Senin, 04 Januari 2010

Sertifikat Halal Diambil Alih Pemerintah Peran Ulama Kian Tersingkir

Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI), KH Ma’ruf Amin menegaskan, tidak selayaknya, jika kehalalan suatu produk dikeluarkan oleh pemerintah. MUI ingin tetap sertifikat halal itu dikeluarkan oleh lembaga ulama, dalam hal ini MUI. “Sertifikat halal atau keterangan kehalalan suatu produk hendaknya tetap dikeluarkan oleh MUI,” ujarnya
Diakui Amin, MUI sudah bertemu dengan pemerintah (Depag) berkali-kali, untuk mengkonsultasikan masalah tersebut. Tapi sampai saat ini belum ada kejelasan dari pemerintah. Kalau masih belum ada klarifikasi, MUI meminta pemerintah, sebaiknya RUU Jaminan Produk Halal itu ditunda sampai ada klarifikasi.
Kalau pun dipaksakan, kata Amin, kemungkinannya, MUI tidak akan berperan, dan hanya menjadi lembaga konsultan saja, khususnya terhadap produk-produk halal. Dengan kata lain, MUI hanya akan membuat jaminan kehalalan suatu produk, baik dalam negeri maupun luar negeri, tidak dalam bentuk sertifikat, melainkan semacam pernyataan halal untuk memberi jaminan kepada umat. ”Tapi MUI masih berharap adanya aspirasi ulama dan ormas Islam memberi tanggapan dan bisa diakomodir di dalam UU Jaminan Produk Halal.”
Ketua MUI KH Cholil Ridwan menambahkan, sebenarnya sertifikasi halal itu bisa diambil alih oleh pemerintah, tapi pemerintahnya harus syari’ah, seperti pada zaman khalifah dulu. Zakat pun dijalankan oleh pemerintah. Jika ada yang tidak mau membayar zakat, maka akan diperangi oleh pemerintah. ”Tapi karena pemerintahnya belum syariah, maka tetap saja sertifikat halal ada ditangan ulama. Bahkan, pemerintah tidak konsekuen dengan kalimatnya sendiri. Saya masih ingat, ketika Presiden SBY pernah mengatakan  dalam penutupan Rakernas MUI di Istana Negara, bahwa dalam hal urusan agama, pemerintah ikut MUI.  Bukti, pemerintah tidak konsisten,” kata Cholil. 
Sementara itu dikatakan Ketua MUI Amidan, selama ini umat Islam sudah menyatu dengan MUI, terutama dalam menyangkut kehalalan. Karenanya, sertifikasi halal itu diperoleh dari MUI, dan yang memakainya umat Islam. ”Jika RUU Jaminan Produk Halal itu dikeluarkan oleh parlemen, maka user atau pemakainya umat Islam, bukan siapa-siapa. Kita mengharapkan diawal-awal pemerintahan SBY, jangan sampai RUU itu ditolak kelompok tertentu, seperti UU yang lain. Maka perlu ada kejernihan sikap dari kita semua.”
Amidan tak ingin kembali dalam era otoriter, dimana dominasi pemerintah begitu besar. Dalam hal fatwa, sebaiknya memang tak didominasi oleh siapapun. Karena itu otoritas mutlak dari ulama. MUI sendiri tidak minta apa-apa. MUI hanya minta yang bagian agamanya saja, dalam hal ini memfatwakan kehalalan suatu produk. Kehalalan itu dituangkan dalam sebuah sertifikat, yang merupakan bukti dari kehalalan itu.
”Yang lainnya, dalam urusan apa saja, silahkan diatur oleh pemerintah atau lembaga yang akan dibentuk. Itu tak soal. Termasuk apakah itu akan dilabelkan, disosialisasikan, menyangkut pengawasan, maupun regulasi. MUI hanya berurusan dengan fatwa saja.”
Perlu UU Produk Halal
Ketika ditanya, kenapa perlu ada RUU Jaminan Produk Halal, kendati sudah ada UU Perlindungan Konsumen? Menurut KH Ma’ruf Amin, karena masalah produk halal itu belum menjadi satu kesatuan yang lengkap. Yakni belum meliputi pemberian tanda halal, pengawasan, penindakan (law enforcement), sehingga memerlukan suatu UU yang komprehensif, menyeluruh. ”Selama 20 tahun ini sifatnya masih voluntery (sukarela). Jadi jaminan produk halal itu mesti ada UU yang menyeluruh, meliputi semua aspek, dan menjadi suatu kewajiban, sehingga ada perlindungan dan kepastian hukum bagi konsumen muslim untuk menkonsumsi produk-produk halal. Karenanya MUI mendukung UU itu.”
Pengambil-alihan wewenang itu, juga bukan lantara Departemen Agama (Depag) tidak percaya dengan MUI. ”Apa yang dilakukan MUI, merupakan hasil MoU antara Depag dan Depkes. Apa yang telah dilakukan MUI, sudah merupakan kerja bagus. Bahkan standar penetapan halal oleh MUI sekarang menjadi acuan dan rujukan di luar negeri, baik di Australia, Eropa, ASEAN, dan Amerika. Jadi, tidak benar, jika tidak ada kepercayaan. Kerja MUI sudah baik, bahkan terus melakukan perbaikan dari tahun ke tahun, baik sistem maupun tingkat pemeriksaannya. Sehingga sekarang semakin sempurna.”
Kalau menyangkut pemberian tanda logo halal, pengawasan, dan penindakan, tidak menjadi domain atau kewenangan MUI. Itulah yang MUI minta untuk diatur dalam UU dan dilakukan oleh pemerintah. Porsi MUI hanya pemeriksaan, pefatwaan, sertifikat halal (proses sertifikasi). Selain itu bukan.”
Jadi kenapa harus ulama dalam menetapkan kehalalan suatu produk? ”Karena ulama yang berkompetensi dalam menetapkan halal atau haramnya suatu produk. Kalau pemerintah tidak tepat,” tegas KH Ma’ruf Amin.
Di dalam pembahasan RUU itu akan dipersoalkan, apakah sifatnya menjadi mandatori (berdasarkan mandat) atau volunteri (sukarela). Kalau sukarela, awalnya memang diinginkan parlemen. Itu berarti tak beda dengan sekarang. Hanya perlu  penguatan lewat UU Jaminan Produk Halal. Terhadap hal ini, MUI tetap mengharapkan adanya mandatori terbatas.
KH. Maruf Amin menjelaskan, sebaiknya UU produk halal nanti menetapkan suatu kewajiban, bukan volunteri, sebab tidak akan ada perubahan apa-apa. Dengan kata lain, hanya memindahkan sertifikat saja, dari MUI ke Depag. MUI sendiri sudah ke DPR. Awalnya DPR setuju, sertifikasi produk halal tetap pada MUI, tapi entah kenapa, tiba-tiba DPR berubah. ”Kami sudah surati Pansus, Panja, dan anggota DPR, tapi belum ada jawaban,” kata Ma’ruf Amin.
Dikatakan Amidan, bila ada perusahaan-perusahaan besar yang produksinya massal, harus ada mandatori. Kalau perusahaan kecil, tidak diwajibkan. Seperti diketahui, halal itu memiliki unsur selling point, persaingan keunggulan. Artinya, adanya logo halal itu akan lebih laku jika dipasarkan, apalagi di Indonesia yang penduduknya mayoritas Muslim.”
Sementara itu, bagi perusahaan kecil yang ingin sertifikasi halal, biasanya MUI  bekerjasama dengan Departemen Perindustrian atau pemerintah daerah, membantu dalam hal pembiayaan proses sertifikasi. Jelasnya, perusahaan kecil tidak mengeluarkan biaya apa-apa. Tapi kalau perusahaan besar, sebut saja Indofood yang omzetnya trilunan rupiah,  biasanya akan diperiksa oleh dua orang auditor.
Amidan menegaskan, MUI tidak pernah meminta biaya sertifikasi, tapi ada  istilahnya pengganti biaya. Seorang auditor akan mendapat uang lelah sebesar Rp. 350.000. Kalau keluar kota misalnya, MUI tidak minta uang kepada perusahaan bersangkutan untuk memberangkatkan kedua auditornya. ”Kami hanya minta disediakan tiket pesawat pemberangkatan pulang pergi. Karena memang ini diamanahkan oleh sistem di MUI, berupa larangan meminta uang. Kalau menginap di sana, juga tidak boleh menerima uang, tapi disediakan dalam hal penginapannya. Jika menerima uang,  bisa saja seorang auditor akan menginap di rumah rekan, sanak saudara atau kerabatnya.”
Yang berlaku di MUI, satu orang auditor mendapat uang lelah Rp. 350 ribu/hari. Kemudian sertifikat yang akan keluar akan dikenai biaya hanya Rp 1 juta atau paling tinggi Rp 2 juta. Bagi perusahaan kecil memang berat, tapi tidak soal dengan perusahaan besar. ”Saya dengar, Depag akan memberi bantuan anggaran untuk perusahaan kecil,” kata Amidan.
Perlu diketahui, anggota komisi fatwa itu ada 40 orang. Walaupun dalam sidang itu tidak mencapai 40 orang. Karena tugas mereka banyak. Dalam sidang itu juga ada uang lelah, atau uang transport. ”Yang jelas, MUI bukan lembaga negara, tapi APBN. Kita tidak mendapat gaji, melainkan pengabadian.
Amidan menjelaskan, dulu, produk halal itu hanya sebatas daging saja. Sekarang ini semakin banyak produk olahan. Jumlahnya hingga jutaan item. Dalam roti, misalnya  ada barang yang tidak halal, sebut saja gelatin, bisa pada sapi atau babi. Juga diteliti, apakah disembelih secara Islam atau tidak. "Selama ini MUI membuat sertifikasi halal, setelah melalui Badan POM. Badan ini bertanggungjawab untuk memastikan, bahwa produk itu tidak ada racun, sehat (thoyyib).  Untuk beragama yang betul memang butuh biaya, tapi tidak high cost. Di luar negeri saja, sudah menjadi lifestyle, betapa orang ingin menkonsumsi produk halal. Mereka meyakini, bahwa yang halal sudah pasti hegenis, sehat, dan aman.”
Ketika dikonfirmasi Sabili, apakah Depag perlu melibatkan anggota MUI untuk membuat sertifikasi halal? ”Kemungkinannya tidak ikut, MUI tidak mau setengah-setengah. MUI juga tidak akan membuat fatwa tandingan, tapi menjadi lembaga konsultan saja yang tugasnya hanya membuat pernyataan halal saja, bukan sertifikasi,” tegas Ma’ruf Amin.
Jika demikian, akankah ada agenda terselubung, untuk mengerdilkan peran ulama di tengah umat? Bukan tidak mungkin, komisi fatwa yang menyangkut akidah umat akan beralih ke pundak birokasi. Dalam urusan agama, pelan tapi pasti, ulama kian disingkirkan. Wallahu’alam. ■ Sabili/Adhes Satria

Sumber: http://www.sabili.co.id/index.php?option=com_content&view=article&id=809:sertifikat-halal-diambil-alih-pemerintah-peran-ulama-kian-tersingkir&catid=82:inkit&Itemid=199

Tidak ada komentar:

Posting Komentar