Kamis, 24 Juni 2010

Pengelolaan Zakat UPZ Instansi Pemerintah di Jabar Belum Maksimal

REPUBLIKA.CO.ID, BANDUNG – Ketua Badan Amil Zakat (BAZ) Provinsi Jabar, H M Suryani Ichsan, mengatakan, pengelolaan zakat oleh unit pengelola zakat (UPZ) instansi pemerintah, BUMN, dan BUMD, di Jawa Barat belum maksimal. Padahal potensi pengelolalan zakat di lingkungan tersebut sangat besar. Untuk meningkatkan kinerja pengelolaan zakat di instansi pemerintah, BAZ Provinsi Jabar membentuk dan meresmikan 25 UPZ di instansi pemerintah, baik pemerintah daerah, TNI/Polri, BUMD, dan BUMN.
Selama ini, kata Ichsan, pengelolaan zakat di lembaga tersebut masih dilakukan secara parsial. Ia berharap dengan diresmikannya UPZ tersebut pengelolaan zakat bisa terintegrasi secara baik. Sehingga, imbuh dia, pengumpulan dan penyaluran zakat dari lembaga tersebut sesuai dengan yang diharapkan. ’’Selama ini penyaluran zakat tersebut masih tumpang-tindih. Dengan adanya UPZ kondisi tersebut bisa diperbaiki,’’ ujar Ichsan yang juga menjabat Ketua Forum Zakat (FOZ) Provinsi Jabar, belum lama ini di Bandung.
Pembentukan UPZ tersebut, kata Ichsan, akan dilakukan secara bertahap. Ia berharap nantinya di setiap intansi pemerintah, TNI/Polri, BUMD, dan BUMD memiliki pengurus resmi dalam pengelolaan zakat anggotanya. ’’kami targetkan tiap bulan akan ada pengurus-pengurus UPZ yang dilantik. Saat ini baru sekitar 30 persen UPZ yang berada dalam naungan BAZ Provinsi Jabar,’’tutur dia.
Ichsan menuturkan, pembentukan UPZ-UPZ merupakan salah satu program prioritas BAZ Provinsi Jabar. Dengan pembentukan UPZ tersebut, imbuh dia, pengelolaan zakat di lembaga pemerintah bisa lebih maksimal. Jika hal tersebut terealisasi, maka target Pempov Jabar sebagai provinsi zakat pada 2011 bisa terealisasi. ’’Ini bagian dari program kami dalam mendukung Pemprov Jabar sebagai provinsi zakat tahun depan,’’tutur dia.
Dikatakan Ichsan, BAZ Provinsi Jabar memiliki empat bisa dalam programnya. Keempat visi tersebut antara lain menjadikan Jabar sebagai provinsi zakat, membangun ekonomi zakat, dakwah zakat, dan lembaga zakat yang berbasis teknologi informasi. Masalah teknologi informasi ini menjadi prioritas kami. ’’Kami ingin kaum Muslim yang ingin mengetahui tentang program zakat kita cukup mengakses di internet,’’ imbuhnya.

Red: Siwi Tri Puji.B
Rep: Joko Suceno

Sumber: www.republika.co.id/berita/dunia-islam/islam-nusantara/10/06/24/121412-pengelolaan-zakat-upz-instansi-pemerintah-di-jabar-belum-maksimal

Negara Perlu Campur Tangan Dalam Pengelolaan Zakat

JAKARTA--Dirjen Bimas Islam Kementerian Agama, Nasaruddin Umar menyatakan, negara perlu campur tangan dalam pengelolaan zakat. Dengan demikian penanggulangan kemiskinan dan peningkatan kesejahteraan masyarakat melalui pendayagunaan zakat akan bisa terwujud.
"Pemungutan zakat dapat dipaksakan berdasarkan firman Allah dalam surat at Taubah ayat 103. salah satunya lembaga yang mempunyai otoritas untuk melakukan pemaksaan dalam sistem demokrasi adalah negara lewat perangkat perundangan-undangan," paparnya.
Nasaruddin menjelaskan, zakat bukanlah bentuk charity biasa atau bentuk kedermawanan sebagaimana infak, wakaf dan hibah. Zakat hukumnya wajib (imperatif) sementara charity atau donasi hukumnya mandub (sunah). "Perlu ada otoritas seperti masa khalifah Abu Bakar, kalau tidak punya otoritas, masyarakat semaunya saja sekalipun kewajiban," ujarnya.
Ia menambahkan, potensi zakat di Indonesia sangat besar. "Seandainya zakat bisa berjalan lancar, saya yakin kemiskinan di Indonesia bisa teratasi," imbuhnya.
Dalam kaitan ini lanjutnya, pemerintah sangat mendukung pengembangan zakat melalui berbagai regulasi. Pemerintah mengajak para pengelola lembaga zakat yang tersebar di Indonesia untuk saling sinergi dan bersatu dalam pengelolaan zakat.
Menurut Nasaruddin, jika seluruh masyarakat yang ber KTP Islam membayar zakat bisa terkumpul dana Rp 30 trilyun. Namun pada tahun 2009 lalu, dana zakat yang diberbagai lembaga zakat baru terkumpul Rp 800 milyar. "Banyak sekali yang tidak keluarkan zakat karena tidak tahu cara menghitung zakat," katanya.

Red: Siwi Tri Puji.B
Sumber: Kemenag

Sumber: www.republika.co.id/berita/dunia-islam/islam-nusantara/10/06/24/121413-negara-perlu-campur-tangan-dalam-pengelolaan-zakat

Minggu, 20 Juni 2010

Masjid Belum Maksimal Kelola Zakat

REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA--Pengelolaan zakat oleh masjid-masjid di Indonesia belum maksimal. Padahal masjid memiliki potensi besar menghimpun dana zakat dari umat. Demikian disampaikan Didin Hafiduddin, Ketua BAZNAS saat memberikan sambutan membuka acara bedah buku yang bertajuk “Jurus Menghimpun Fulus Manejemen Zakat Berbasis Masjid” di Masjid Al Azhar, Jakarta, Jumat (18/6)
Oleh karena itu, Didin mengemukakan, ada beberapa langkah yang bisa ditempuh masjid guna mengoptimalkan peran sebagai Lembaga Amil Zakat (LAZ) yang terdekat dengan masyarakat. Menurut dia, pihak masjid perlu melakukan sosialisasi rutin tentang hakekat dan kegunaan zakat karena selama ini pengertian zakat masih dipahami secara konvensional dan tidak komprehensif.
Menurut Didin, pihak masjid bisa menekankan pemahaman kepada khalayak bahwa zakat adalah media penting dalam upaya meningkatkan kesejahteraan. Zakat dapat diberdayakan sebagai pilar mengatasi keterpurukan umat termasuk masalah kemiskinan. “Potensi zakat luar biasa untuk mengatasi persoalan umat,”jelasnya.
Selain itu, tambah dia, pihak masjid perlu mencanangkan program-program pemberdayaan zakat yang hasilnya bisa langsung dirasakan oleh masyarakat. Didin menegaskan, lembaga amil zakat harus bertindak profesional berlandaskan prinsip amanah dan akuntabilitas. Didin mencotohkan, zakat bisa diberdayakan untuk membiayai pelayanan gratis antara lain pendidikan, kesehatan dan layanan publik lainnya.
Namun Didin mengimbau, lembaga-lembaga amil zakat terutama yang berada di lingkungan masjid untuk bekerjasama dan bersinergi dengan baik. Hal itu penting dilakukan agar potensi zakat bisa lebih diberdayakan secara maksimal. “Jika dilakukan bersama-sama maka kekuatan zakat akan lebih dirasakan,” ungkapnya.
Sementara itu, M Anwar Sani, Direktur LAZ Masjid Al Azhar, mengatakan, pihak masjid perlu mengubah cara pandang tentang pengelolaan zakat. Menurut dia, pihak masjid hanya melakukan pengumpulan dana zakat sebatas di bulan Ramadan. Akibatnya muncul kesan masjid tidak peduli dengan lingkungan masyarakat sekitar yang membutuhkan solusi setiap waktu.”Gerakan pengelolaan zakat di masjid-masjid masih pasif,” katanya.
Oleh karena itu, tandas Anwar yang juga penulis buku “Jurus Menghimpun Fulus Manejemen Zakat Berbasis Masjid”, pihak masjid dituntut aktif mengelola dan memberdayakan zakat karena masjid sangat potensial menghimpuan zakat dari umat. Sebagai contoh, imbuh dia, LAZ masjid Al Azhar selama Ramadan 2009 lalu mampu mengumpulkan dana zakat sebesar Rp 11,6 miliar. “Saya yakin jika dikelola dengan baik zakat akan lebih bermanfaat,” pungkasnya.

Red: Krisman Purwoko
Rep: Nashih Nashrullah

Sumber: http://m.republika.co.id/berita/dunia-islam/islam-nusantara/10/06/18/120579-masjid-belum-maksimal-kelola-zakat

Kamis, 10 Juni 2010

Zakat Pengurang Pajak Mendesak Diberlakukan

Dalam urusan Zakat, Singapura ternyata lebih maju. Setidaknya dalam konsep zakat pengurang pajak yang saat ini sedang diperjuangkan lembaga amil zakat di Indonesia, rupanya telah diterapkan cukup lama di negara tersebut. Bahkan sistem pembayaran pajak dan zakat sudah terhubung secara terpadu sehingga memudahkan bagi warga muslim disana untuk melakukan transaksi di satu tempat saja.
''Indonesia belum sampai ke sana tapi akan menerapkan pola itu apabila amandemen undang-undang No 38 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat dapat terwujud tahun ini,'' kata KH Diddin Hafiduddin, ketua umum Badan Amil Zakat Nasional (Baznas) kepadaRepublika di sela-sela pertemuan dewan zakat Mabims ke II di Solo, Kamis (10/6). Acara yang dihadiri para delegasi dari empat negara muslim di Asia Tenggara itu dibuka oleh Dirjen Bimas Islam Kemenag, Prof Nazaruddin Umar.
Direktur Dompet Dhuafa, Mohammad Arifin Purwakananta juga menambahkan, di Singapura seorang wajib pajak yang kelebihan membayar pajaknya langsung mendapat restitusi apabila ternyata pembayaran zakatnya belum dihitung. ''Kalau di kita kan tidak. Restitusi harus diurus sendiri. Kalau kita lihat, kantor Pajak mengeluarkan nomor pokok wajib pajak (NPWP) dan lembaga zakat mengeluarkan nomor pokok wajib zakat (NPWZ). Mestinya cukup satu saja,'' jelas Arifin yang dihubungi terpisah.
Keduanya berpendapat sudah saatnya antara pajak dan zakat bisa disinergikan. Namun untuk menuju ke sana, kendalanya pada regulasi tentang pengelolaan zakat yang belum mengatur zakat sebagai pengurang pajak (zakat kredit pajak). Mabims merupakan organisasi lembaga zakat di negara-negara muslim di Asia Tenggara yakni Malaysia, Brunei Darusssalam, Indonesia dan Singapura. Mabims menjadi wadah untuk berbagi pengalaman tentang pengelolaan zakat di negara-negara muslim.
Berkaca dari permasalahan tersebut diatas, Didin mengaku lembaga amil zakat sedang memperjuangkan amademen UU No 38 Tahun 1999. Komisi VIII sebagai mitra kerja lembaga zakat sudah menjanjikan penyelesaian amandemen pada tahun 2010. Dalam kerangka itu, ada tiga hal yang akan diusulkan agar masuk dalam perubahan undang-undang tersebut. Pertama menyangkut pembenahan kelembagaan zakat agar lebih terkoordinasi dengan baik.
Masalah berikutnya, menyangkut zakat sebagai pengurang pajak. Hal ini sangat penting sekali karena berkaitan dengan percepatan penggalian zakat. Karena jika ini terwujud maka potensi zakat dapat bertambah. Ia mengatakan, saat ini potensi zakat tiap tahun Rp 20 triliun. Bila zakat pengurang pajak diterapkan maka potensi ini akan bertambah sekitar 50 persennya atau menjadi Rp 30 triliun.
Keuntungan lainnya dari zakat kredit pajak adalah memudahkan dalam penghitungan kekayaan seseorang. ''Nilai zakat 2,5 persen dari kekayaan yang dimiliki. Jadi kalau zakatnya terus meningkat berarti kekayaan juga naik,'' tegasnya.
Masalah ketiga menyangkut sanksi bagi wajib zakat tapi tidak mengeluarkan zakat. Guna terus meningkatkan potensi zakat, baik Didin maupun Arifin sepakat agar sosialisasi antar amil zakat maupun antar negara terus ditingkatkan. DD lanjut Arifin menghendaki agar ke depan, Mabims menjadi gerakan yang mendunia (world zakat forum) hingga Amerika dan Eropa.

Sumber: http://www.republika.co.id/berita/dunia-islam/islam-nusantara/10/06/10/119327-zakat-pengurang-pajak-mendesak-diberlakukan

Selasa, 08 Juni 2010

Mengeluarkan yang Baik bila Berzakat

Allah SWT memerintahkan kepada orang yang berzakat agar mengeluarkan yang baik dari hartanya dan melarang berzakat dengan yang jelek. Firman Allah SWT: "Hai orang-orang yang beriman, infaqkanlah (zakatlah) yang baik dari sebagian hasil usahamu, begitupun dari hasil bumi yang Kami keluarkan untukmu, dan janganlah kamu sengaja memilih yang jelek untuk  diinfakkan (dizakatkan) padahal kamu (sendiri) tidak mau menerimanya jika diberi, kecuali dengan memejamkan mata, dan ketahuilah bahwa Allah Maha Kuasa dan Maha Terpuji". (QS. al-Baqarah: 267)

Abu Daud, Nasa'i dan lain-lain meriwayatkan dari Sahl bin Hanif dari bapaknya, katanya: "Rasulullah SAW telah melarang mengeluarkan zakat kurma apabila kondisinya telah jelek dan warnanya kusam".

Orang umumnya memilih yang jelek diantara buah-buahan, lalu mereka keluarkan untuk membayar zakat, maka datanglah larangan kepada mereka dan turunlah ayat: "Dan janganlah kamu sengaja memilih yang jelek untuk zakat!"

"Ayat ini diturunkan kepada kami, kaum Anshar. Kami adalah pemilik pohon-pohon kurma, maka masing-masing kami membawa buah kurmanya, sedikit atau banyak menurut kemauan masing-masing. Caranya ialah setiap orang membawa setandan atau dua tandan yang digantungkan di masjid. Mereka yang tinggal di emper (dari kalangan muhajirin yang tidak mampu) biasanya tidak mempunyai makanan, maka apabila salah seorang merasa lapar, ia datang mendekati tandan kurma itu lalu menebasnya dengan tongkat hingga berjatuhanlah putik dan buah kurmanya, lalu dimakannya. Orang-orang yang tidak beradab membawa tandan berisi buah yang buruk dan sudah busuk, tandannya pun sudah pecah, lalu mereka menggantungkannya, maka Allah pun menurunkan ayat tersebut diatas".

Penjelasannya: "maksudnya, apabila salah seorang diantara kaliuan memberi sesuatu (pemberian) sebagai zakat, tidaklah akan diterima pemberian tersebut kecuali dengan rasa malu dan memicingkan mata". (Diriwayatkan oleh Tirmidzi dan mengatakannya hasan, shahih dan gharib).

Imam Syaukani berkata, "Keterangan itu menyatakan bahwa pemilik harta tidak boleh memilih yang jelek dari yang baik untuk zakat. Hal itu adalah secara tegas pada kurma dan dengan jalan qiyas pada jenis-jenis lain yang wajib dikeluarkan zakatnya. Begitu pula yang diberi zakat, tidak boleh menerima zakat tersebut (dari yang jelek)".

Sumber: Fiqhus Sunnah juz I oleh syaikh Sayid Sabiq.

Senin, 07 Juni 2010

Saat Wajibnya Zakat Buah-Buahan dan Tanaman

Wajib zakat pada tanaman bila bijinya telah keras dan dapat dimakan. Adapun jenis buah-buahan apabila telah nampak baiknya (matang). Hal itu dapat diketahui dengan dagingnya yang kemerah-merahan dan pada anggur terasa manisnya. (Ini adalah pendapat jumhur ulama, sedangkan menurut Abu Hanifah menjadi wajib manakala tanaman telah tumbuh dan putiknya muncul).

Zakat dikeluarkan hanyalah setelah dibersihkannya biji dan keringnya buah. Seandainya petani menjual hasil tanamannya setelah kerasnya biji dan baik dimakannya buah, maka zakat biji dan buah itu adalah kewajibannya, bukan kewajiban pembeli, karena sebab wajibnya telah ditetapkan sewaktu hasil tersebut masih berada dalam tangannya.

Sumber: Fiqhus Sunnah juz I oleh syaikh Sayid Sabiq.

Minggu, 06 Juni 2010

Mencampurkan Tanaman dan Buah-Buahan

Para ulama sependapat, bahwa hendaknya berbagai macam hasil buah-buahan itu digabungkan satu dengan yang lainnya, sekalipun berbeda kualitas (baik atau buruk) dan warnanya. Demikian pula hendaklah mencampurkan berbagai macam kualitas anggur, gandum dan semua jenis biji-bijian.

Para ulama pun sepakat bahwa barang-barang dagangan hendaknya digabungkan dengan uangnya, dan uang bersama barang-barang dagangan. Tetapi Syafi'i berpendapat, tidak boleh digabung kecuali kepada jenis yang dibeli dengannya karena nisab hanya diperhitungkan dengan itu.

Juga mereka setuju mengenai hasil-hasil diluar buah dan biji-bijian, tidak boleh digabung suatu jenis kepada jenis yang lain. Misalnya ternak, tidak boleh digabung suatu jenis kepada jenis yang lainnya. Seperti unta tidak digabung kepada sapi untuk mencukupkan nishabnya, begitu pun jenis buah-buahan tidak boleh dicampurkan apabila berlainan jenis, misalnya kurma dengan anggur.

Mengenai penggabungan jenis biji-bijian yang berbeda satu sama lain, terdapat perbedaan pendapat diantara para ulama, tetapi pendapat yang lebih benar dan utama, ialah dalam menghitung nishab tidaklah digabung suatu jenis dengan jenis yang lainnya, dan setiap jenis itu berdiri sendiri dalam mencukupi nishabnya masing-masing.

Hal tersebut dikarenakan jenisnya berbeda dan berlainan menurut namanya masing-masing. Jadi, padi tidaklah digabung dengan gandum, begitu pula sebaliknya, dan lain-lain. Ini merupakan pendapat Abu Hanifah, Syafi'i dan salah satu riwayat Ahmad, serta menjadi madzhab dari sebagian besar ulama-ulama salaf.

Berkata Ibnul Mundzir, "Telah menjadi ijma' dan ulama bahwa unta tidaklah digabungkan kepada sapi atau kambing, tidak pula sapi kepada kambing atau kurma dengan anggur. Demikian juga pada jenis-jenis lainnya. Dan orang-orang yang mengatakan agar jenis yang berlainan itu digabung, tidak mempunyai alasan yang sah dan kuat".

Sumber: Fiqhus Sunnah juz I oleh syaikh Sayid Sabiq.

Sabtu, 05 Juni 2010

Memakan Hasil Tanaman

Pemilik tanaman, boleh memakan sebagian hasil tanamannya dan tidak diperhitungkan (dalam penaksiran zakat) makanan yang dimakannya. Alasannya karena demikianlah adat kebiasaan yang berlaku dan yang dimakan itu jumlahnya pun sedikit. Hal ini tidak ada bedanya dengan pemilik buah-buahan yang menikmati hasil buah-buahan mereka. Maka apabila selesai memanen dan bijinya telah dibersihkan, barulah dikeluarkan zakatnya dari yang ada.

Ahmad ditanya mengenai buah-buahan yang pecah (rusak) dan dimakan oleh para pemiliknya, ujarnya: "Tidaklah apa-apa bagi pemiliknya memakan apa yang dibutuhkannya". Demikian juga pendapat dari Syafi'i, Laits dan Ibnu Hazm. (Sedangkan menurut Malik dan Abu Hanifah, hendaklah diperhitungkan sebagai nishab apa yang dimakan oleh pemilik sebelum waktu mengetam).

Sumber: Fiqhus Sunnah juz I oleh syaikh Sayid Sabiq.

Jumat, 04 Juni 2010

Mengukur Nishab Kurma dan Anggur

Jika kurma atau anggur telah berputik dan kelihatan akan menjadi baik, maka mengukur nishabnya adalah dengan menaksir bukan dengan ditakar. Caranya ialah salah seorang ahli taksir yang jujur memperkirakan buah kurma dan anggur yang ada di pohonnya, lalu menaksir berapa banyaknya nanti apabila telah menjadi kering, sehingga dapat diketahui berapa kadar zakat yang wajib dikeluarkan. Apabila buah-buahan itu telah kering, diambillah zakat sesuai dengan perkiraan sebelumnya.

Diterima dari Abu Humaid as-Sa'idi ra katanya, "Kami berperang bersama Rasulullah saw di perang Tabuk, tatkala sampai di Wadil Qura, kelihatan seorang wanita sedang bertada dalam kebunnya, maka bersabdalah Nabi SAW, "Taksirlah!" dan Rasulullah SAW sendiri menaksirnya 10 wusuq, lalu sabdanya kepada wanita itu, "Saya taksir hasilnya". (HR al-Bukhari).

Ini merupakan Sunnah Rasulullah SAW dan perbuatan para shahabat dibelakangnya dan menjadi pendirian kebanyakan para ulama. Sebaliknya, Ahnaf menentangnya karena taksiran ini dasarnya dugaan semata sehingga tidak dapat menjadi ukuran. Tetapi mengikuti sunnah Rasulullah SAW lebih utama karena menaksir itu bukanlah dugaan semata tetapi merupakan hasil ijtihad dalam mengetahui banyaknya buah-buahan, tidak ubahnya dengan menaksir harga barang-barang yang ditimpa kerusakan.

Adapun sebab dianjurkannya menaksir ialah menurut kebiasaan, buah-buahan itu dimakan selagi masih segar, maka perlu hasil tanaman itu diperkirakan terlebih dahulu sebelum dipanen dan dikonsumsi.

Selain itu, agar para pemiliknya dapat membelanjakan hartanya dengan leluasa, dimana harta yang akan dizakatkan telah terjamin. Saat menaksir, juru taksir hendaknya tidak menghitung yang sepertiga atau seperempat untuk memberi kelapangan bagi si pemilik harta, karena mereka pun butuh dan ingin mengkonsumsinya, sebagaimana halnya untuk para tamu maupun tetangga mereka. Selain itu, buah-buahan tidak pula luput dari kerusakan, seperti dimakan burung atau orang yang lewat (kebun), atau jatuh diterpa angin dan sebab lainnya. Maka sekiranya zakat dihitung dari semua buah tanpa mengecualikan sepertiga atau seperempatnya, tentulah akan menyulitkan para pemiliknya.

Diterima dari Sahl bin Abi Hatsmah bahwa Nabi SAW bersabda, "Jika kamu melakukan penaksiran, maka ambil dan tinggalkanlah yang sepertiga, dan jika kamu tak mau menyisakan sepertiga, maka tinggalkan seperempat". (Diriwayatkan oleh Ahmad dan ash-Habus Sunan kecuali Ibnu Majah. Juga diriwayatkan oleh Hkim dan Ibnu Hibban, dan keduanya menyatakan sahnya).

Menurut Imam Tirmidzi, dalam prakteknya kebanyakan ulama mengikuti hadits Sahl diatas.

Dari Basyir bin Yasar, katanya, "Umar bin Khattab ra mengutus Abu Hatsmah al-Anshari untuk menaksir harta kekayaan kaum muslimin, maka pesannya, "Jika kamu melihat orang-orang itu telah tinggal di kebun-kebun kurma mereka di musim gugur, maka biarkanlah yang mereka makan, tidak usah dimasukkan dalam penaksiran".

Dan dari Makhul katanya, "Bila Rasulullah SAW mengirim juru taksir, maka beliau akan berpesan, "Berilah keringanan kepada manusia, karena antara harta itu ada yang disuguhkan, yang dimakan oleh orang-orang yang lewat dan oleh pemiliknya". (Riwayat Abu Ubaid, katanya, "Wathiah maksudnya ialah orang yang lewat". Dikatakan demikian ialah karena mereka menginjak dan melewati tanah tempat tumbuhnya buah-buahan tersebut).

Sedangkan akilah ialah para pemiliknya dan keluarga mereka serta orang-orang yang erat hubungannya dengan mereka.

Sumber: Fiqhus Sunnah juz I oleh syaikh Sayid Sabiq.

Kamis, 03 Juni 2010

Zakat dari Hasil Tanah Sewa

Jumhur ulama berpendapat bahwa orang yang menyewa tanah dan menggarapnya, berkewajiban mengeluarkan zakat, jadi bukan pemilik tanahnya. Namun menurut Abu Hanifah, zakat menjadi kewajiban pemilik tanah.

Ibnu Rusyid berkata, "Sebab perselisihan pendapat para ulama ialah apakah zakat itu kewajiban tanah ataukah kewajiban tanaman, dan karena menurut pandangan mereka, zakat merupakan kewajiban salah satu diantara keduanya, maka muncullah perbedaan pendapat manakah diantara kedua itu lebih layak menjadi sumber zakat, yakni bila tanaman dan tanah yang dimiliki oleh perorangan, berada dalam satu tangan. Jumhur berpendapat, ialah apa yang wajib padanya zakat ialah benih, sementara menurut Abu Hanifah, apa yang menjadi sumber hukum wajibnya adalah tanah".

Ibnu Qudamah memandang pendapat jumhur lebih kuat, katanya, "Zakat itu wajib pada tanaman, maka terpikullah atas si pemilik tanaman itu, seperti menzakatkan uang sebagai harga dari barang dagangan dan mengeluarkan zakat tanaman hasil tanah kepunyaan sendiri".

"Perkataan mereka (madzhab Abu Hanifah) bahwa zakat menjadi tanggungan tanah adalah tidak benar, karena jika demikian tentulah zakat wajib dikeluarkan walau tanah itu tidak digarap seperti halnya (tanah) kharaj, juga tentulah akan diwajibkan atas orang-orang dzimmi (penduduk kafir dibawah kekuasaan Islam), seperti halnya kharaj dan tentunya pula zakat itu dihitung menurut luasnya tanah, bukan menurut bnyaknya hasil panen, tentu juga didistribusikannya kepada golongan-golongan yang berhak menerima pembagian rampasan, bukan yang berhak menerima zakat".

Sumber: Fiqhus Sunnah juz I oleh syaikh Sayid Sabiq.

Rabu, 02 Juni 2010

Kelemahan Pendapat Abu Hanifah atas Tidak Wajib Zakat pada Tanah Kharaj

Madzhab Abu Hanifah mengambil pendapat tidak wajibnya zakat atas tanah kharaj berdasar dalil-dalil berikut ini:

1. Apa yang diriwayatkan oleh Ibnu Mas'ud bahwa Nabi SAW bersabda, "Tidak mungkin berhimpun zakat dan pajak pada tanah orang Islam".

Hadits ini disepakati kelemahannya (dhaif) secara ijma'. Ia diriwayatkan oleh Yahya bin Anbasah seorang diri dari Abu Hanifah, dari Hamad dari Ibrahim an-Nakha'i dari Alqamah dari Ibnu Mas'ud dari Nabi SAW.

Berkata Baihaqi dalam "Mengenal Sunnah-Sunnah dan Atsar", "Riwayat yang disebutkan itu disampaikan oleh Abu Hanifah dari Hamad lalu dari Ibrahim hanyalah ucapannya pribadi, kemudian diriwayatkan oleh Yahya secara marfu, dan Yahya bin Anbasah ini telah dikenal kelemahannya karena biasa meriwayatkan hadits-hadits palsu dari kalangan orang-orang dipercaya. Keterangan yang disampaikan pada kami oleh Abu Sa'id al-Malini tentang pribadinya ini, diucapkan sendiri oleh Abu Ahmad bin Adi al-Hafidz.

Ia juga dinyatakan dha'if (lemah) oleh Kamal ibnul Hamam salah seorang imam dari madzhab Hanafi yang menguatkan madzhab jumhur (mayoritas) dan mengkritik pendapat Abu Hanifah.

2. Diriwayatkan oleh Ahmad, Muslim dan Abu Daud dari Abu Hurairah bahwa Nabi SAW bersabda, "Orang-orang Irak tidak mau mengeluarkan hasil tanah dan peraknya, orang-orang Sirian tidak mau mengeluarkan barang sukatan dan uang emasnya, begitupun orang-orang Mesir (tidak mau mengeluarkan) hasil pertanian dan emas peraknya, sementara kalian akan kembali seperti pada awalnya". Kalimat ini diucapkan Nabi sampai tiga kali, disaksikan langsung oleh Abu Hurairah.

Cara mengambil dasar alasan dari hadits ini ialah bahwa hadits tersebut menyatakan beberapa kewajiban dan keengganan memenuhi kewajiban tersebut, yakni kewajiban terkait dengan pajak. Menurut mereka, seandainya kewajiban yang dimaksud adalah zakat, tentulah Nabi SAW akan menyebutkannya.

Sebenarnya, dalam hadits diatas tidak ada petunjuk yang menyatakan tidak diambilnya zakat dari tanah kharaj. Para ulama telah menjelaskan maksud hadits tersebut bahwa orang-orang itu (di Irak, Siria dan Mesir) akan menganut Islam hingga jizyah (pajak jiwa) akan gugur dari mereka. Atau, hadits diatas adalah ramalan akan terjadinya fitnah di akhir zaman yang akan mengakibatkan tidak dipenuhinya kewajiban yang semestinya dilaksanakan, seperti zakat, jizyah dan lainnya.

Diakhir penakwilan tersebut, Nawawi berkata, "Seandainya maksud hadits tersebut benar seperti yang mereka (madzhab Hanafi) katakan, tentulah zakat emas, perak, dan perniagaan pun tidak wajib lagi, padahal tidak seorang pun yang berpendapat demikian".

3. Diriwayatkan bahwa setelah raja Dahqan Bahz memeluk Islam, Umar bin Khattab ra memerintahkan agar menyerahkan tanah kepadanya lalu memungut pajaknya. Riwayat ini secara tegas memerintahkan untuk memungut pajak, tanpa adanya perintah untuk memungut zakat.

Melalui riwayat ini hendak menyatakan bahwa kharaj tidaklah gugur dengan masuk memeluk Islam, dan hal itu tidak berarti menggugurkan kewajiban zakatnya. Disebutkannya kharaj karena mungkin memunculkan dugaan bahwa ia bisa gugur dengan memeluk Islam sebagaimana halnya jizyah.

Adapun zakat, telah dimaklumi sebagai kewajiban atas setiap muslim yang merdeka, sehingga tidak perlu disebutkan lagi. Hal ini sebagaimana tidak dicantumkannya pemungutan zakat ternak, begitupula zakat emas dan perak. Atau bisa jadi sebabnya karena para penguasa itu tidak memiliki tanaman yang mewajibkannya mengeluarkan zakat.

4. Pernyataan bahwa gubernur dan penguasa saat itu tidak memungut pajak dan zakat secara bersamaan, adalah tidak benar, karena sebagaimana diriwayatkan oleh Ibnul Mundzir, bahwasanya Umar bin Abdul Aziz memungut keduanya (zakat dan pajak) secara serentak.

5. Kharaj berbeda dari zakat, karena kharaj wajibnya berakibat pidana sementara wajibnya zakat dari segi ibadah, maka tidak mungkin keduanya akan berkumpul pada orang yang satu hingga dipikulnya dua kewajiban tersebut sekaligus.

Ini memang benar, tetapi untuk waktu permulaan saja, tidak mungkin selamanya. Tidak semua bentuk kharaj itu berdasarkan paksaan dan penaklukan, tetapi adapula yang bebas dari unsur kekerasaan, seperti halnya pada tanah yang dekat letaknya dengan tanah kharaj atau yang diusahakan dan diairi dengan air selokan.

6. Bahwa yang menjadi sebab dari masing-masing kharaj dan zakat itu hanya satu, yaitu tanah yang berkembang, baik menurut hakikat kenyataan maupun dari segi hukum. Alasannya ialah seandainya tanah itu tidak digarap dan tidak ada manfaatnya, maka tidaklah wajib padanya zakat maupun kharaj.

Jadi jika sebabnya itu satu, maka tidak mungkin kharaj dan zakat itu berhimpun serentak pada tanah yang sama, karena pada satu sebab tidak dapat dibebankan dua kewajiban yang sejenis, seperti halnya apabila seseorang memiliki ternak yang mencapai nishab untuk diperdagangkan selama satu tahun, maka tidaklah wajib ia mengeluarkan dua macama zakat (yakni zakat ternak dan zakat perdagangan).

Tidaklah benar seperti demikian karena zakat tanaman ialah pada tanaman yang tumbuh dari dalam tanah, sedangkan kharaj wajib karena tanah itu sendiri, baik ditanami atau dibiarkan. Misalkan kesatuan sebab itu diterima maka sebagaimana dikatakan oleh Kamal bin Hammam, tidak ada halangan bila sebab yang satu (tanah) timbul dua kewajiban.

Sumber: Fiqhus Sunnah juz I oleh syaikh Sayid Sabiq.

Kinerja Pengelola Zakat Plat Merah yang Tidak Merah

Tidak selamanya lembaga pengelola zakat yang dibentuk pemerintah memiliki kinerja yang buruk. Beberapa diantaranya malah bisa disejajarkan dengan lembaga pengelola zakat (LAZ) yang telah mapan dan dikenal kredibilitasnya, seperti Dompet Dhuafa, PKPU, DPU-DT, ataupun Rumah Zakat, dalam hal profesionalitas mereka mengelola zakat. Jumlah lembaga pengelola zakat berplat merah yang berkinerja baik, memang masih relatif sedikit. Menurut Ahmad Juwaini, Direktur Eksekutif Dompet Dhuafa Republika (DDR), dari 400 BAZ yang ada di seluruh Indonesia, baru sekitar 50 BAZ saja yang telah dikelola secara profesional, atau hanya sekitar 8% nya saja. (Republika : Selasa, 01 Juni 2010 pukul 08:22:00).

Demikian halnya dengan kinerja Badan Amil Zakat (BAZ) di Jawa Barat, ada diantaranya yang memiliki kinerja yang baik, atau setidaknya berada dalam right track menuju pengelolaan zakat yang profesional. Di Jawa Barat, Zakat Watch melihat setidaknya ada 4 Badan Amil Zakat (BAZ) kota dan Kabupaten yang dikelola secara profesional. Ke-4 BAZ tersebut ialah BAZ Kota Bogor, BAZ Kota Depok, BAZ Kabupaten Sukabumi dan BAZ Kabupaten Cianjur. Dalam beberapa hal, ke-4 BAZ Kota dan Kabupaten tersebut memiliki beberapa kesamaan dimana hal ini bisa jadi merupakan kunci bagi terlaksananya pengelolaan zakat yang amanah dan profesional. Beberapa kesamaan tersebut antara lain adalah sebagai berikut:

1. Dukungan penuh dari penguasa/pemda setempat, khususnya dari para walikota atau bupati. Tidak bisa tidak, faktor dukungan penguasa menjadi hal yang cukup signifikan bagi keberhasilan BAZ di suatu daerah, dimana hal ini tidak hanya memberikan akses yang luas bagi BAZ untuk mengelola dana zis di daerah tersebut, tetapi dukungan berupa keteladanan penguasa akan dengan mudah diikuti oleh para bawahan di jajaran pemda serta masyarakat. Bahkan diceritakan ada seorang walikota yang tidak sungkan-sungkan me"motong" sendiri penghasilannya dan menyerahkan ke BAZ.

2. Dikelola anak muda. Sebagian besar pelaksana pengelola di BAZ tersebut banyak didominasi oleh anak-anak muda, selain energik dan memiliki semangat tinggi, juga umumnya memiliki idealisme dalam masalah pengelolaan zakat, khususnya dalam pemberdayaan masyarakat. Namun demikian, tidak berarti peran dari generasi yang lebih senior tidak ada, di suatu kabupaten misalnya, beberapa pengurusnya adalah tokoh yang cukup senior namun kehadiran beliau justru untuk membimbing dan memberikan nasehat bagi "anak-anak muda", tanpa ikut campur terlalu jauh dalam masalah pelaksanaan pengelolaan zakat.

3. Sadar akan peran strategis media informasi, ke-4 BAZ tersebut umumnya memberikan perhatian yang serius. Selain membangun media internal untuk sosialisasi lembaga dan fungsinya, seperti melalui buletin dan majalah yang diterbitkan berkala, mereka pun cukup serius membangun website. Keseriusan ini bisa dilihat tidak hanya dari desain situsnya yang menarik, tetapi juga pengelolaan konten yang senantiasa diperbaharui. Lebih jauh, beberapa BAZ bahkan telah menjalin kerjasama dengan media (koran, radio) lokal untuk mensosialisasikan zakat dan lembaganya.

4. Transparansi. Inilah hal yang membedakan dengan BAZ dan bahkan sebagian LAZ, dimana ke-4 BAZ ini berupaya mempublikasikan aktifitasnya kepada masyarakat, bukan sekedar laporan kegiatannya tetapi juga laporan keuangannya. Dengan mudah kita bisa mengetahui keuangan mereka secara berkala. BAZ Kota Bogor dan BAZ Kabupaten Cianjur misalnya, menyajikan laporan keuangan bulanannya melalui website mereka dan masyarakat bisa melihat dan mendownloadnya. Disamping itu, laporan pun dipublikasikan melalui media internal mereka secara berkala. Upaya transparansi ke publik memang bukan sekedar masalah amanah yang harus dijaga, tetapi juga sebagai upaya membangun lembaga pengelola zakat yang kredibel, layak dipercaya masyarakat.

Itulah beberapa lembaga pengelola zakat berplat merah namun memiliki kinerja yang bisa dikatakan baik, dimana mereka berupaya mengelola amanah dari masyarakat secara profesional. Dalam batas tertentu, kinerja mereka bisa disandingkan dengan beberapa LAZ terkemuka, tentu dengan sekala yang berbeda.

Selasa, 01 Juni 2010

Zakat Tanah Kharaj

Secara umum tanah dibagi ke dalam dua kategori, yaitu:

  1. Tanah umum atau biasa ('asyariyah), yaitu tanah yang dimiliki oleh penduduknya yang beragama Islam secara sukarela, atau direbut kaum muslimin sewaktu penaklukan yang kemudian dibagikan diantara mereka, atau tanah yang diusahakan oleh kaum muslimin sendiri.
  2. Tanah Kharaj (kharijiyah) yaitu tanah yang direbut dan ditaklukkan kaum muslimin tetapi diserahkan kepada penduduk yang mengusahakannya dengan imbalan membayar pajak (kharaj) tertentu.

Sebagaimana halnya pada tanah asyariyah, zakat juga diwajibkan pada tanah kharijiyah ini, yaitu apabila penduduknya menganut Islam atau dibeli oleh orang Islam hingga berhimpunlah didalamnya dua kewajiban, yaitu membayar zakat dan kharaj, dimana salah satunya tidak menutupi yang lain. Menurut Ibnul Mundzir, itu merupakan pendapat kebanyakan ulama. Diantara yang berpendapat seperti itu ialah Umar bin Abdul Aziz, Rabi'ah, Zuhri, Yahya al-Anshari, Malik, Auza'i, Tsauri, Hasan bin Shalih, Ibnu Abi Laila, Laits, Ibnul Mubarak, Ahmad, Ishak, Abu Ubaid, dan Daud.

Pendapat tersebut berdasarkan dalil Kitab, Sunnah dan qiyas. Mengenai kitab ialah firman Allah SWT: "Hai orang-orang beriman nafkahkanlah sebagian hasil usahamu yang baik-baik, begitupun sebagian dari hasil bumi yang Kami keluarkan untukmu!" (QS. al-Baqarah: 267)

Dalam ayat ini Allah mewajibkan nafkah (zakat) dari bumi secara mutlak, baik  berupa tanah biasa ataupun tanah kharaj.

Adapun dalil sunnah adalah sabda Nabi SAW: "Pada apa yang diairi dengan hujan zakatnya sepersepuluh".

Ini mencakup tanah biasa maupun kharaj.

Adapun alasan menurut qiyas, ialah karena zakat dan pajak (kharaj) itu merupakan dua kewajiban yang timbul oleh dua sebab yang berbeda, untuk kepentingan dua golongan yang berbeda pula. Maka salah satu diantaranya tidaklah menutupi yang lain seperti halnya seseorang yang sedang ihram membunuh hewan buruan milik orang lain. Juga karena zakat itu diwajibkan dengan keterangan yang tegas sehingga tidak bisa dibatalkan begitu saja oleh pajak yang hukum wajibnya ditetapkan atas hasil ijtihad. Namun Abu Hanifah berpendapat tidak wajib zakat pada tanah kharaj, yang wajib dikeluarkan hanyalah pajak saja. Menurutnya diantara syarat-syarat wajib zakat ialah tanah itu bukan tanah kharaj.

Sumber: Fiqhus Sunnah juz I oleh syaikh Sayid Sabiq.