
-
Harta yang dapat dipindah-pindahkan atau langsung dijadikan objek bisnis seperti mobil (yang diperjualbelikan atau dijadikan angkutan penumpang) dengan segala jenisnya, dan barang-barang perdagangan oleh para fuqaha dinamakan dengan “harta perniagaan” yang diadakan untuk mencari keuntungan, merupakan harta perniagaan yang wajib dikeluarkan zakatnya.
-
Berbeda dengan barang-barang tetap seperti yang disebutkan saudara penanya pada bagian kedua yang berupa sarana dan prasarana perkantoran seperti meja tulis, mobil yang dipergunakan untuk mengangkut barang-barang perusahaan, alat tulis, mesin hitung dan sebagainya, semua ini tidak termasuk harta perniagaan. Sebab ia tidak dipersiapkan untuk diperjualbelikan, melainkan untuk alat bekerja. Mengenai hal ini para fuqaha mengatakan, “Tempat-tempat untuk menyimpan barang dagangan seperti peti, almari, atau mengukur berat seperti timbangan –yang fungsinya sangat penting- sifatnya sama dengan harta pribadi yang tidak berkembang. (Lihat Fiqhuz Zakat juz 1 hal 335-336)
Sebagian ulama lagi menjelaskan bahwa tempat untuk meletakkan barang-barang dagangan seperti botol minyak wangi, kantong karung (bagi pedagang biji-bijian) dan kekang serta pelana (bagi pedagang kuda), bila dimaksudkan untuk dijual bersama barang-barang itu, maka ia termasuk barang dagangan yang harus dihitung harganya (untuk dikeluarkan zakatnya) bersama dengan barangnya. Tetapi bila tidak dimaksudkan untuk dijual, dalam arti barangnya dijual sedangkan alatnya tidak, maka alat-alat tersebut tidak dihitung harganya (tidak dikenai zakat). Sifatnya sama dengan barang untuk keperluan pribadi. Hal ini dalam istilah perpajakan dan perdagangan disebut sebagai “al-ushul ats-tsabitah” (pokok yang tetap)
-
Adapun untuk permasalahan ketiga, mengenai barang-barang tidak bergerak seperti bangunan, stand, kios dan tanah, sayang sekali si penanya tidak menjelaskan hakikat dan tujuannya secara rinci. Apakah dia bermaksud memperdagangkan bangunan-bangunan tersebut, yakni dengan cara membeli, membangun dan kemudian menjualnya. Apakah hal ini merupakan pekerjaannya? Jika merupakan pekerjaannya yang dimaksudkan mencari keuntungan, maka bangunan itu termasuk barang perniagaan sehingga harus dihitung harganya dan dikeluarkan zakatnya sebagai zakat tijarah sebanyak 2,5% dari harganya.
Tetapi jika dia membeli atau membangun gedung itu sebagai tempat untuk melaksanakan perniagaan, maka prasarana tersebut tidak termasuk harta perdagangan yang wajib dikeluarkan zakatnya. Zakatnya ialah pada hasil yang diperolehnya dengan dikiaskan pada zakat hasil tanah pertanian.
Lantas, berapa besar zakat dari hasil usaha dengan menggunakan fasilitas tersebut? Apakah seperempat puluh (2,5%) seperti zakat uang, atau seperdua puluh (5%) seperti zakat pertanian dengan ari sendiri (disiram menggunakan alat dan sebagainya) ataukah sepersepuluh (10%) seperti pertanian tadah hujan, setelah dipotong biaya-biaya pemeliharaan dan sebagainya?
Semua itu serba mungkin, dan barangkali batasan kedua (5%) lebih bersifat pertengahan. Namun, yang pertama (2,5%) tampaknya lebih ringan dan memudahkan setiap orang disamping juga lebih dikenal.
Yang pasti, seorang muslim harus mengeluarkan zakat penghasilan dari bangunan-bangunan tersebut pada awal setiap bulan (jika penghasilan tersebut didapat setiap bulan). Setelah penghasilan itu berada di tangannya, ia segera mengeluarkan zakatnya, dan tidak usah menunggu sampai setahun. Hal ini dikiaskan pada zakat pertanian, yang wajib dikeluarkan setelah memanen dan bukan pertahun, juga didasarkan pada kemutlakan nash, sebagaimana firman Allah SWT:
“Dan tunaikanlah haknya di hari memetik hasilnya (dengan disedekahkan kepada fakir miskin)”. (QS. Al-Anam: 141)
-
Masalah piutang, terutama piutang yang kemungkinan besar akan kembali, kedudukannya sama dengan harta yang ada ditangan sendiri. Yang wajib mengeluarkan zakat ialah yang berpiutang (yang mengutangkan) karena zakat itu merupakan milik sempurna baginya. Adapun waktu zakatnya setiap tahun.
Bagaimana dengan piutang yang tidak dapat diharapkan untuk dibayar atau “piutang mati” seperti diistilahkan oleh si penanya? Misalnya piutang pada orang yang susah atau pada orang yang mengingkarinya, sementara itu orang yang berpiutang tidak memiliki tanda bukti bahwa ia mengutangkan. Piutang yang demikian tidak wajib dizakati, karena ia merupakan harta “yang tidak dapat diharapkan kembali” (mal dhimar) sebagaimana dikatakan oleh para fuqaha. Kepemilikannya terhadap harta tersebut tidak sempurna, selain juga harta tersebut tidak termasuk potensial untuk berkembang. Namun, bagaimana jika harta tersebut ternyata dikembalikan? Menurut pendapat yang paling kuat, ia (yang berpiutang) -setelah mendapatkan harta kembali- wajib segera mengeluarkan zakatnya untuk satu tahun.
5. Bagaimana dengan harta titipan?
Harta titipan tidak dikenai zakat, baik orang yang dititipi punya hak untuk mempergunakan harta tersebut ataupun tidak. Sebagai orang yang punya hak untuk mempergunakan harta tersebut ia dianggap penanggung-jawab terhadap harta itu. Namun demikian, ia tidak perlu menzakati harta tersebut karena ia disamakan kedudukannya dengan orang yang berutang dan harta tersebut bukan miliknya secara sempurna. Sebagai orang yang tidak punya hak untuk mempergunakan harta tersebut ia dianggap hanya pemegang amanat. Karena itu, ia tidak perlu mengeluarkan zakatnya. Wallahu'alam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar