Selasa, 12 Januari 2010

Zakat, Cermin Sebuah Ego

Membenahi tradisi yang buruk bukan perkaran mudah. Pertama, cermatkah mengungkap yang keliru. Kedua berani tidak berbeda sikap dengan kebiasaan masyarakat. Ketiga yakinkah hingga konsisten mengusung pendapat. Keempat beranikah merubah kekeliruan itu. Dan kelima bisakah mengkritisi dengan cara yang maruf hingga tak menimbulkan gempa bumi. Zakat jadi satu contoh dari sebuah pergolakan meretas kekeliruan. Buruknya tradisi zakat, sebagian ditandai dengan pengelolaan setengah hati, tidak transparan, tak mengenal sistem akutansi dan pemberdayaannya lebih kental bagi-bagi uang. Entah apakah karena itu zakat tetap terbenam. Kelas menengah ke atas asing dengan zakat. Bukan hanya menganggap sebelah mata, bahkan terkesan emosional saat bersentuhan dengan sedekah. Zakat akhirnya terus tercampak. Karena hanya hidup di pelosok-pelosok atau di kelas marjinal, sulit berharap zakat bisa membawa perubahan sosial.
Zakat memang terlanjur dicap kampungan. Dalam benak para elite pejabat, tak mungkin sesuatu yang kampungan bisa diagendakan dalam rapat kabinet apalagi diusulkan sebagai satu kebijakan negara. Padahal esensi zakat tak beda dengan pajak. Bukankah zakat merupakan pajak kalangan muslim. Pada saat negara dibelenggu oleh berbagai problemnya, ZIS dan wakaf telah tampil menghidupi berbagai aktivitas, seperti pendidikan untuk rakyat berpuluh-puluh tahun lamanya. Lepas dari segala kekurangannya, bagaimanapun zakat terbukti telah memainkan peran fungsi dan tugasnya.
Sebelum isu terorisme ditiup Barat, mungkin para elit negara khawatir ditertawai bicara zakat. Kini dengan isu teror dimana-mana, zakat pun makin mati angin. Bicara zakat di forum resmi negara, cenderung bakal menuai badai. Jika tak dicap pendukung terorisme, pejabat mana yang siap dituding penebar Islamisasi. Problem zakat bertambah. Awalnya, muslim yang sukses jadi pejabat atau pebisnis, merasa malu mengusung zakat. Kini rasa malu itu sempurna dibungkus isu terorisme. Siapapun muslim yang sukses kini berpikir ulang. Menuaikan zakat dan sedekah, kini identik dengan mendukung gerakan terorisme. Pasokan ZIS otomatis mulai terhenti. Beberapa lembaga dakwah dan pendidikan di Indonesia yang mengandalkan dana Timur Tengah limbung.
Yang harus disyukuri, tak semua masyarakat jadi pejabat. Karena itu kehidupan zakat pun masih tetap eksis. Seolah masyarakat tak perduli pada isu terorisme. Yang khawatir tentang teror kan para elit. Bagi rakyat mati dimanapun sama saja. Rakyat tak meninggalkan apa-apa, apalagi kursi dan jabatan. Jadi kenapa harus repot-repot memikir isu yang terus meruyak. Jika memang Islam tertuduh, mengapa bom dan bentuk perusakan pada masyarakat tidak terjadi sejak Rasulullah saw mengenalkan Islam. Coba simak, yang menjajah negara-negara di Asia dan Afrika siapa? Lantas siapa pula yang mendisain globalisasi?
Kemiskinan adalah sebuah produk. Sebagian orang bilang bahwa negara yang kaya sumber minyak seolah dapat kutukan. Indonesia contohnya. Provinsi yang kaya minyak justru memiliki penduduk miskin yang tinggi. Dengan eksploitasi 1,1 juta barel per hari, Riau memasok 70\\\\\\\\% minyak Indonesia. Namun dalam daftar kemiskinan, Riau merupakan propinsi ke-13 termiskin. Sementara NAD dengan kekayaan gas dan minyak, menduduki peringkat ke-4. Propinsi Papua dan Kaltim juga masuk dalam daftar daerah miskin. Kemana larinya sumber rezeki yang meruah-ruah itu.
Tentu itu bukan kutukan. Ini merupakan produk dari suatu kebijakan. Entah apa yang ada dalam benak para penandatangan kesepakatan ekspolitasi oleh pihak asing. Kini lihat kesejahteraan perusahaan asing yang mengeksploitasi sumber-sumber minyak itu. Jangankan para pemiliknya, pegawainya saja hidup di atas kecukupan. Dalam waktu satu tahun bekerja, rumah yang nyaman pun bisa dimiliki. Lantas perhatikan pula di haji plus, sebagian besar pasangan muda yang pergi haji merupakan karyawan perusahaan minyak.
Mereka yang bekerja jelas tak salah. Jika minyak itu untuk kesejahteraan bangsa, bukankah kondisi fakir miskin tak melarat-larat amat. Yang tengah kita gugat, kebijakan macam apa yang dihasilkan. Perhatikan saham-saham pemerintah di berbagai perusahaan minyak asing. Karena minoritas, pemerintah Indonesia kelabakan saat PIM (Pupuk Iskandar Muda) dan Asian Fertilizer megap-megap tak dapat pasokan gas. Kabarnya dua perusahaan di Lhokseumawe NAD ini akan dilego pemerintah. Tahukah siapa calon pembeli kuatnya? Ternyata perusahaan asing yang harusnya bertanggung jawab atas pasokan gas pada dua perusahaan itu. Contoh lain, saham pemerintah di Freeport sekitar 10\\\\\\\\%. Jika benar, itu peanut seperti bayar pajak atau zakat saja. Sementara di Freeport itu, ada sebuah perusahaan gamping yang dimiliki seorang menteri di masa Orba. Dengan terkejut saya bertanya apa modalnya. Yang mengantar hanya mengangkat bahu.
Globalisasi ini menarik. Suatu high design of the new colonialism. Wajah bengis kolonial, diubah kemasannya dalam wujud profesionalitas. Dengan bingkai globalisasi, bicara penjajahan kini bicara visi, strategi, leadership dan entrepreneur. Siapa yang enggan merangkum itu semua, jelas tak bakal masuk dalam the western dream. Padahal esensinya jelas dan tegas. Globalisasi memangkas peran pemerintah negara dunia ketiga untuk campur tangan dalam ekonomi. Kekayaan negara dianjur paksa untuk diprivatisasi. Padahal simak simak istilah privatisasi. Asal katanya adalah privat, artinya pribadi. Maka bayangkan kekayaan bangsa dalam bentuk sumber daya alam, kini diekspolitasi pribadi yang sebagian besar asing. Apa bedanya dengan masa kolonialisasi Hindia Belanda dulu. Lantas kekayaan negara negara dalam BUMN dan BUMD, pun telah jatuh ke tangan mereka.
Jangan lupa alat globalisasi paling canggih adalah utang. Guyuri utang sebesar-besarnya hingga tak kuat membayar. Dan sedari awal, negara ini pun dibangun dengan kebiasaan utang. Siapa yang berutang tergadailah hidupnya. Jika tak punya apa-apa untuk membayar, siap-siaplah jadi budak. Jika punya kekayaan, sampai kapan mampu melunasi. Sumber daya alam ada batasnya. Maka Indonesia yang kaya raya jadi negara gharimin. Indonesia punya sumber daya. Namun nyaris semuanya dieksploitasi asing. Kelak dalam pelajaran geografi, bakal ada bab yang isinya: ADA SUMBER DAYA ALAM YANG CUMA NUMPANG TEMPAT. SEBAB SEBAGIAN BESAR KEKAYAAN ITU, DIEKSPLORASI UNTUK KESEJAHTERAAN MASYARAKAT DI TEMPAT LAIN.
Dalam konstelasi zakat, Indonesia masuk asnaf yang mana. Gharimin, kalangan yang punya utang, tampaknya tidak. Sebabnya jelas, Indonesia bukan hanya kaya melainkan teramat kaya. Dalam pemahanam zakat, gharimin yang dibantu adalah pihak yang terpaksa berutang. Kalangan ini memang tak punya sumber daya. Karena hidup harus dipertahankan, terpaksa salah satunya dengan berutang. Dengan utang, kehidupan besok belum tentu membaik sementara hidup sudah tergadai. Apa boleh buat. Meski bagai buah simalakama, utang merupakan ikhtiar. Siapa tahu besok akan ada yang berubah. Kendati esok tak juga berubah, namanya juga ikhtiar. Dalam kondisi begini, zakat memang jadi satu solusi tepat. Sebagai jaminan sosial, zakat jadi sah untuk menyelamatkan kehidupan esoknya.
Tetapi orang kaya yang gemar berutang jelas sebuah tragedi. Dalam konteks zakat, ini tak termasuk dalam asnaf gharimin. Itulah Indonesia yang tak berani berikhtiar di atas kaki sendiri dengan segala kendala. Indonesia bukan bangsa bodoh. Sebab bangsa ini telah mengirim puluhan ribu putra-putra terbaik mengenyam pendidikan di luar negeri. Berapa banyak jumlah doktor, akademisi, pengajar dan peneliti kita. Berapa banyak jumlah pebisnis kita. Berapa banyak ustadz dan ulama kita yang mengabdi pada masyarakat. Kita punya semuanya. Namun seperti orang Malaysia bilang, yang kita tidak punya adalah pemimpin yang baik. Tentu harus ditambahkan tegas, adil dan benar.
Karena tak ada pemimpin yang berani, semua kekayaan dan potensi seolah tak berarti. Siapapun paham berjuang untuk kepentingan bangsa jelas sulit. Tetapi bukankah mengikuti keinginan asing juga tak kalah sulitnya. Entah, meski berdasi tampaknya mental inferior kita masih saja silau oleh mereka yang bule. Di antara kita tampaknya makin kental orang yang hanya berpikir pendek dan untuk kepentingan pribadi sendiri. Kitapun selalu berprasangka baik pada asing. Padahal Soekarno bilang, ingat jasmerah --jangan lupa sejarah. Kolonialisasi telah terjadi berabad-abad lamanya. Perbudakan pun telah berlangsung lama, yang warisannya masih terasa di sana sini. Prasangka baik adalah baik. Namun untuk kepentingan bangsa, prasangka buruk pun sah-sah saja. Seperti yang Rasulullah saw pesankan, semua memang tergantung niatnya. Maka terjemahkan sudzon itu dalam bentuk kewaspadaan.
Pemimpin dan sikap kita adalah soal internal. Globalisasi adalah soal eksternal. Bom dan teror tak jelas siapa yang bermain. Tetapi kini terlanjur dicap pada kalangan muslim. Sementara globalisasi seolah-olah penebar kedamaian dan kesejahteraan. Simak, mungkinkah bom dan terorisme memiskinkan pihak lain? Bisakah terorisme meremukan sebuah bangsa? Jawabnya mungkin saja. Namun lihat dampak globalisasi. Berapa banyak negara yang jadi miskin. Lantas berapa negara telah terampas masa depannya. Bicara teror adalah bicara kemungkinan, sementara bicara globalisasi telah terbukti akibatnya. Kita sendiri merasakan betapa makin sulit hidup ini. Lantas bisakah kita tetap terlelap sementara problem generasi berikut menumpuk-numpuk akibat ulah kita. Mereka harus menyelesaikan problem dahsyat yang kita wariskan. Dimana moral kita?
Dalam hal terkecil, moral ini bisa kita telusuri di bulan Ramadhan. Dalam hal zakat, jangan tunaikan zakat harta selalu di Ramadhan. Di bulan ini perbanyaklah infak sedekah. Sedang zakat harta harus dikeluarkan sesuai dengan haul atau jatuh temponya. Jika ditepatkan di Ramadhan, itu berburu pahala namanya. Dengan memburu pahala, bukankah itu ego pribadi. Maka moral pun bisa menimbang: Kejar pahala atau penuhi hak kalangan miskin di luar Ramadhan. Memenuhi hak fakir miskin jelas mulya. Namun mengejar pahala tetapi menyulitkan fakir miskin di bulan-bulan lain, bisakah memantik ridho Allah swt? Wallahu�alam jawabnya.
Merubah tradisi jelas tak populer. Tradisi mengeluarkan zakat harta di Ramadhan adalah sebuah kekeliruan. Jika kita tak berani merubah, jangan harap kita bisa cakap memandang persoalan besar yang menghadang bangsa. Ini ego pribadi. Atas nama agama, kita kedepankan kepentingan pribadi dan kita abaikan hak fakir miskin. Kita tak paham arti bermasyarakat. Sama seperti yang dihadapi para petinggi negeri ini. Mereka tak paham arti berbangsa. Mereka bangun negeri ini berkerja sama dengan pihak asing. Hanya karena ego pribadi, rencana untuk memberi kesejateraan bangsa jadi remuk.
Ego pribadi terbukti telah jadi peremuk. Kini terlampau banyak problem yang menjerat. Tinggal satu jawabnya: BERBENAHLAH. Mulai dari diri sendiri. Gugat dari soal zakat yang cuma 2.5\\\\\\\\%. Tunaikan zakat harta sesuai haulnya. Di Ramadhan ini, perbanyak infak sedekah yang bisa lebih dari 2.5\\\\\\\\%. Zakat telah diwajibkan bahkan ditegaskan sebagai satu Rukun Islam. Inilah keputusan ekonomi politik dan sosial paling penting di dalam Islam. Jika tak juga berubah, jangan harap kita bisa memaknai keputusan penting itu. Kekeliruan tradisi pengelolaan zakat, telah mencabik-cabik kehidupan umat Islam. Padahal zakat sarat dengan rahmatan lil�alamin.

Sumber: http://www.dompetdhuafa.org/dd.php?x=refleksi&y=det&z=3168cda83a4cc9676c2416d8c5b9cd4c

Tidak ada komentar:

Posting Komentar