Beberapa saat yang lalu, Republika sempat wacanakan ‘arsitektur zakat Indonesia’. Ini membingungkan. Bicara arsitektur tampaknya memang gagah. Tapi ditilik esensinya, jangan-jangan duduk soal tak dimafhumi. Karena di saat bersamaan, diam-diam draft RUU Zakat sudah menggelinding. Jika kelak RUU disepakati jadi UU, ‘arsitektur zakat Indonesia’ jelas tak lagi dibutuhkan.
Tak Perlu ‘Arsitektur Zakat Indonesia’
Sebabnya jelas. RUU Zakat-lah yang berkehendak memangkas eksistensi LAZ (Lembaga Amil Zakat). Dalam bahasa eufimisme, LAZ dilebur hanya jadi UPZ (Unit Pengumpul Zakat), Padahal untuk jadi UPZ, kebaikan hati BAZ akan jadi penentu ya tidaknya. Sementara sebagai UPZ, bisakah berbagai program yang musti suistanable tetap tertangani. Bukan hanya butuh dana. Pikiran, tenaga, waktu dan bagaimana mengelolanya tak bisa diabaikan. Decision making bisa ditegaskan. Namun yang kerap luput, selalu tak diimbangi dengan decision making management. Tanpa pengelolaan, decision making hanya memikat di atas kertas. Atau malah jadi liar karena dimanfaatkan pihak yang gemar bermain di air keruh.
Dengan takluknya LAZ jadi UPZ, perzakatan sudah dalam genggaman negara. Sama seperti pajak, seluruhnya jadi hak negara. Bila sudah begini, perlukah ‘arsitektur zakat Indonesia’. Tak ada yang namanya ‘arsitektur pajak Indonesia’. Yang ada adalah target pajak, untuk memasok kebutuhan APBN. Maka bicara ‘arsitektur zakat Indonesia’, artinya ada pelibatan peran di luar negara. Dengan terpangkasnya LAZ, justru peran di luar negara telah dikebumikan.
BI Jadi Acuan
Bila yang diancik BI (Bank Indonesia), pahami karakternya. Pertama asal usul dana bank berasal dari DPK (Dana Pihak Ke-3), bukan donatur. Kedua, dimanapun tak ada donatur yang berharap donasinya kembali. Sebaliknya DPK bukan hanya musti kembali, malah harus pasok keuntungan. Ketiga agar uang bisa berbiak, tugas bank memerah otak. Maka itulah yang keempat, dana bank jadi komersial.
Kini perhatikan kiprah bank. Pertama dananya bisa merambah ekonomi apapun. Kedua daya jelajahnya merasuk kemanapun. Serta ketiga bank leluasa menggaet siapapun, Posisi bank jadi amat strategis. Lantas yang amat krusial, asal memenuhi syarat, bank bisa dimiliki siapapun. Jika baik, ekonomi masyarakat bakal terkatrol naik. Bila moral hazard buruk, remuknya perbankan Indonesia memaksa negara menggerojok BLBI sebesar Rp 700 triliun. Yang jika dihitung dengan bunganya, angkanya kini tak kurang dari Rp 1.200 triliun.
Karenanya BI harus mendisain ‘arsitektur perbankan Indonesia’. Arsitektur ini bukan untuk gagah-gagahan. Ini geliat rangkaian cita-cita, kemana perbankan Indonesia harus bergerak. Alasannya sederhana. Pertama menyangkut kepentingan orang banyak. Dan kedua yang paling krusial, menyangkut kepemilikan orang per orang. Rancang bangun arsitektur perbankan, jadi koridor bagi pemilik dan pengelola bank. Jika tidak dipatuhi, dampaknya berbahaya bagi negara. Dan itulah yang terjadi. Hingga BPPN bubar, 70\% dana BLBI tak bisa dipertanggungjawabkan. Entah menyusupi kantong-kantong siapa saja. Terlampau banyak brutus di negeri yang indah ini.
Usulan FOZ
Sejak 2005, FOZ (Forum Zakat) telah menggagas draft untuk amandemen UU 38 tahun 1999. Inti usulan FOZ, meningkatkan profesionalisme BAZNAS (Badan Amil Zakat Nasional). Landasannya sederhana, BAZNAS satu-satunya lembaga zakat yang dibentuk via SK Presiden. Posisi ini amat strategis. Inilah yang harus diusung bersama. Tugas pemimpin musti tempatkan BAZNAS dalam strategic thinking. Bukan arahkan BAZNAS untuk operasional. Ini kekeliruan mendasar yang biasa dilakukan manajer, bukan the real leader.
Dalam draft FOZ --yang akhirnya melibatkan peran BAZNAS—posisi dan tugas BAZNAS harus ditegaskan. Posisi BAZNAS diibaratkan seperti BI. Dengan pemerintah, peran BAZNAS membuat regulasi. Dengan regulasi, fungsi BAZNAS jadi pengatur laku perzakatan di Indonesia. BAZ yang dibentuk pemerintah, ibarat bank milik pemerintah. LAZ yang dikreasi masyarakat, bak bank swasta. BAZ dan LAZ inilah yang operasional. Sementara BAZNAS tidak boleh jatuhkan martabatnya untuk latah di operasional. Bukankah BI tak boleh cari-cari nasabah.
Karenanya dalam ranah operasional, BAZNAS berperan jadi wasit. Mengganjar reward dan punishment pada BAZ atau LAZ. Juga memberi izin dan menghentikan lembaga zakat yang malpraktek. BAZNAS pun harus membuat perwakilan di tiap provinsi. Tugasnya, apalagi jika bukan untuk mengawasi. Kehidupan perzakatan harus sehat. Maka usul FOZ, BAZNAS musti mendisain ‘arsitektur perzakatan Indonesia’.
Mengapa dibutuhkan ‘arsitektur perzakatan Indonesia’? Pertama ada LAZ yang perannya musti diarahkan sesuai cita-cita negara. Kedua ada BAZ, yang seperti bank pemerintah, harus memenuhi persyaratan untuk bisa berdiri dan operasional. Izin prinsip berbeda dengan izin operasional. Karenanya ketiga, harus ditegaskan standarisasi pengelolaan zakat. Keempat kontrol pun tak boleh asal-asalan. Agar kelima, tak ada malpraktek, tak ada susupan kepentingan sendiri, kelompok dan golongan. Lebih-lebih di saat pilkada dan jelang pemilu.
Bola kini di lengan pemerintah. Bisa liar atau tertata, tergantung sudut pandang leader. Banyak leader di Indonesia, tapi sebanyak itu pula yang gagal. Mengapa? Karena leader without leadership. Orang yang punya prinsip dan tegas jagai visi, dianggap menyempal, keras kepala hingga dianggap tak ramah lingkungan. Sementara leader yang tak punya leadership, menggantinya dengan penampilan santun, kata-kata bijak dan selalu senyum. Karena tak mengguncang, leader seperti ini dianggap cocok dengan karakter bangsa. Dan menekuk pemimpin seperti ini mudah sekali dilakukan. Hasilnya, berbagai asset berharga bangsa ini sudah tergadai pada asing.
Maka lihat, siapapun bisa ucap nama-nama pejabat. Jumlahnya amat banyak. Namun siapa berani katakan, sebut saja satu nama. Siapa pejabat yang layak dianggap negarawan. Kuat dengan prinsip, serta yakin akan visi demi bangsanya. Selamat melacak.
Sumber: http://www.dompetdhuafa.org/dd.php?x=refleksi&y=det&z=03b962f6ea32d89178599987bb9245ad
Tidak ada komentar:
Posting Komentar