Rabu, 20 Januari 2010

Sentralisasi Zakat yang Belum Perlu

Menteri Agama, Maftuh Basyuni dalam rapat Panitia Ad Hoc (PAH) Dewan Perwakilan Daerah (DPD), di Gedung DPD Jakarta, Selasa (24/2), mengeluarkan pernyataan yang membuat dunia perzakatan di tanah air guncang. Ia mengungkapkan tiga hal penting dalam forum itu. Tapi pernyataan tentang sentralisasi zakat yang paling menyulut perdebatan.
Menteri Agama, dalam undang-undang yang baru, mengusulkan Badan Amil Zakat (BAZ) menjadi satu-satunya lembaga pengelola zakat di Indonesia dari tingkat nasional sampai desa/kelurahan. Artinya, nasib Lembaga Amil Zakat (LAZ), berada di ujung tanduk.
Bagi Dompet Dhuafa Republika (DD), sebagai LAZ pertama di Indonesia yang dikukuhkan pemerintah, bukan penutupan LAZ yang dirisaukan. Tetapi, pertanyaan mendasar, mampukah BAZ mengelola program layanan publik gratis untuk fakir miskin yang telah dibangun LAZ selama ini?
Sementara, dengan usia lebih tua, BAZ belum teruji mampu memberdayakan dana zakat menjadi instrumen pemberdayaan kaum dhuafa. Dari segi penghimpunan, perolehan BAZ jauh lebih rendah dari LAZ. Artinya, masyarakat muslim Indonesia masih percaya terhadap lembaga zakat swasta ini untuk mengelola zakatnya. Karena, mereka bisa mengontrol langsung dan memberi penilaian terhadap kinerja lembaga yang dipercayanya.
Dari inovasi program, banyak LAZ yang mampu membangun fasilitas publik gratis dari dana zakat itu. Sebaliknya, BAZ belum mampu memunculkan inovasi yang bisa membanggakan publik. Tentang transparansi pun, BAZ belum ada yang membuka ke publik laporan keuangannya. Sementara LAZ, telah mengiklankan hasil audit keuangannya oleh auditor independen, melalui media massa.
Transparansi ini, hal dasar paling fundamental yang harus dibenahi. Jika pondasi akuntanbilitas publiknya rapuh, tidak menutup kemungkinan zakat akan jadi sumber korupsi baru. Mengapa tidak pembenahan tata kelola manajemen zakat ini yang diutamakan oleh Departemen Agama. Depag bisa mengatur LAZ liar, menutupnya, bahkan memberi sanksi hukum. Depag juga bisa mengevaluasi BAZ, mengapa perannya dalam ranah zakat di Indonesia cenderung mandul.
Pekerjaan itu masih banyak. Ketimbang memaksakan kekuasaan dengan mengambil alih pengelolaan zakat secara sentralisasi. Sementara BAZ sendiri, sebagaimana kita mafhum belum punya instrumen tangguh untuk menata zakat. Jangan sampai, kekuasaan melahirkan keputusan yang membahayakan masa depan zakat Indonesia.
Tunjukkan kinerja, baru bicara. Jangan menggunakan kekuasaan untuk memaksa. Karena kepercayaan itu diberikan, bukan diminta.

Sumber: http://www.dompetdhuafa.org/dd.php?x=editorial&y=det&z=06523ada5c5c4028ad992fabf366fff0

Tidak ada komentar:

Posting Komentar