Ketika kepercayaan publik pada pemerintah masih di titik nadir, yang diperlukan dalam mengelola zakat adalah koordinasi dan sinergi. Bukan likuidasi.
Usulan pemerintah menjadikan Badan Amil Zakat (BAZ) sebagai wadah tunggal pengelolaan zakat di Tanah Air menyulut kontroversi. Secara terbuka, pemerintah melalui Departemen Agama, telah menggulirkan wacana itu melalui usulan revisi Undang-Undang (UU) No 38 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat kepada DPR–RI.
''Tidak ada lagi Lembaga Amil Zakat sebagaimana diatur dalam pasal 7 UU No 38 Tahun 1999. Ketentuan itu, telah menimbulkan persaingan tidak sehat dalam pengelolaan zakat karena banyaknya lembaga pengelola zakat. Sehingga potensi zakat yang sangat besar belum bisa memberikan manfaat signifikan bagi mustahiq (penerima zakat),'' ungkap Dirjen Bimas Islam Depag, Prof Nasaruddin Umar dalam coffee morning dengan wartawan, Selasa (5/5/09), di Kantor Depag (Baca: Pemerintah Usik Lembaga Zakat, Sabili No 11 TH XVII 24 Desember 2009).
Keinginan pemerintah menjadikan Badan Amil Zakat (BAZ) sebagai satu-satunya lembaga pengelola zakat diIndonesia dari tingkat nasional hingga kelurahan/desa pun mengundang gelombang penolakan umat. Apalagi setelah publik mengetahui bahwa pemerintah juga berencana menutup Lembaga Amil Zakat (LAZ), penolakan kian bergulir kencang melalui berbagai sarana. Salah satunya menggurita di jejaring pertemanan, facebook.
Di laman facebook, muncul group bernama ''Gerakan 1.000.000 Umat Tolak Pembubaran LAZ Dompet Dhuafa, PKPU, RZI dll''. Hingga Kamis (17/12/09) pukul 19.45 Wib, jumlah member yang mendukung group ini mencapai 25.498 anggota. Pada wall group ini, setiap anggota menuliskan dukungan dan simpatinya pada LAZ yang selama ini telah menunjukkan kiprahnya di masyarakat.
”Duh, Depag ada-ada saja. Yakin bakal amanah? Bakal transparan? Justru nggak malah mengundang kejahatan/korupsi birokrasi. Kenapa nggak membuat saja lembaga zakat sendiri, tunjukan keprofesionalan dan keamanahan,” tulis Efi Fitriyyah, salah satu member.
Sementara member lain menulis, ''Zakat, infak dan sedekah akan lebih bermanfaat jika yang mengurus Lembaga Amil Zakat. Selama ini, LAZ sudah berjalan dengan baik. Yang penting, bagaimana pemerintah memberikan kontribusi yang lebih baik pada LAZ bukan sebaliknya mau dibubarkan,'' ungkap Ahmad Rusli Jibril.
Secara umum, anggota group ini menyatakan dukungan dan kepercayaannya pada LAZ. ”LAZ non–pemerintah (Dompet Dhuafa, PKPU, RZI, dll) terus berkembang, karena dipercaya dan amanah. Bubarkan saja yang tidak amanah,'' tegas Dede Sudarwan.
Tapi ada juga bersuara lain misalnya, ''Idealnya lembaga zakat memang dikelola pemerintah, tapi pemerintahan yang pemimpinnya beriman pada Allah SWT, cinta pada rakyat, mendirikan shalat, zakat, dan melakukan amar ma’ruf nahi munkar. So, selama belum terpenuhi, silahkan lembaga zakat berjalan, tapi jangan sampai berubah orientasi dan saling bersaing,'' tutur Andri Mahendra.
Sementara di halaman discussion juga muncul beragam tanggapan yang mendalam tentang rencana pemerintah ini. Secara umum, diskusi serius yang berkembang juga mendukung dan mengharapkan agar LAZ tetap eksis di negeri ini. Yang diperlukan adalah kerjasama dan sinergi antar LAZ sendiri maupun dengan BAZ. Bahkan, seorang pembahas dari Malaysia ikut nimbrung dan membandingkan pengelolaan zakat di negerinya,Pakistan, dan Indonesia.
Member bernama Encik Abdullah ini menulis: ” ... Pakistan, Malaysia, dan sejumlah negara lain yang mengelola zakat secara sentralisasi ternyata tidak terbukti meraih hasil maksimal. Ada sedikit perbedaan antara sentralisasi di Malaysia dan Indonesia. Di Malaysia, setiap negara bagian (ada 14 negara bagian) memiliki sebuah Dewan Islam yang mengelola urusan zakat, infak, sedekah, dan wakaf yang bersifat otonom.
Hasil pengumpulan zakat, infak, sedekah dan wakaf ini tidak dikumpulkan terlebih dahulu ke kas kerajaan baik pemerintah negara bagian maupun pemerintah pusat. Tapi, langsung disalurkan kepada asnaf (mustahiq) oleh Dewan Islam setempat, sesuai dengan skim (sistem) penyaluran zakat. Untuk memperbaiki sistem pungutan dan penyaluran zakat, Majelis Agama Islam (semacam MUI, red) di masing-masing negara bagian sering melakukan pertemuan dan koordinasi.
Akhirnya, dari pertemuan ini, terbentuklah Pusat Pungutan Zakat (Zakat Collection Centre). PPZ di masing-masing negara bagian sudah menghasilkan lembaga baru yang pengelolaannya dilakukan seperti perusahaan dalam mengurus zakat, infak, sedekah, dan wakaf. Misalnya, Pusat Kutipan Zakat Pahang (PKZ Pahang), Pusat Urus Zakat Pulau Pinang (PUZ Pulau Pinang), Lembaga Zakat Selangor (LZ Selangor), Baitulmaal Perlis, Tabung Bailtulmal Sarawak dan lainnya. Lembaga-lembaga ini berlomba secara positif agar pengumpulan dan distribusi zakat berjalan lancar serta berdampak nyata bagi peningkatan kesejahteraan rakyat ....”
Direktur Program Dompet Duafa Republika, Moh Arifin Purwakananta; Apakah Indonesia akan lebih baik jika mengikuti Malaysia? Encik Abdullah menulis, Di Indonesia agak berbeda karena zakat mayoritas diinisiatori dan dikelola oleh masyarakat sendiri sejak lama. Dan faktanya, publik di Indonesia lebih menyukai zakat yang dikelola oleh lembaga non pemerintah (LAZ, red), karena dianggap lebih transparan.
Saya berpendapat, tidak salah jika antara Malaysia dan Indonesia berbeda dalam mengelola zakat. Kita sudah memiliki sistem masing-masing yang sudah terbentuk sekian lama. Saya percaya perbedaan pengelolaan zakat kedua negara bisa membuka ruang untuk belajar menguatkan sistem masing-masing. Seperti IKAZ (organisasi zakat di Malaysia) belajar kemandirian LAZ di Indonesia. Dan, IMZ (Institut Manajemen Zakat) belajar pengelolaan zakat oleh negara di Malaysia. Jadi, akan saling bermanfaat ....
Apakah kekhawatiran likuidasi terhadap LAZ benar-benar akan menjadi kenyataan? Semuanya akan terjawab ketika penyempurnaan UU No 38 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat selesai digodok oleh DPR. Sehingga, berbagai kemungkinan masih akan terjadi, sesuai dengan dinamika yang berkembang di parlemen, keinginan pemerintah, keinginan LAZ, dan tekanan publik.
Tapi yang jelas, Ketua Umum Badan Amil Zakat Nasional (BAZNAS) Prof Dr KH Didin Hafidhuddin menyatakan, tidak benar jika ada upaya dari pihak pemerintah untuk membubarkan LAZ. Yang justru dibutuhkan adalah ketertiban, koordinasi, dan sinergi antara lembaga-lembaga zakat yang ada. "Kata-kata pembubaran itu tidak ada, salah itu,” tegasnya. Karenanya, ia mengingatkan agar kekhawatiran pembubaran LAZ dan semacamnya, tak perlu dirisaukan.
Memang lembaga-lembaga zakat yang ada, lanjut Guru Besar UIKA Bogor ini, kelihatannya justru jalan sendiri-sendiri dan sibuk masing-masing. Tak ada koordinasi dan sinergi. Ia mengharapkan, ke depan lembaga-lembaga zakat dapat berkoordinasi lebih baik lagi. "Lembaga zakat adalah milik umat dan bangsa, sehingga harus ada koordinasi dan sinergi satu dengan lainnya. Jangan saling tumpang tindih dan menonjolkan lembaganya masing-masing,” tambahnya.
Presiden Direktur Dompet Dhuafa Republika Ismail A Said pun berharap pemerintah mendengar penjelasan Ustadz Didin. Ia mengharapkan, agar pemerintah tetap memberikan kesempatan pada LAZ untuk berkiprah seperti biasanya. Sehingga, pengelolaan zakat tetap dilakukan oleh LAZ, Baznas, dan Bazda. Yang penting pemerintah mengatur regulasinya dengan baik. ”Misalnya, Depag yang membuat aturan, Baznas yang mengawasi, sedangkan yang jadi operator adalah BAZ dan LAZ. Itu yang kami harapkan,'' paparnya.
Menurutnya, beberapa LAZ yang ada saat ini sudah dipercaya masyarakat. Padahal, memupuk dan mengembangkan kepercayaan bukan urusan gampang, perlu kesungguhan dan waktu lama. Sudah Lebih dari 15 tahun berkiprah. ”LAZ seperti Dompet Dhuafa Republika, Rumah Zakat Indonesia, PKPU, Al-Azhar Peduli Ummat dan lainnya telah melakukan program yang positif. Saya meminta agar pemerintah melihat kenyatan ini. 'Artinya? Jika dibina, LAZ akan menjadi lebih baik lagi,” tandasnya.
Pada kesempatan lain, Ustadz Didin Hafidhuddin menegaskan, semangat revisi UU Pengelolaan Zakat adalah untuk menyinergikan lembaga-lembaga pengumpul zakat. ''Artinya bukan semata-mata disatukan, tapi yang penting adalah kinerja dan sinergi yang baik antarlembaga pengumpul zakat. Perlu ada database masing-masing yang menjadi patokan, sehingga tidak terjadi tumpang tindih dalam menyalurkan pada mustahiq,'' pungkasnya. Jadi, yang diperlukan adalah koordinasi dan sinergi, bukan likuidasi.
Penulis: Dwi Hardianto Laporan: Daniel Handoko
Tidak ada komentar:
Posting Komentar