JAKARTA--Bagi umat Islam, zakat adalah kewajiban yang harus ditunaikan bilamana sudah memenuhi syarat (nisab). Terlepas dari kewajiban tersebut, mengeluarkan zakat ternyata mampu membuat orang bisa menjadi lebih kaya.
Perencana Keuangan dari Safir Senduk dan Rekan, Ahmad Gozali, mengatakan, mengeluarkan zakat sama halnya dengan melatih pikiran sebagai orang kaya. Orang yang kaya adalah orang yang mampu membagi rezekinya kepada orang lain. Pikiran seperti itu, jelasnya, akan menstimulus pikiran seseorang untuk hidup bahagia karena bisa berbagi kepada orang lain.
''Apalagi kalau kita memberinya ikhlas, pasti akan merasa senang,'' ujar Gozali dalam gathering komunitas www.gajimu.com di Jakarta.
Dia melanjutkan, keadaan senang atau bahagia ternyata berbanding lurus dengan potensi mampu atau tidaknya seseorang menjadi orang kaya. Dalam sebuah survei terhadap 1.200 mahasiswa baru tentang kausalitas keadaan senang atau bahagia dengan kekayaan seseorang, Gozali menuturkan, diperoleh kesimpulan, semakin bahagia seseorang maka semakin baik tingkat kekayaannya. ''Kaya belum tentu bahagia, tapi kalau bahagia akan membuat orang bisa kaya,'' katanya.
Gozali menerangkan, dari 1.200 mahasiswa baru yang menjawab senang saat menjalani kuliah, 31 persen di antaranya terbukti memiliki gaji lebih tinggi setelah 15 tahun sampai 18 tahun kemudian. Survei serupa pernah dilakukan terhadap karyawan di 300 perusahaan berbeda di Amerika Serikat. Hasilnya, dalam 18 bulan kemudian, 30 persen dari karyawan yang menjawab bahagia saat bekerja, terbukti mempunyai gaji dan promosi lebih bagus dibandingkan mereka yang menjawab tidak bahagia.
Atas dasar survei tersebut, Gozali menyimpulkan, mengeluarkan zakat pasti akan membuat seseorang merasa senang karena sudah berhasil berbagi. ''Rasa senang inilah yang akan meningkatkan kinerja dan etos kerja, sehingga kita bisa mendapatkan penghasilan yang lebih besar. Sudah banyak orang yang merasakan manfaat dari/the power of giving dari zakat ini,'' jelasnya.
Rabu, 31 Maret 2010
Zakat Membuat Orang Makin Kaya
Harta Perniagaan yang Wajib Dizakati
Pertanyaan:
Harta perniagaan itu bermacam-macam. Ada yang dapat dipindah-pindahkan atau langsung dijadikan objek bisnis seperti mobil atau alat transportasi lain (yang secara khusus diperjualbelikan atau dijadikan angkutan penumpang), makanan, pakaian, dan sebagainya. Ada yang berupa sarana dan prasarana yang sifatnya tetap seperti meja tulis, mobil perusahaan (sebagai pengangkut barang-barang perusahaan), alat tulis, mesin hitung, dan alat-alat perusahaan lain yang nilainya cukup banyak. Ada yang berupa benda-benda tak bergerak seperti bangunan yang diperdagangkan (bisnis property), stand-stand dan tanah. Ada pula yang berupa piutang dengan kondisi yang bermacam-macam: satu tahun, dua tahun, hingga tanpa batas waktu. Bahkan ada istilah “piutang mati” (piutang yang tidak ada harapan untuk dibayar). Dan adapula yang berupa harta titipan.
Pertanyaan saya, bagaimana cara menzakati semua itu? Karena sebagian dari harta-harta tersebut ada yang wajib dikeluarkan zakatnya dengan persyaratan sebagaimana yang sudah diatur dalam kitab-kitab fiqih. Selain itu, mungkin ada yang memerlukan penjelasan khusus, seperti mengenai piutang beku (kredit macet).
Sebenarnya banyak pengusaha dan pemilik modal yang dengan tulus hati ingin menunaikan zakatnya –sebagai salah satu rukun Islam- dengan cara yang benar menurut syariat. Saya tahu bahwa ustadz telah menulis kitab Fiqih Zakat, karena itu sungguh tepat jika saya menanyakan masalah ini kepada Ustadz.
Jawaban Ustadz tentu sangat bermanfaat bagi saya dan kaum muslimin.
Jawaban:
-
Harta yang dapat dipindah-pindahkan atau langsung dijadikan objek bisnis seperti mobil (yang diperjualbelikan atau dijadikan angkutan penumpang) dengan segala jenisnya, dan barang-barang perdagangan oleh para fuqaha dinamakan dengan “harta perniagaan” yang diadakan untuk mencari keuntungan, merupakan harta perniagaan yang wajib dikeluarkan zakatnya.
-
Berbeda dengan barang-barang tetap seperti yang disebutkan saudara penanya pada bagian kedua yang berupa sarana dan prasarana perkantoran seperti meja tulis, mobil yang dipergunakan untuk mengangkut barang-barang perusahaan, alat tulis, mesin hitung dan sebagainya, semua ini tidak termasuk harta perniagaan. Sebab ia tidak dipersiapkan untuk diperjualbelikan, melainkan untuk alat bekerja. Mengenai hal ini para fuqaha mengatakan, “Tempat-tempat untuk menyimpan barang dagangan seperti peti, almari, atau mengukur berat seperti timbangan –yang fungsinya sangat penting- sifatnya sama dengan harta pribadi yang tidak berkembang. (Lihat Fiqhuz Zakat juz 1 hal 335-336)
Sebagian ulama lagi menjelaskan bahwa tempat untuk meletakkan barang-barang dagangan seperti botol minyak wangi, kantong karung (bagi pedagang biji-bijian) dan kekang serta pelana (bagi pedagang kuda), bila dimaksudkan untuk dijual bersama barang-barang itu, maka ia termasuk barang dagangan yang harus dihitung harganya (untuk dikeluarkan zakatnya) bersama dengan barangnya. Tetapi bila tidak dimaksudkan untuk dijual, dalam arti barangnya dijual sedangkan alatnya tidak, maka alat-alat tersebut tidak dihitung harganya (tidak dikenai zakat). Sifatnya sama dengan barang untuk keperluan pribadi. Hal ini dalam istilah perpajakan dan perdagangan disebut sebagai “al-ushul ats-tsabitah” (pokok yang tetap)
-
Adapun untuk permasalahan ketiga, mengenai barang-barang tidak bergerak seperti bangunan, stand, kios dan tanah, sayang sekali si penanya tidak menjelaskan hakikat dan tujuannya secara rinci. Apakah dia bermaksud memperdagangkan bangunan-bangunan tersebut, yakni dengan cara membeli, membangun dan kemudian menjualnya. Apakah hal ini merupakan pekerjaannya? Jika merupakan pekerjaannya yang dimaksudkan mencari keuntungan, maka bangunan itu termasuk barang perniagaan sehingga harus dihitung harganya dan dikeluarkan zakatnya sebagai zakat tijarah sebanyak 2,5% dari harganya.
Tetapi jika dia membeli atau membangun gedung itu sebagai tempat untuk melaksanakan perniagaan, maka prasarana tersebut tidak termasuk harta perdagangan yang wajib dikeluarkan zakatnya. Zakatnya ialah pada hasil yang diperolehnya dengan dikiaskan pada zakat hasil tanah pertanian.
Lantas, berapa besar zakat dari hasil usaha dengan menggunakan fasilitas tersebut? Apakah seperempat puluh (2,5%) seperti zakat uang, atau seperdua puluh (5%) seperti zakat pertanian dengan ari sendiri (disiram menggunakan alat dan sebagainya) ataukah sepersepuluh (10%) seperti pertanian tadah hujan, setelah dipotong biaya-biaya pemeliharaan dan sebagainya?
Semua itu serba mungkin, dan barangkali batasan kedua (5%) lebih bersifat pertengahan. Namun, yang pertama (2,5%) tampaknya lebih ringan dan memudahkan setiap orang disamping juga lebih dikenal.
Yang pasti, seorang muslim harus mengeluarkan zakat penghasilan dari bangunan-bangunan tersebut pada awal setiap bulan (jika penghasilan tersebut didapat setiap bulan). Setelah penghasilan itu berada di tangannya, ia segera mengeluarkan zakatnya, dan tidak usah menunggu sampai setahun. Hal ini dikiaskan pada zakat pertanian, yang wajib dikeluarkan setelah memanen dan bukan pertahun, juga didasarkan pada kemutlakan nash, sebagaimana firman Allah SWT:
“Dan tunaikanlah haknya di hari memetik hasilnya (dengan disedekahkan kepada fakir miskin)”. (QS. Al-Anam: 141)
-
Masalah piutang, terutama piutang yang kemungkinan besar akan kembali, kedudukannya sama dengan harta yang ada ditangan sendiri. Yang wajib mengeluarkan zakat ialah yang berpiutang (yang mengutangkan) karena zakat itu merupakan milik sempurna baginya. Adapun waktu zakatnya setiap tahun.
Bagaimana dengan piutang yang tidak dapat diharapkan untuk dibayar atau “piutang mati” seperti diistilahkan oleh si penanya? Misalnya piutang pada orang yang susah atau pada orang yang mengingkarinya, sementara itu orang yang berpiutang tidak memiliki tanda bukti bahwa ia mengutangkan. Piutang yang demikian tidak wajib dizakati, karena ia merupakan harta “yang tidak dapat diharapkan kembali” (mal dhimar) sebagaimana dikatakan oleh para fuqaha. Kepemilikannya terhadap harta tersebut tidak sempurna, selain juga harta tersebut tidak termasuk potensial untuk berkembang. Namun, bagaimana jika harta tersebut ternyata dikembalikan? Menurut pendapat yang paling kuat, ia (yang berpiutang) -setelah mendapatkan harta kembali- wajib segera mengeluarkan zakatnya untuk satu tahun.
5. Bagaimana dengan harta titipan?
Harta titipan tidak dikenai zakat, baik orang yang dititipi punya hak untuk mempergunakan harta tersebut ataupun tidak. Sebagai orang yang punya hak untuk mempergunakan harta tersebut ia dianggap penanggung-jawab terhadap harta itu. Namun demikian, ia tidak perlu menzakati harta tersebut karena ia disamakan kedudukannya dengan orang yang berutang dan harta tersebut bukan miliknya secara sempurna. Sebagai orang yang tidak punya hak untuk mempergunakan harta tersebut ia dianggap hanya pemegang amanat. Karena itu, ia tidak perlu mengeluarkan zakatnya. Wallahu'alam.
Zakat Pemupus Kesenjangan dan Perekat Hubungan Kaya dan Miskin
Kaya dan miskin adalah sunnatullah atas anak manusia. Itulah romantika kehidupan, agar masing-masing saling membutuhkan dan dengannya akan berjalan kehidupan di alam semesta ini. Bayangkan seandainya semua orang kaya, lantas siapakah yang akan menjadi pekerja. Juga seandainya semua orang miskin, siapakah yang akan mengupah? Itulah salah satu hikmah agung dari Allah SWT diperuntukkan bagi semua ciptaanNya.
Namun apabila perbedaan sosial tersebut tidak dikendalikan dan diarahkan pada kebaikan, niscaya yang terjadi adalah petaka. Betapa banyak orang kaya bertindak semena-mena terhadap orang tak punya. Kondisi semacam ini membawa dampak bagi orang miskin, yaitu mereka merasa iri dan terdzalimi sehingga akhirnya mereka melakukan tindakan kriminal.
Oleh karenanya memandang adanya sisi kemaslahatan lainnya, Allah SWT mensyariatkan untuk menunaikan zakat bagi orang yang memiliki harta dengan syarat-syarat tertentu dimaksudkan untuk menyucikan hartanya, membersihkan jiwanya, membuat kekayaannya lebih berolah barakah, membantu orang fakir serta memupus kesenjangan sosial diantara mereka.
Perlu diketahui bahwa zakat sebagaimana dimaksud diatas harus didasarkan atas patokan syar’i yang jelas, jangan hanya karena alasan maslahat si fakir akhirnya mendzalimi pemilik harta sehingga mewajibkan mereka membayar zakat atas semua harta yang dimiliki meskipun belum memenuhi syarat. Atau mungkin mewajibkan zakat pada harta yang seharusnya tidak diwajibkan secara syar’i. Demikian juga sebaliknya, jangan hanya karena berusaha menjaga hak kekayaan pemilik harta, banyak harta yang seharusnya dikeluarkan zakat atasnya namun tidak dikeluarkan.
Tempuhlah jalan pertengahan dengan berpatokan dasar pada al-Quran dan as-Sunnah sesuai dengan apa yang difahami oleh para salah sholih tanpa ghuluw (berlebih-lebihan) maupun sembrono.
Semoga Allah SWT membimbing seluruh kaum muslimin pada jalan yang diridhaiNya.
Dikutip dari majalan al-Furqon, edisi khusus tahun ke-9 (1430/2009) hal 1.
Selasa, 30 Maret 2010
Pertanyaan untuk Tuan Presiden
Indonesia yang malang! Setiap orang berebut untuk mengambil keuntungan. Selagi sempat, selagi luang dan punya jabatan. Kalau dulu ada istilah Indonesia for Sale, lalu seiring waktu sebutan berubah,Indonesia for Steal dan saya percaya hari ini sudah berubah lagi menjadi Indonesia for Grab. Setelah Indonesia untuk dijual, laluIndonesia untuk dicuri, kini Indonesia untuk dirampas, dibawa lari, dan menghilang.
Pertanyaan saya untuk Tuan Presiden, apakah Anda bisa tidur di malam hari? Memikirkan semua yang terjadi. Ada pegawai Anda, yang hanya golongan III, mampu mengumpulkan uang selama bertahun-tahun, berpuluh milyar jumlahnya, untuk memperkaya diri dan keluarga. Apakah Anda bisa tidur?
Itu hanya golongan III, Tuan Presiden. Saya tidak ingin berburuk sangka, karena memang sejak kecil kami diajari untuk berbaik sangka. Tapi, untuk kali ini saya terpaksa bertanya, apakah Anda bisa tidur Tuan Presiden, memikirkan golongan-golongan lain yang lebih tinggi dari golongan III. Apakah mereka lebih kaya dari Gayus Tambunan? Ataukah mereka lebih jujur dari Gayus Tambunan?
Sekali lagi, Tuan Presiden. Apakah Anda bisa tidur memikirkan siapa-siapa orang-orang yang mengeliling Anda, bekerja bersama Anda, dan membantu Anda? Kalau Anda bisa tidur, syukurlah. Karena seharusnya Anda tidak bisa tidur dengan itu semua!
Saya punya kisah untuk Anda, Tuan Presiden yang mulia. Dulu sekali, dalam sejarah ada seorang raja bernama Umar bin Abdul Aziz. Ini bukan hanya sekadar kisah, tapi ini contoh dan peristiwa yang pernah terjadi sesungguhnya. Dia, Umar bin Abdul Aziz, memerintah hanya sebentar saja. Pada saat diangkat sumpah, dia berjanji, ”Demi Allah aku akan menegakkan keadilan di bumi ini meski usia jabatanku hanya tiga hari saja.”
Dan betul, dia tidak lama, meski juga tidak tiga hari. Kurang lebih ia berkuasa hampir tiga tahun. Tapi yang pasti, dia sungguh-sungguh menegakkan keadilan. Saya ingin mengingatkan, Tuan Presiden, kini Anda sudah berkuasa untuk penggal lima tahun yang kedua.
Masa kepemimpinan yang diwarisinya, bukan situasi nyaman dan penuh suka cita. Dia mewarisi suasana yang tak kalah chaotic dengan situasi yang Anda alami saat ini, Tuan Presiden. Tapi dia bersungguh-sungguh dengan sumpah dan janji yang diucapkannya, ”Aku akan menegakkan keadilan di muka bumi, meski usia jabatanku hanya tiga hari.”
Dia meminta istrinya untuk menyerahkan seluruh harta pribadi yang dimiliki. Dia mematikan lampu pada saat berbincang dengan sanak keluarga, karena minyak yang dipakai milik negara. Dia memikul sendiri bantuan-bantuan yang diberikan, untuk teladan sempurna. Itu kisah yang sudah biasa kita dengar tentang Presiden Umar bin Abdul Aziz.
Yang tidak sering kita dengar, Tuan Presiden, Umar bin Abdul Aziz menebus janjinya sendiri dengan satu-satunya nyawa yang dia punya. Dia jarang tidur untuk memikirkan negara dan rakyatnya. Bahkan ketika dia sedang penat berat, dan hendak terlelap. Pernah suatu ketika, seorang anaknya mengadukan urusan negara pada Umar bin Abdul Aziz. Lalu kata sang presiden, ia meminta anaknya menemuinya lagi setelah ia istirahat sebentar. Lalu sang anak menjawab, ”Siapa yang menjaminmu akan bangun dan hidup untuk menyelesaikan masalah ini?!”
Anda tahu Tuan Presiden? Umar bin Abdul Aziz begitu terpukul dengan kalimat ini. Dia merasa, lalai dan tak tahu diri. Siapa dia yang merasa yakin akan bangun dan masih bernyawa!
Daerah kekuasaannya membentang luas, dari seluruh jazirah Arabia, Syam ( Palestina, Yordania, Syria ), Persia ( Iran, Irak dan sekitarnya ), Afrika Utara, seluruh semenanjung Iberia ( Spanyol dan Portugal) bahkan hingga ke Sisilia (kepulauan di Laut Tengah,sekarang milik Italia).
Kekuasaan Anda juga sangat luas, Tuan Presiden. Seluruh pulau di Indonesia, lebih dari 16 ribu jumlahnya. Membentang panjang dengan hampir 300 juta penduduknya. Jadi pertanyaan saya, apakah Anda masih bisa tidur Tuan Presiden?
Umar bin Abdul Aziz, duduk sebagai Amirul Mukminin hanya dalam kurun waktu 2 tahun, 5 bulan, dan 5 hari. Ia menjadi pemimpin pada saat usianya 36 tahun. Usia puncak bagi seorang manusia. Sehat, bertenaga, kuat, bersemangat.
Dalam kurun waktu 2 tahun, 5 bulan, dan 5 hari itu, dia berhasil membuat perubahan besar dalam tata pemerintahan. Tidak ada lagi kemiskinan, Tuan Presiden. Tidak ada lagi orang yang layak menerima zakat. Bahkan harta zakat bertumpuk menggunung, malah perlu diiklankan untuk siapa saja yang mau menerima, semisal seorang pemuda yang tak mampu menikah akan dinikahkan oleh negara.
Pada masa pemerintahannya, sumur-sumur diperbaiki, lahan-lahan mati dihidupkan kembali, tanah sangat produktif, masjid-masjid juga disemarakkan oleh berbagai rencana dan rancangan kehidupan.
Saya juga yakin, Tuan Presiden, Anda melakukannya juga. Saya yakin, tentang jenisnya, tapi saya tidak yakin tentang ukuran dan intensitasnya. Karena itu, pertanyaan saya adalah, masih bisakah Anda tidur, Tuan Presiden?
Umar bin Abdul Aziz, meninggal dalam usia muda, Tuan Presiden. Di akhir usianya, dia sakit-sakitan. Badannya dulu yang muda dan gagah ketika naik tahta, menjadi kurus, kering dan hampir tak bertenaga. Dan itulah yang dia tebus dalam rangka menegakkan keadilan, mensejahterahkan rakyat, memakmurkan negeri dan memuliakan kemanusiaan.
Banyak orang yang lupa mengkajinya, Tuan Presiden. Bahwa Umar bin Abdul Aziz menderita kesakitan yang luar biasa hebat sebagai tebusan kemakmuran dan kemuliaan atas tanah dan manusia yang dipimpinnya. Dia telah memberikan seluruh nyawanya untuk memimpin negara. Dia memberikan seluruh raganya untuk memimpin negara. Dia memberikan seluruh tenaganya untuk memimpin negara. Dia memberikan seluruh kemampuannya untuk memimpin negara. Bahkan dia telah menukar waktunya untuk istirahat demi memimpin negara. Karena itu semua, namanya masih kita bicarakan ratusan tahun setelah dia dikuburkan. Terima kasih, Tuan Presiden, mudah-mudahan Anda membaca tulisan pendek ini sebagai tanda rindu pada pemimpin yang tidak dikelilingi Gayus-gayus dengan beribu wajah!
Kamis, 25 Maret 2010
Kemenag Harapkan Revisi UU Zakat Integrasikan Pengelolaan
JAKARTA--Kementerian Agama (Kemenag) mengharapkan revisi UU No 38 tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat yang diajukan oleh DPR lebih mengarah pada perbaikan kelembagaan zakat dan penataan terintegrasi di bawah koordinasi dan pengawasan pemerintah. "Masih perlu disempurnakan masalah kelembagaan antara Baznas (Badan Amil Zakat Nasional), Bazda (Badan Amil Zakat Daerah), unit-unit pengumpul zakat (UPZ) dan perlu ada kesatuan dengan pemerintah," kata Sekjen Kementerian Agama Bahrul Hayat seusai membuka Rapat Koordinasi Nasional Baznas-Bazda di Jakarta, Rabu malam.
Selama ini, lanjut dia, hubungan antara berbagai kelembagaan zakat belum tertata, ada yang di bawah koordinasi Baznas, ada pula yang mandiri dalam mengumpulkan dan menyalurkan zakat.
"Banyak lembaga amil zakat yang bekerja sendiri-sendiri dan tersebar, sehingga potensi dan target zakat tidak terpetakan secara nasional, juga bisa terjadi tumpang-tindih atau ketidakmerataan penerima zakat," katanya.
Menurut dia, berbagai lembaga zakat tersebut seharusnya terintegrasi dan bersama dengan pemerintah mengelola zakat yang sejak awal memang bertujuan untuk mengatasi kemiskinan dan meningkatkan kesejahteraan bangsa. Di samping itu, lanjut dia, masih ada kemandekan kreativitas dan inovasi dalam pengelolaan zakat karena keterbatasan sumber daya manusia di berbagai lembaga amil zakat.
Pemerintah, ujarnya, masih menunggu selesainya draf revisi UU yang merupakan inisiatif DPR itu. Ia juga berpesan, bahwa organisasi pengelola zakat haruslah menempatkan pola penanganan yang bersifat perlindungan kemanusiaan sekaligus pemberdayaan bagi para mustahiq (penerima zakat), jadi tidak memperlakukan mustahiq sebagai pemohon tetapi sebagai penerima hak.
Soal sanksi bagi mereka yang wajib berzakat namun tidak mengeluarkannya, ia mengatakan, hal itu masih dirumuskan di DPR. "Saya lebih menekankan insentif untuk mendorong, misalnya zakat adalah suatu yang bisa mengurangi pajak," kata dia. Pihaknya, saat ini sedang menyiapkan naskah manual untuk pedoman bagi operasional Baznas dan Bazda.
Sementara itu Ketua Umum Baznas, Didin Hafiduddin mengatakan, sampai Desember 2009 zakat yang terkumpul sudah mendekati target yakni Rp1,122 triliun. Sedangkan penyalurannya, ujar dia, dibagi dalam lima program pendayagunaan.
Jumat, 19 Maret 2010
SIMBAZ: Prestasi BAZ Jabar yang Diabaikan
Ada satu pertanyaan mengemuka, tidak adakah prestasi Badan Amil Zakat Jawa Barat (BAZ Jabar) yang pantas untuk dibanggakan dan diberitakan dalam Zakat Watch ini? Tentu saja ada. Salah satunya adalah Sistem Informasi Manajemen Badan Amil Zakat (SIMBAZ). Ini merupakan sebuah software pengelolaan zakat terpadu, mulai dari penghitungan zakat, penerimaan hingga output berupa laporan keuangan bulanan hingga neraca keuangan. Bahkan, SIMBAZ pun bisa menjadi database yang diharapkan menjadi dasar pengelolaan zakat, khususnya dalam perencanaan seluruh kegiatan pengelolaan zakat. Disamping kelengkapan fungsinya, software ini pun sangat mudah digunakan.
SIMBAZ ini disusun sekitar tahun 2003-an oleh empat anak muda yang berkhidmat di BAZ Jabar. Direncanakan bisa rampung dalam 2 tahun, namun kerja spartan para pemuda ini bisa melaunching software ini dalam tempo 6 bulan walau masih dalam versi betanya. Sekalipun versi beta, software ini sudah bisa digunakan sebagaimana yang diharapkan, tanpa mengalami banyak masalah berarti. Dan istimewanya, sekalipun dibuat pada tahun 2003-an, SIMBAZ sesungguhnya masih bisa memenuhi kebutuhan para pengelola zakat sebagai sistem informasi manajemennya.
Sayangnya, prestasi ini seolah diabaikan begitu saja oleh para pengurus BAZ Jabar saat ini. Sekalipun pada awalnya seolah nampak serius hendak membangun sistem TI yang handal dalam pengelolaan zakat dan jaringannya di Jawa Barat, namun berbagai pelatihan dan workshop menyangkut masalah TI ini, lebih cenderung bersifat seremonial dan formalitas. Sedangkan SIMBAZ ataupun software SIM Zakat lainnya, hingga saat ini belum diaplikasikan dalam pengelolaan zakat. Sempat tersiar pula bahwa BAZ Jabar hendak mensosialisasikan SIMBAZ ini ke seluruh BAZ Kabupaten dan Kota yang ada di Jawa Barat, dimana software tersebut akan diberikan secara cuma-cuma sebagai bagian dari strategi pengelolaan zakat yang berbasis TI. Namun, seiring waktu, kabar itu pun lenyap begitu saja.
Diabaikannya SIMBAZ sebagai software yang handal untuk mengelola zakat ini, bisa jadi akibat "ketidaktahuan" betapa mahalnya biaya untuk menyusun program semacam ini jika diserahkan kepada pihak luar. Ironisnya, sikap (sebagian) pengurus BAZ Jabar dengan angkuhnya menganggap SIMBAZ adalah hak milik BAZ Jabar karena para programer yang merancang siang malam software tersebut, sudah diberi honor (gaji) dan menggunakan fasilitas BAZ Jabar. Lebih menyakitkan lagi, disebar tuduhan bahwa anak-anak muda itu (bagian TI BAZ Jabar) telah menggunakan dana operasional BAZ Jabar hingga ratusan juta rupiah.
Bagaimanapun, sikap pengurus BAZ Jabar atas prestasinya sendiri memang patut disayangkan. Sedangkan anak-anak muda yang merancang software itu ternyata jauh lebih dihargai diluar BAZ Jabar. Kini mereka berkiprah di perusahaan-perusahaan besar terkemuka seperti Telkom, Fujitsu dan menjadi penanggung-jawab pengembangan TI di sebuah instansi pemerintah. Ini adalah sebuah kehilangan bagi BAZ Jabar, yang tidak bisa dinilai dengan uang...
Kamis, 11 Maret 2010
Orientasi Pembangunan Ekonomi Publik
Kewajiban sistem zakat secara tersendiri sudah memberikan indikasi yang cukup untuk menjawab pertanyaan “ke arah mana” pembangunan ekonomi publik dalam Islam. Nature sistem zakat baik pada pengumpulan maupun pendistribusiannya menjadi inspirasi utama pembangunan ekonomi publik. Sistem zakat menempatkan golongan masyarakat dhuafa dan mereka yang tidak memiliki kapasitas untuk aktif dalam ekonomi menjadi titik sentral pembangunan ekonomi publik.
Secara umum ekonomi publik Islam bertujuan meng-cover kelompok masyarakat yang paling rentan untuk lalai terhadap tujuan pembangunan manusia/ekonomi, yaitu penghambaan kepada Tuhan yang Maha Agung. Kelompok masyarakat yang lemah secara ekonomi akan banyak memiliki alasan untuk lalai melakukan kewajibannya kepada Tuhan. Oleh sebab itu, ekonomi publik Islam menjadi buffer instruments paling akhir untuk menjaga ekonomi barada di atas rel pembangunan ekonomi yang benar.
Misi pembangunan ekonomi publik mengacu pada misi atau tujuan ekonomi Islam, yaitu tujuan Islam itu sendiri; mengembalikan atau menjaga manusia pada fungsi kemanusiaannya. Apa itu? Beribadah kepada Allah SWT. Sesuai dengan berita Tuhan dalam Qur’an, bahwa tidak diciptakan jin dan manusia kecuali untuk beribadah. Dalam paradigma dasar inilah kerangka berfikir ekonomi publik membangun. Sehingga hakikat ekonomi publik sebenarnya adalah pembebasan manusia dari ketidakberdayaan pada kondisi untuk tidak beribadah.
Urgensi paradigma atau kerangka fikir ini tergambar pada krusial dan sentralnya peran zakat sebagai instrumen utama ekonomi. Pentingnya zakat dalam ekonomi itu seperti pentingnya shalat dalam beribadah.
Selanjutnya secara fisik ekonomi, keberadaan instrumen ekonomi publik bukan hanya meningkatkan tingkat keterlibatan ekonomi masyarakat dhuafa, tetapi secara kualitas, instrumen tersebut mendorong tingkat kesadaran masyarakat dalam beribadah. Kendala ekonomi yang kerap menjadi alasan utama dari kelalaian ibadah sepatutnya dapat diselesaikan oleh ekonomi publik. Oleh sebab itu, pada tingkat tertentu keberhasilan ekonomi publik dapat terlihat pada dua variabel ini; yaitu tingkat keterlibatan ekonomi masyarakat dan tingkat kesadaran beribadah. (abiaqsa.blogspot)
Rabu, 10 Maret 2010
Kesimpulan tentang Zakat Pertanian
Berikut ini adalah beberapa kesimpulan sekaligus penutup dari penjelasan tentang zakat pertanian:
- Zakat pertanian adalah tsabit (tetap) hukumnya dengan al-Qur'an, al-hadits dan ijma'.
- Yang wajib dizakati dari tanaman adalah biji-bijian dan buah yang bisa disimpan.
- Syarat wajibnya zakat untuk tanaman dan buah-buahan adalah tatkala sudah mencapai nishab, dan nishabnya adalah 5 wasaq dan 1 wasaq sama dengan 60 sha'.
- Penunaian zakat pertanian dilakukan pada saat memanennya.
- Besarnya zakat pertanian tergantung pengairannya, jika diairi tanpa alat misalnya dengan hujan atau diairi dengan mengalirkan air dari mata air ataupun dialiri dari air sungai tanpa memerlukan biaya adalah sepersepuluh dari hasil panen (10%) yang telah mencapai nishab. Dan apabila buah-buahan atau biji-bijian itu diairi dengan menggunakan alat seperti timba, pompa air, diesel ataupun memerlukan biaya maka zakatnya adalah seperdua puluh dari hasil panen (5%).
- Hutang tidaklah menghalangi wajibnya zakat biji-bijian, dan buah-buahan.
- Zakat tanaman dikeluarkan zakatnya kalau sudah mencapai nishab dengan tidak memandang kepada biaya operasional yang dikeluarkan.
- Untuk tanah yang disewakan maka zakat tanaman dibebankan atas penanamnya (yaitu penyewa tanah) dan bukan atas pemilik tanah.
- Antara varietas-varietas tanaman yang sejenis digabungkan satu dengan yang lainnya hingga mencapai nishab. Adapun jika berbeda jenisnya seperti antara padi dan jagung, maka tidak digabungkan satu dengan yang lainnya.
Akhirnya semoga Allah SWT selalu memberikan taufiq kepada kita semua untuk memahami agamanya dan mengamalkannya. Amin.
Sumber: Zakat Pertanian oleh Arif Fathul Ulum bin Ahmad Saifullah, majalah al-Furqon edisi khusus tahun ke-9 Ramadhan/Syawal 1430 hal 22.
Selasa, 09 Maret 2010
Pemilik Tanaman Menjual Tanamannya Sebelum Panen
Al-Imam Ibnu Qudamah menukil perkataan al-Qadhi di dalam al-Mughni 4/172, "Berdasarkan pendapat bahwa wajibnya zakat atas pemilik tanaman pada waktu panen, maka zakat tersebut wajib atas pembeli, karena wajibnya zakat tersebut berhubungan dengan tanaman yang sudah menjadi milik pembeli, maka zakat tanaman tersebut atas pembeli".
Sumber: Zakat Pertanian oleh Arif Fathul Ulum bin Ahmad Saifullah, majalah al-Furqon edisi khusus tahun ke-9 Ramadhan/Syawal 1430 hal 22.
Senin, 08 Maret 2010
Masalah Penggabungan dalam Zakat Pertanian
Al-Imam Ibnu Qudamah berkata, "Tidak ada khilaf (perselisihan) diantara para ulama bahwa antara varietas-varietas tanaman (yang sejenis) digabungkan satu dengan yang lainnya hingga mencapai nishab". (al-Mughni 4/204)
Maka semua jenis (varietas) kurma digabung menjadi satu, jika mencapai nishab maka dizakati dari kurma yang kualitasnya pertengahan sebagaimana dikatakan oleh Malik dan asy-Syafi'i. (Lihat al-Mughni 4/181)
Semua jenis padi digabung menjadi satu. Jika mencapai nishab maka dizakati dari padi yang kualitasnya pertengahan. Semua jenis jagung digabung menjadi satu. Jika mencapai nishab maka dizakati dari jagung yang kualitasnya pertengahan. Semua jenis kacang digabung menjadi satu. Jika mencapai nishab maka dizakati dari kacang yang kualitasnya pertengahan.
Adapun jika berbeda jenisnya seperti antara padi dan gabung maka yang rajih (pendapat yang kuat) adalah tidak digabungkan satu dengan yang lainnya. Jika masing-masing dari kedua jenis tersebut tidak mencapai nishab maka tidak terkena kewajiban zakat. Ini adalah pendapat Atha', Makhul, Ibnu Abi Laila, al-Auza'i, ats-Tsauri, al-Hasan bin Shalih, Syarik, asy-Syafi'i. salah satu riwayat satu riwayat dari Ahmad, Abu Ubaid, Abu Tsaur dan Ashabur Ra'yi. (Lihat al-Mughni 4:204)
Sumber: Zakat Pertanian oleh Arif Fathul Ulum bin Ahmad Saifullah, majalah al-Furqon edisi khusus tahun ke-9 Ramadhan/Syawal 1430 hal 22.
Minggu, 07 Maret 2010
Pemilik Tanaman Membeli Lagi Zakat Tanamannya dari Penerima Zakat
Syaikh Abdullah bin Abdurrahman al-Bassam berkata dalam Taudhihul Ahkam 3/58, "Diharamkan atas muzakki (orang yang menunaikan zakat) membeli zakatnya atau shadaqahnya, pembelian tersebut tidak sah jika dia membelinya sesudah dia menyerahkan zakat tersebut walaupun secara tidak langsung dari penerimanya, berdasarkan hadits Umar bahwasanya dia berkata: "Aku menyerahkan sebuah kuda untuk jihad dan aku ingin membelinya, maka Nabi SAW bersabda: "Janganlah engkau membelinya dan janganlah engkau kembali pada shadaqahmu karena sesungguhnya orang yang kembali pada shadaqahnya seperti anjing yang kembali memakan muntahannya". (HR Muslim 3/1239)
Sumber: Zakat Pertanian oleh Arif Fathul Ulum bin Ahmad Saifullah, majalah al-Furqon edisi khusus tahun ke-9 Ramadhan/Syawal 1430 hal 22.
Sabtu, 06 Maret 2010
Tanah yang Disewa unuk Ditanami Siapakah yang Membayar Zakatnya?
Pendapat yang rajih (kuat) bahwa zakat tanaman dibebankan atas penanamnya (yaitu penyewa tanah) dan bukan atas pemilik tanah.
Al-Imam Ibnu Qudamah berkata, "Orang yang menyewa tanah untuk ditanami, maka kewajiban zakat sepersepuluhnya atas penyewa dan bukan atas pemilik tanah. Ini adalah pendapat Malik, ats-Tsauri, Syarik, asy-Syafi'i, dan Ibnul Mundzir". (al-Mughni 4/201)
Adapun pemilik tanah maka dia mengeluarkan zakat dari uang sewa tanahnya jika telah mencapai nishab dan telah berlalu waktu setahun sejak akad sewa menyewa. (Fatwa Lajnah Daimah no 9388)
Sumber: Zakat Pertanian oleh Arif Fathul Ulum bin Ahmad Saifullah, majalah al-Furqon edisi khusus tahun ke-9 Ramadhan/Syawal 1430 hal 21-22.
Jumat, 05 Maret 2010
Apakah Biaya Operasional Diperhitungkan di Dalam Hasil Panen
Pada sistem pertanian saat ini, biaya tidak sekedar air, akan tetapi ada biaya lain seperti pupuk, insektisida, upah pekerja, dan lain-lain. Apakah zakat tanaman tersebut dikeluarkan sesudah dikurangi biaya-biaya operasional tersebut ataukah sebelum dikurangi dengan biaya-biaya operasional tersebut?
Jawabannya bahwa zakat tanaman tersebut dikeluarkan bila sudah mencapai nishab dengan tidak memandang kepada biaya operasional yang dikeluarkan. Jadi dikeluarkan sebelum dikurangi dengan biaya-biaya operasional tersebut. Karena Nabi SAW tidak memerintahkan para petugas pengambil zakat untuk menaksir yang keluar dari hasil panen kemudian menghitung zakatnya tanpa menanyakan pemiliki harta berapakah biaya operasional yang telah dia pakai untuk menanamnya. (Lihat Fatwa Lajnah Daimah no 4499)
Sumber: Zakat Pertanian oleh Arif Fathul Ulum bin Ahmad Saifullah, majalah al-Furqon edisi khusus tahun ke-9 Ramadhan/Syawal 1430 hal 21.
Kamis, 04 Maret 2010
Waktu Penunaian Zakat Pertanian
Penunaian zakat pertanian dilakukan pada saat memanennya, berdasarkan firman Allah:
"Dan tunaikanlah haknya pada hari memetik hasilnya (dengan dikeluarkan zakatnya)". (QS. al-An'am: 141)
Al-Imam al-Qurthubi berkata, "Para ulama berselisih tentang waktu wajibnya zakat atas tanaman menjadi tiga pendapat:
- Pendapat pertama pada waktu memetiknya, ini adalah pendapat Muhammad bin Maslamah berdasarkan firman Allah "pada hari memetik hasilnya".
- Pendapat kedua ketika sudah layak dikonsumsi.
- Pendapat ketiga sesudah ditaksir berapa yang keluar.
Dan yang benar adalah pendapat pertama yang berdasarkan nash ayat". (Al-Jami li Ahkamil Qur'an 7/104)
Pada saat hasil panennya terkumpul hendaklah dihitung apabila telah mencapai nishab maka zakat menjadi wajib ditunaikan. Dan apabila belum mencapai nishab maka tidak ada zakat bagi hasil panen tersebut. Penunaian zakat tidak perlu menunggu waktu satu tahun (haul) karena apa yang keluar dari bumi termasuk pengecualian dan tidak diperlukan haul.
Berkata syaikh Abdullah al-Bassam, "Dan untuk kewajiban zakat syaratnya pertama adalah beragama Islam, tidak wajib zakat atas orang kafir. Sesungguhnya (orang muslim) akan ditanya tentang zakat dan akan diazab bagi orang yang meninggalkannya. Kedua adalah mencapai nishab. Syarat ketiga adalah berlangsung selama satu tahun (haul), kecuali dari apa yang keluar dari bumi (tanaman), haulnya adalah pada waktu memanennya". (Taisirul 'Alam 2/383)
Syaikh Abdul Azim al-Badawi dalam al-Wajiz hal 212 menjelaskan, "Zakat wajib bagi setiap muslim yang merdeka (bukan budak), yang memiliki harta mencapai nishab, dan jika sudah berjalan haulnya selama satu tahun dari harta yang dimiliki tersebut, kecuali tanaman (hasil pertanian) maka sesungguhnya zakatnya wajib ditunaikan pada saat memanennya jika mencapai nishab. Berdasarkan firman Allah SWT, "Dan tunaikanlah haknya pada hari memetik hasilnya (dengan dikeluarkan zakatnya)". (QS. al-An'am: 141)
Ibnul Qayyim menjelaskan hikmah disyariatkan zakat hanya sekali dalam satu tahun, dan zakat tanaman pada saat memanennya saja dengan mengatakan, "Sesungguhnya Rasulullah SAW mewajibkan zakat sekali setiap tahun, dan menjadikan haul tanaman dan buah-buahan ketika sempurnanya dan masak/tuanya. Ini lebih adil keadaannya, jika kewajibannya setiap bulan atau setiap hari Jum'at maka akan memudharatkan pemilik-pemilik harta". (Zaadul Ma'ad 2/5)
Sumber: Zakat Pertanian oleh Arif Fathul Ulum bin Ahmad Saifullah, majalah al-Furqon edisi khusus tahun ke-9 Ramadhan/Syawal 1430 hal 20-21.
Rabu, 03 Maret 2010
Besarnya Zakat Pertanian yang Wajib Dikeluarkan
Besarnya zakat pertanian tergantung pengairannya, jika diairi tanpa alat misalnya dengan hujan atau dialiri air sungai tanpa memerlukan biaya adalah sepersepuluh dari hasil panen (10%) yang telah mencapai nishab. Jadi zakat buah-buahan dan biji-bijian itu adalah setengah wasaq. Dan apabila buah-buahan atau biji-bijian itu diairi dengan menggunakan alat seperti pompa air, diesel ataupun memerlukan biaya, maka zakatnya adalah seperduapuluh dari hasil panen (5%) yang telah mencapai nishab atau untuk 5 wasaq berarti seperempat wasaq.
Dalilnya adalah hadits yang diriwayatkan dari Jabir ra dari Rasulullah SAW bersabda, "Pada yang diairi dari sungai dan mendung (hujan) adalah sepersepuluh dan pada yang diairi dengan alat adalah seperdua puluh". (HR Muslim 2/675/981)
Nabi SAW bersabda, "Pada yang diairi langit, mata air atau yang minum dari akar-akarnya adalah sepersepuluh, dan pada yang diairi dengan tenaga manusia ialah seperduapuluh". (HR al-Bukhari 3/347/1483)
Imam Ibnu Qudamah berkata, "Sepersepuluh diwajibkan pada tanaman yang pengairannya tanpa dengan biaya, seperti yang mengambil air dari air hujan dan sungai... dan seperdua puluh pada tanaman yang pengairannya dengan biaya, seperti dengan timba dan onta untuk mengairi. Kami tidak mengetahui adanya khilaf di dalam hal ini. Dan ini adalah pendapat dari Malik, ats-Tsauri, asy-Syafi'i dan yang lainnya". (al-Mughni 4/164)
Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin berkata, "Hikmah hal itu adalah banyaknya biaya yang dikeluarkan untuk tanaman yang pengairannya dengan biaya, dan sedikitnya biaya yang dikeluarkan untuk tanaman yang pengairannya tanpa biaya, maka Pembuat Syariat memperhatikan biaya ini sehingga meringankan zakat tanaman yang pengairannya dengan biaya". (Syarhul Mumti' ala Zadil Mustaqni jilid 6 dari www.attasmeem.com)
Jika di dalam proses penanaman tidak sama pengairannya, seperti jika setengah tahun pengairannya tanpa biaya kemudian setengah tahun berikutnya dengan biaya, maka dalam hal ini zakatnya adalah tiga perempat dari sepersepuluhnya (7,5%). Al-Imam Ibnu Qudamah berkata, "Ini adalah pendapat Malik, asy-Syafi'i, dan Ashabur Ra'yi dan kami tidak mengetahui orang yang menyelisihi di dalam hal ini". (Al-Mughni 4/166)
Sumber: Zakat Pertanian oleh Arif Fathul Ulum bin Ahmad Saifullah, majalah al-Furqon edisi khusus tahun ke-9 Ramadhan/Syawal 1430 hal 20.
Selasa, 02 Maret 2010
Nishab Tanaman dan Buah-Buahan yang Wajib Dizakati
Syarat wajibnya zakat untuk tanaman dan buah-buah adalah tatkal sudah mencapai nishab, dan nishabnya adalah 5 wasaq sebagaimana disebutkan dalam hadits Abu Said al-Khudri ra, bahwasanya Rasulullah SAW bersabda:
"Tidak ada zakat pada biji-bijian dan kurma hingga mencapai 5 wasaq". (HR Muslim 2/674)
Imam Ibnu Qudamah berkata , "Sesungguhnya zakat tidaklah wajib pada buah-buahan dan tanam-tanaman hingga mencapai 5 wasaq. Ini adalah perkataan kebanyakan ahli ilmu, diantara mereka adalah Ibnu Umar, Jabir, Abu Umamah bin Sahl, Umar bin Abdul Aziz, Jabir bin Zaid, Hasan, Atha', Makhul, al-Hakam, an-Nakha'i, Malik, Ahli Madinah, ats-Tsauri, al-Auza'i, Ibnu Abi Laila, asy-Syafi'i, Abu Yusuf, dan Muhammad". (al-Mughni 4/161)
Ukuran satu wasaq adalah berupa takaran sebanyak 60 sha' sebagaimana dijelaskan oleh para ulama, tidak ada khilaf di dalam hal ini sebagaimana dikatakan oleh Ibnul Mundzir dan Ibnu Qudamah. (Lihat al-Mughni 4/167)
Sha' yang teranggap adalah sha'nya penduduk Madinah, berdasarkan hadits Ibnu Umar ra dia berkata, "Timbangan yang teranggap adalah timbangannya ahlu Makkah, dan takaran yang teranggap adalah takarannya ahli Madinah". (HR Abu Daud 2340, an-Nasa'i 7/281, al-Baihaqi 6/31 dan dishahihkan oleh al-Albani di dalam Shahihul Jami' 7150)
Adapun tentang konversi dari sha' ke kilogram, para ulama mu'ashirin berselisih dalam hal ini:
- Syaikh Abdul Aziz bin Baz berkata, "Ukuran zakat dengan kilogram adalah 3 kilogram dengan ukuran pendekatan". (Fatawa Ramadhan hal 929)
- Syaikh Abdullah Ali Bassam berkata, "Satu sha' kalau dihitung dengan hitungan saat ini adalah 3000 gram (3 kg). (Taudhihul Ahkam 3/45, 74)
- Syaikh Muhammad bin Shaih al-Utsaimin berkata, "Satu sha Rasulullah SAW sama dengan 2040 gram (2,04 kg)". (Majalis Syahri Ramadhan hal 211 dan Syarhul Mumti' ala Zadil Mustaqni jilid 6 dari www.attasmeem.com).
- Syaikh Shalih al-Fauzan berkata, "Dia sebanding dengan 3 kg". (Khuthab Mimbariyyah 2/405)
- Lajnah Daimah Saudi Arabia berkata, "Satu sha' Rasulullah SAW ukurannya sekitar 3 kg". (Fatwa Lajnah Daimah no 12572).
Jika satu sha sama dengan 3 kg maka 5 wasaq adalah (5 x 60 x 3 kg) = 900 kg ( 9 kwintal). Dan jika satu sha' sama dengan 2,04 kg maka 5 wasaq adalah (5 x 60 x 2,04) = 612 kg (6,12 kwintal). Ukuran ini sama dengan patokan beras, bukan gabah. Jika jagung maka setelah dipipil dan jika kacang tanah maka setelah dikupas kulitnya. (Adapun yang mashur di Indonesia bahwa nishab pertanian adalah 7,5 kwintal. Angka itu dihasilkan dari perhitungan bahwa satu sha' adalah 2,5 kg, jadi 5 x 60 x 2,5 = 750 kg. Wallahu'alam).
Al-Imam Ibnu Qudamah berkata, "Lima wasaq ini dianggap sesudah biji-bijian dibersihkan dan sesudah buah-buahan dikeringkan". (al-Mughni)
Sumber: Zakat Pertanian oleh Arif Fathul Ulum bin Ahmad Saifullah, majalah al-Furqon edisi khusus tahun ke-9 Ramadhan/Syawal 1430 hal 19-20.
Senin, 01 Maret 2010
Tanaman dan Buah yang Wajib Dikeluarkan Zakatnya
Telah sepakat ahli ilmu bahwa zakat adalah wajib atas hinthah (gandum yang halus), sya'ir (gandum yang kasar), kurma dan kismis yang sesuai dengan nash hadits dari Abu Musa dan Mu'adz ra, bahwasanya Rasulullah SAW mengutus keduanya ke Yaman untuk mengajarkan kepada manusia tentang perkara agama mereka, kemudian perintahkanlah mereka supaya tidak mengambil zakat, melainkan dari empat: gandum, sya'ir (sejenis gandum), kurma dan kismis". (Diriwayatkan oleh al-Hakim dalam Mustadrak 1/401 dan Daruquthni dalam Sunannya 2/98 dishahihkan al-Hakim dan disetujui oleh adz-Dzahabi dalam Talkhis Mustadrak 1/401, az-Zaila'i di dalam Nashbu Rayah 2/389 dan al-Albani di dalam Irwaul Ghalil 3/278)
Adapun selain empat macam tanaman diatas, para ulama berselisih menjadi dua pendapat. Pendapat pertama, bahwa segala tanaman yang tumbuh dimuka bumi baik berupa biji-bijian, buah-buahan, sayur-sayuran, dan bunga semuanya wajib dizakati. Ini adalah pendapat Abu Hanifah berdalil dengan keumuman hadits Ibnu Umar ra diatas.
Pendapat kedua, inilah yang rajih (kuat), bahwa yang wajib dizakati hanyalah biji-bijian dan buah-buahan. Ini adalah pendapat Malik, Syafi'i, dan Ahmad dengan berdalil dengan hadits dari Abu Sa'id al-Khudri ra bahwasanya Rasulullah SAW bersabda: "Tidak ada zakat pada biji-bijian dan kurma hingga mencapai lima wasaq". (HR Muslim 2/674)
"Tidak ada zakat pada sayur mayur". (HR at-Tirmidzi di dalam Jami'nya 3/30 dan dishahihkan oleh al-Albani di dalam Shahih al-Jami' 5411)
Al-Imam al-Khaththabi berkata, "Tidak wajib zakat di dalam sayur mayur... dan yang semacamnya, inilah pendapat kebanyakan ahli ilmu, Nabi SAW meninggalkannya (tidak mengambil zakat darinya), para khalifah sepeninggalnya juga tidak mengambil zakat darinya, dalam keadaan sayur mayur dan yang semacamnya ditanam disamping mereka dan tidak ditunaikan zakatnya, hal ini menunjukkan atas tidak wajibnya zakat pada hal tersebut, dan bahwa meninggalkan zakat di dalam hal tersebut adalah sunnah yang diikuti". (Lihat Taudhihul Ahkam 3/54)
Kemudian diantara para ulama yang mewajibkan zakat hanya pada biji-bijian dan buah-buahan mereka berselisih tentang manakah dari buah-buahan dan biji-bijian tersebut yang dizakati:
Pendapat pertama, imam Malik dan imam Syafii memandang bahwa zakat tidak wajib atas buah-buahan kecuali kurma dan kismis dan tidak wajib pada biji-bijian kecuali yang dijadikan bahan makanan pokok.
Pendapat kedua, imam Ahmad memandang wajibnya zakat pada buah-buahan yang bisa ditakar dan disimpan, dan memandang wajibnya zakat pada seluruh biji-bijian walaupun bukan makanan pokok. (Lihat Taudhihul Ahkam 3/54)
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah memandang bahwa yang wajib dikeluarkan zakat adalah buah-buahan dan biji-bijian yang bisa disimpan sebagaimana di dalam kitab beliau al-Qawa'id Nuraniyyah 1/88)
Syaikh Abdullah bin Abdurahman al-Bassam berkata, "Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah merajihkan bahwa yang dianggap untuk wajibnya zakat tanaman adalah bisa disimpan bukan yang lainnya, karena adanya makna yang sesuai dengan kewajiban zakat padanya, berbeda dengan takaran yang dia adalah sekedar ukuran seperti juga timbangan yang juga sekedar ukuran". (Taudhihul Ahkam 3/53)
Maka kesimpulannya bahwa yang wajib dizakati dari tanaman adalah biji-bijian dan buah yang bisa disimpan. Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin rahimahullah berkata, "Dan maksud bisa disimpan adalah bahwa umumnya manusia menyimpannya, karena sebagian orang tidak menyimpan kurma, akan tetapi memakannya ketika menjadi ruthab". (Syarhul Mumti' ala Zaadil Mustaqni jilid 6 dari www.attasmeem.com)
Contoh biji-bijian yang bisa disimpan di Indonesia adalah padi, jagung, kacang tanah dan kedelai. Sedangkan buah-buahan yang bisa disimpan seperti ketelah pohon dan ubi jalar.
Sumber: Zakat Pertanian oleh Arif Fathul Ulum bin Ahmad Saifullah, majalah al-Furqon edisi khusus tahun ke-9 Ramadhan/Syawal 1430 hal 18-19.